Isu NII dan RUU Intelijen
INILAH.COM, Jakarta - Ada yang menarik seiring guliran isu seputar Negara Islam Indonesia (NII), yang mencuat seiring maraknya kasus orang hilang. Para penyokong RUU Intelijen seolah menemukan momentum untuk mendorong agar disahkan sesegera mungkin.
Di antara mereka, yang tampak sangat menonjol adalah mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), AM Hendropriyono. Hendro, yang selain kian kerap muncul di layar berbagai stasiun tv, juga semakin sering terlihat mengisi halaman koran.
Satu hal yang tak henti disuarakan Hendro adalah bahwa RUU itu tidak sepatutnya ditahan-tahan dengan aneka polemik, dan segera diberlakukan. Selain itu, ada hal mendasar yang disuarakan Hendro, yakni seharusnya aparat intelijen dapat menangkap seseorang yang dicurigai, tanpa perlu mempertimbangkan hukum pidana.
Pasalnya, kata Hendro, aparat intelijen bukan penegak hukum. “Karena itu, langkah penangkapan bukan untuk hukum, tapi untuk digunakan (informasinya). Jadi tidak perlu dibikin ada UU mengatur detil soal penangkapan,” kata Hendro.
Pernyataan itu, mungkin dengan redaksi yang agak lain, selalu dikemukakannya dalam berbagai kesempatan. Dengan kata lain, pernyataan Hendro itu berarti, jika intelijen mempercayai sinyal bahwa seseorang akan merencanakan kejahatan, orang tersebut bisa ditangkap tanpa prosedur hukum.
Sepintas lalu, apalagi di saat maraknya teror bom, melesatnya isu NII dan kondisi saat ini, apa yang dinyatakan Hendro seperti sebuah oase sejuk. Sebuah solusi atas persoalan yang tak henti mengungkung keamanan bangsa. Tetapi seyogyanya kita berpikir jernih.
Apa yang dikemukakan Hendro wajar sebagai seorang yang hidup di dunia intelijen. Seorang yang manakala negara ini begitu hegemonik dan mencekam rakyat saat Orde Baru berkuasa, tak punya kemungkinan menghadapi persoalan ditangkap tanpa alasan jelas.
Ujung-ujungnya kita menyaksikan Indonesia menjadi negara korporasi, dimana untuk setiap pekerjaan, profesi, dibentuklah sebuah organisasi resmi dan satu-satunya. Keseragaman kemudian menjadi diniscayakan. Kita tahu, rakyat tak menyukai semua itu. Hingga reformasi 1998 pun terjadilah. Negara ini, sedikit demi sedikit menggerakkan proses demokrasi dan keterbukaan.
Artinya, siapa pun yang menyokong kembalinya negara ini kepada ketertutupan, penangkapan paksa, pengumpulan informasi dengan cara-cara tak manusiawi, tak selayaknya didengarkan. Benar ia memiliki hak untuk itu, dan seharusnya kita beri kesempatan. Tetapi mata hati dan kepala rakyat tetap harus sadar, betapa mahal harga yang harus dibayar sistem ketertutupan.
Karena itu, tentu sangat disesalkan manakala kampanye penyegeraan diundangkannya RUU intelijen itu didukung sebagai anggota DPR. Berkilah apapun, beralasan bagaimanapun, kita perlu mempertanyakan kedalaman cara berpikir mereka yang menyokong penyegeraan RUU itu.
Sebab kita tahu, betapa RUU Intelijen sendiri masih begitu perlu penyempurnaan. Draf terakhir RUU Intelijen yang saat ini sedang dibahas belum mengakomodasi nilai-nilai dan prinsip-prinsip penting dalam kehidupan negara demokratis.
Termasuk belum menghormati lain nilai-nilai HAM serta menjunjung tinggi supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih. RUU tersebut, misalnya, menolak adanya pengaturan mekanisme penyadapan melalui izin pengadilan. Hal ini tentu akan menimbulkan ancaman terhadap hak-hak privasi warga negara. Juga soal penangkapan sebagaimana di atas.
Negara ini memang harus aman, bebas dari segala upaya penggerogotan kedaulatan dan keutuhannya. Tetapi menghadirkan kembali UU yang memberi toleransi besar terhadap tindakan represif kepada warga negara seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, tak selayaknya dilakukan. Lalu tentang heboh bom, isu NII, yang seolah mengiringi pembahasan RUU ini, tidakkah pula seharusnya kita cermati dengan sangsi? [mdr]
Di antara mereka, yang tampak sangat menonjol adalah mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), AM Hendropriyono. Hendro, yang selain kian kerap muncul di layar berbagai stasiun tv, juga semakin sering terlihat mengisi halaman koran.
