Mengenai Saya

Foto saya
Shio : Macan. Tenaga Specialist Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar. Trainer Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar Negara Asing. Pengajar part time masalah Surveillance Detection, observation techniques, Area and building Analysis, Traveling Analysis, Hostile surveillance Detection analysis di beberapa Kedutaan besar negara Asing, Hotel, Perusahaan Security. Bersedia bekerja sama dalam pelatihan surveillance Detection Team.. Business Intelligence and Security Intelligence Indonesia Private Investigator and Indonesia Private Detective service.. Membuat beberapa buku pegangan tentang Surveilance Detection dan Buku Kamus Mini Sureveillance Detection Inggris-Indonesia. Indonesia - Inggris. Member of Indonesian Citizen Reporter Association.

Senin, 27 Februari 2012

Premanisme : kekuatan besar di balik gangster Kei

TEMPO.CO, Jakarta - Diburu selama kurang-lebih sebulan, tokoh kelompok Kei, John Refra Kei, akhirnya ditangkap di sebuah "hotel jam-jaman" di kawasan Pulomas, Jakarta Timur. Selain menjadikan John tersangka pelaku pembunuhan bos PT Sanex Steel Indonesia, Tan Harry Tantono, polisi akan menjeratnya dengan belasan kasus kejahatan lain yang ia dan kelompoknya lakukan.  
Pekan ini Majalah Tempo menurunkan laporan utama "Gangster Kei" setelah melakukan penelusuran mendalam ke berbagai sumber hingga ke Pulau Kei, Maluku Tenggara. Menurut sumber Tempo di Kepolisian Geng Kei terkenal sadis.
Pembunuhan yang telah diakui oleh tiga anak buah John Kei itu konon bermotif utang. Bos PT Sanex Steel Indonesia itu tak kunjung membayar utang Rp 600 juta. Karena itu pada 26 Januari 2012, Tan Harry, atau dikenal dengan nama Ayung, dibunuh di kamar 2701 Swiss-Belhotel, Jakarta Pusat.
Soal motif pembunuhan terhadap Ayung, sejumlah sumber Tempo yang kenal John dan Ayung ragu jika itu hanya tentang duit jasa menagih utang. "Kalau hanya Rp 600 juta, itu kecil bagi Ayung," kata sumber yang juga anggota partai politik itu. Sumber Tempo lain yakin pembunuhan Ayung dilatarbelakangi persaingan bisnis. "Ada orang yang memakai John untuk membunuh Ayung," kata sumber itu.
Pendapat itu didasarkan pada hubungan antara John dan Ayung yang selama ini sangat baik. Ayung berkenalan dengan John Kei saat dia masuk penjara. Gara-garanya, dia bersengketa dengan Ho Giok Kie alias Arifin dalam perebutan saham PT Sanex Steel pada 2005. Perselisihan ini merembet ke kasus lain yang membuat Ayung dipenjara.  "Arifin ini bisa dibilang musuh besar Ayung," ujar sumber itu.
Tito Refra mengaku kakaknya memang berteman baik dengan Ayung. "Mereka bagai saudara," kata Tito. Sumber Tempo lain menyebutkan Ayung berkunjung ke Pulau Kei saat ulang tahun ayah John tiga tahun lalu. "Karena itu, jika John sampai membunuh Ayung, pasti ada kekuatan lebih besar, lebih kuat, yang membuat dia melakukan itu semua," kata sumber ini.
Tempo tak bisa meminta konfirmasi perihal konflik Arifin-Ayung ini kepada Arifin. Dihubungi Kamis pekan lalu, istri Arifin, Eflin, juga menyatakan tak akan berkomentar apa pun tentang hal ini. "Saya ini sibuk," ujarnya. Lalu, klik, ia mematikan telepon.  (Selanjutnya >>)
John Kei, 43 tahun, memang bukan nama asing bagi polisi. Bertubuh tegap dan kekar, pria asal Kepulauan Kei, Maluku, itu lekat namanya dengan dunia kekerasan. Kelompok John--dikenal dengan nama kelompok Kei--beberapa kali terlibat bentrokan berdarah dengan kelompok preman lain di Ibu Kota. Geng Kei, misalnya, menghabisi nyawa Basri Sangaji, pemimpin geng Maluku lainnya, pada 2004. "Geng Kei memang dikenal sadis dan tak kenal ampun jika sudah berhadapan dengan musuh-musuhnya," ujar seorang polisi.
John sendiri dikenal keras. Pada 2008, misalnya, ia ditangkap Detasemen Khusus Antiteror karena menebas putus jari dua orang yang terbilang masih familinya (lihat "Jejak Berdarah John"). Di Jakarta, geng Kei dikenal sebagai spesialis penagih utang dan penjaga keamanan, dua mata pencarian yang membuat mereka kerap berhadapan dengan kelompok sejenis.
Keterlibatan John dalam pembunuhan Tan menjadi terang-benderang ketika polisi membuka rekaman CCTV Swiss-Belhotel. Menurut sumber Tempo, rekaman itu menunjukkan, pada pukul 21.28, bersama belasan anak buahnya, John Kei menuju kamar Ayung di kamar 2701.
Selama ini, seorang penyelidik, John kerap lolos dari tuduhan penganiayaan atau pembunuhan karena ia selalu memanfaatkan kesetiaan anak buahnya untuk menjadi martir: mengaku sebagai pelakunya. "Para martir itu sendiri lantas naik derajatnya di komunitas mereka," kata sumber itu. Hanya, kali ini, rupanya John kena batunya. "Kali ini kerja John jorok. Ia terekam CCTV," ujar seorang penyelidik.
sumber:  http://id.berita.yahoo.com/kekuatan-besar-di-balik-gangster-kei-013808336.html