Satu hal yang tak henti disuarakan Hendro adalah bahwa RUU itu tidak sepatutnya ditahan-tahan dengan aneka polemik, dan segera diberlakukan. Selain itu, ada hal mendasar yang disuarakan Hendro, yakni seharusnya aparat intelijen dapat menangkap seseorang yang dicurigai, tanpa perlu mempertimbangkan hukum pidana.
Pasalnya, kata Hendro, aparat intelijen bukan penegak hukum. “Karena itu, langkah penangkapan bukan untuk hukum, tapi untuk digunakan (informasinya). Jadi tidak perlu dibikin ada UU mengatur detil soal penangkapan,” kata Hendro.
Pernyataan itu, mungkin dengan redaksi yang agak lain, selalu dikemukakannya dalam berbagai kesempatan. Dengan kata lain, pernyataan Hendro itu berarti, jika intelijen mempercayai sinyal bahwa seseorang akan merencanakan kejahatan, orang tersebut bisa ditangkap tanpa prosedur hukum.
Sepintas lalu, apalagi di saat maraknya teror bom, melesatnya isu NII dan kondisi saat ini, apa yang dinyatakan Hendro seperti sebuah oase sejuk. Sebuah solusi atas persoalan yang tak henti mengungkung keamanan bangsa. Tetapi seyogyanya kita berpikir jernih.
Apa yang dikemukakan Hendro wajar sebagai seorang yang hidup di dunia intelijen. Seorang yang manakala negara ini begitu hegemonik dan mencekam rakyat saat Orde Baru berkuasa, tak punya kemungkinan menghadapi persoalan ditangkap tanpa alasan jelas.
Padahal, solusi Hendro hanya memindahkan aktor. Jika saat ini yang menteror warga adalah teroris, kelompok pembom pengecut dan jahat, maka bilamana RUU Intelijen versi saat ini yang begitu hegemonik diterapkan, pelaku teror beralih menjadi aparat negara. Lebih tepatnya aparat intelijen.
Dan jangan katakan negara ini tak pernah memiliki sejarah kelam. Sejak Orde Lama, lalu berkuasanya Orde Baru, keterkungkungan akibat begitu kuat dan dominannya lembaga intelijen telah membuat rakyat tak mampu bahkan untuk berbicara terbuka. Semua diarahkan ketakutan akan ’mata besar’ negara yang mengawasi seluruh aspek tingkah laku warganya. Negara menjadi seperti barak-barak binatang peliharaan dalam novel George Orwell, ’1948’ dan ’Animal Farm’.Ujung-ujungnya kita menyaksikan Indonesia menjadi negara korporasi, dimana untuk setiap pekerjaan, profesi, dibentuklah sebuah organisasi resmi dan satu-satunya. Keseragaman kemudian menjadi diniscayakan. Kita tahu, rakyat tak menyukai semua itu. Hingga reformasi 1998 pun terjadilah. Negara ini, sedikit demi sedikit menggerakkan proses demokrasi dan keterbukaan.
Artinya, siapa pun yang menyokong kembalinya negara ini kepada ketertutupan, penangkapan paksa, pengumpulan informasi dengan cara-cara tak manusiawi, tak selayaknya didengarkan. Benar ia memiliki hak untuk itu, dan seharusnya kita beri kesempatan. Tetapi mata hati dan kepala rakyat tetap harus sadar, betapa mahal harga yang harus dibayar sistem ketertutupan.
Karena itu, tentu sangat disesalkan manakala kampanye penyegeraan diundangkannya RUU intelijen itu didukung sebagai anggota DPR. Berkilah apapun, beralasan bagaimanapun, kita perlu mempertanyakan kedalaman cara berpikir mereka yang menyokong penyegeraan RUU itu.
Sebab kita tahu, betapa RUU Intelijen sendiri masih begitu perlu penyempurnaan. Draf terakhir RUU Intelijen yang saat ini sedang dibahas belum mengakomodasi nilai-nilai dan prinsip-prinsip penting dalam kehidupan negara demokratis.
Termasuk belum menghormati lain nilai-nilai HAM serta menjunjung tinggi supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih. RUU tersebut, misalnya, menolak adanya pengaturan mekanisme penyadapan melalui izin pengadilan. Hal ini tentu akan menimbulkan ancaman terhadap hak-hak privasi warga negara. Juga soal penangkapan sebagaimana di atas.
Negara ini memang harus aman, bebas dari segala upaya penggerogotan kedaulatan dan keutuhannya. Tetapi menghadirkan kembali UU yang memberi toleransi besar terhadap tindakan represif kepada warga negara seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, tak selayaknya dilakukan. Lalu tentang heboh bom, isu NII, yang seolah mengiringi pembahasan RUU ini, tidakkah pula seharusnya kita cermati dengan sangsi? [mdr]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar, masukan yang sifatnya membangun blog ini.