Minggu, 26 Februari 2012

Bhineka : Wajah Plural Indonesia


18.02.2012 11:55

Penulis : Junaidi Hanafiah/Deytri Aritonang/Saiful Rizal/Fransisca Ria Susanti/Sihar Ramse   [ 2 Komentar ]
(foto:SH/Junaidi Hanafiah)
Bayangan bahwa Aceh tidak bersahabat dengan masyarakat nonmuslim ternyata salah besar. Provinsi yang dikenal sebagai wilayah yang ketat memberlakukan syariat Islam ini ternyata menyimpan toleransi yang luar biasa.
Efendi, pria asal Jakarta, mengaminkan itu. Selesai bekerja di kantor, Efendi sering duduk di warung kopi untuk melepas lelah atau bercengkrama dengan teman-temannya.
Kebiasaan duduk di warung kopi telah dilakoni Efendi sejak delapan tahun lalu, setelah perusahaan tempat dirinya bekerja mengirimkan dirinya ke Banda. Ia sebelumnya dirinya bekerja di Medan, Sumatera Utara, dan sejak 2003 dikirim ke Aceh.
Teman-teman Efendi di warung kopi sebagian besar adalah orang Aceh, agamanya pun berbeda dengan dirinya. Sebagian besar teman-temannya beragama Islam, sementara dirinya beragama Kristen.
"Sedikit pun tidak ada kendala saat bergaul dengan orang Aceh. Di Aceh, khususnya di Banda Aceh, masyarakat yang berbeda agama saling menghormati," kata Efendi ketika ditemui SH di salah satu warung kopi di Banda Aceh, Kamis (16/2) sore.
Bagi Efendi, hidup di Aceh sangat berbeda dengan di daerah lain, karena di Aceh, meskipun diberlakukan syariat Islam, penganut agama lain tetap bisa menjalankan ibadah dengan nyaman. Selain itu, warga Aceh juga sangat menghargai penganut agama lain.
Menurutnya, meski penganut agama lain selain agama Islam jumlahnya sangat kecil di Aceh, masyarakat minoritas tersebut tidak pernah diperlakukan sewenang-wenang atau tidak adil oleh warga Aceh.
"Anak-anak saya yang sudah SMA dan SD tidak pernah mengeluh atau melapor kepada saya kalau mereka dilecehkan anak-anak lain. Bahkan teman-teman anak saya sering ke rumah untuk mengerjakan tugas sekolah. Orang tua mereka juga tidak pernah melarang, padahal keluarga saya beragama Kristen," ia bercerita.
Efendi menyebutkan, tempat ibadah umat Katholik dan umat Islam di Banda Aceh letaknya juga tidak berjauhan. Jaraknya hanya sekitar 150 meter dan hanya dipisahkan sungai.
Namun hal tersebut tidak pernah dipertentangkan. "Gereja Hati Kudus dan Masjid Baiturrahman letaknya sangat berdekatan, tetapi tidak pernah ada masalah saat beribadah. Letaknya juga sama-sama di tengah kota," ujarnya.
Desi Susanti, penganut Kristen lainnya, menuturkan, meskipun dirinya sekolah di SMA 1 Banda Aceh yang siswanya mayoritas Islam, dirinya tidak pernah mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari teman-temannya.
"Teman-teman saya sangat menghargai agama yang saya anut. Mereka juga tidak segan-segan menolong saya saat saya butuh pertolongan," kata siswa kelas dua SMA 1 Banda Aceh ini.
Menurutnya, semua guru di sekolah tempat dirinya menuntut ilmu juga tidak pernah berlaku tidak adil terhadap dirinya. "Sejak SD hingga SMA saya sekolah di sekolah umum yang mayoritas siswanya beragama Islam, namun saya tidak sekali pun diperlakukan tidak adil atau diganggu karena agama saya berbeda," katanya.
Salah seorang pemimpin pesantren tradisional di Aceh Besar, Teungku Idris Umar, menyebutkan, karakter orang Aceh berbeda dengan masyarakat Indonesia lainnya. "Orang Aceh sangat toleran dengan masyarakat yang beragama lain selama mereka tidak mengganggu atau merusak tatanan hidup masyarakat Aceh, baik itu agama atau adat istiadatnya," katanya.
Menurutnya, masyarakat Aceh meyakini masyarakat agama lain yang hidup berdampingan dengan orang Aceh, selama mereka tidak mengganggu, harus dilindungi.
Isi Renungan Natal
Lain lagi cerita di Klaten, Jawa Tengah (Jateng). Udi Prasojo, seorang muslim warga Pluneng, Kecamatan Kebonarum, Klaten, Jawa Tengah pada misa Natal 24 Desember tahun lalu pernah didaulat Romo Kirjito Pr mengisi sepenggal renungan mengenai kebersihan lingkungan di wilayah tersebut.
Pada saat itu Udi menjadi salah satu warga yang turut mengamankan jalannya ibadah misa Natal. Sontak saja dia terkejut saat Romo Kirjito memanggilnya. Udi kaget karena diminta berbicara di hadapan sekitar 2.000 umat di Gereja Katolik Paroki Roh Kudus Kebonarum.
Pada kesempatan tersebut, Udi diminta menceritakan pengalamannya menyelamatkan kebersihan sungai dan saluran irigasi dari serbuan sampah rumah tangga setempat.
"Rumah saya berada tepat di samping saluran irigasi. Oleh karena itu, saya otomatis setiap hari melihat sampah-sampah memenuhi saluran tersebut. Akhirnya saya dan warga berinisiatif membersihkannya. Tentu saja saat membersihkan sampah tersebut saya menggerutu. Tetapi lama-lama saya berpikir untuk apa menggerutu? Saya lebih baik berzikir,'' tuturnya.
Saat menuturkan pengalamannya tersebut, Udi pun mengucap bacaan zikir itu. "Subhanallah... subhanallah... Itu yang selalu saya ucapkan sebagai pengganti kata makian dan gerutuan yang sering kali keluar dari mulut saat menyingkirkan sampah-sampah tersebut," katanya seperti dikutip Antara.
Ribuan umat di gereja tersebut langsung bertepuk tangan mendengar penuturan Udi. Tidak hanya Udi yang didaulat menuturkan pengalaman dan perjuangannya membersihkan sungai dan saluran irigasi di sekitar gereja, ada dua orang lagi yang menyampaikan hal serupa.
Toleransi juga muncul di Kabupaten Semenep, sekitar 100 km dari Sampang, Madura, Jawa Timur. Gambar nyata kerukunan di kabupaten berusia 741 tahun tersebut tampak di Desa Pabean, Kecamatan Kota.
Di Jalan Slamet Riadi, desa itu berdiri teguh dan menjadi lambang toleransi rumah ibadah tiga agama. Ketiganya terletak berdekatan, berdampingan. Berdiri di sisi paling Barat, Masjid Baitul Arham. Masjid itu berdiri tepat di pinggir kali dan butuh sarana jembatan untuk menempuhnya.
Di seberang kali dan jalan raya, sekitar 50 meter ke arah timur masjid itu, terdapat Gereja Katholik Maria Gunung Karmel. Meski gereja tampak tertutup, tidak tampak jejak intimidasi terhadap jemaat gereja pada bangunan gerejanya. Tepat di samping gereja, berdiri kompleks Sekolah Sang Timur yang merupakan milik sebuah Yayasan Katolik.
Lia (27), warga Desa Pabean yang juga jemaat gereja Maria Gunung Karmel mengakui, meski merupakan warga minoritas di daerah itu, tidak pernah ada intimidasi dari kaum mayoritas terhadap kaumnya.
Dia mengatakan, tidak pernah ada kekhawatiran dan ketakutan yang merasukinya dalam menjalankan ibadah. "Puji Tuhan, toleransi beragama di sini (Sumenep) cukup kuat," katanya.
Di Bojonegoro, Bupati Suyoto mengaku kehidupan antarumat beragamanya di daerahnya sangat moderat dan lebih longgar. Ia, sebagai aktivis Muhammadiyah, bahkan kadang diundang untuk mengisi khotbah di gereja. Ia juga sering berkunjung ke kelenteng.
Soal kebebasan mendirikan tempat ibadah, menurut Suyoto, memang ada kasus sebuah gereja yang belum mendapat izin berdiri di daerahnya. Ini karena yayasan tersebut awalnya mendirikan perkantoran dan kemudian hendak mendirikan gereja di perkantoran tersebut.
Suyoto secara pribadi tidak ada masalah, tetapi karena gaya berkomunikasi sejumlah orang di yayasan tersebut kurang bisa diterima masyarakat sekitar, masih terjadi penolakan. “Ini soal trust building. Jadi harus dibangun silaturahmi terus menerus,” katanya, saat berkunjung ke kantor redaksi SH baru-baru ini.
Hal sama juga terjadi saat Suyoto harus membatalkan izin sebuah ormas Islam Majelis Tafsir Alquran yang hendak menggelar tablig akbar di alun-alun karena penolakan dari Nahdlatul Ulama. “Soal prosedur tidak ada masalah, tetapi sosialnya yang tak bisa,” ujarnya.
Lain lagi di Depok, Jawa Barat. Di sana terdapat rumah ibadah yang letaknya berdampingan di sekitar wilayah Jalan Kerinci Raya, Depok Timur. Hal ini telah menjadikan wilayah ini bagaikan miniatur Indonesia dengan falsafah Bhineka Tunggal Ika-annya.
Selain masjid yang ada di sekitar Jalan Kerinci, di situ terdapat Gereja Katholik Santo Markus Depok II Timur, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Depok II Timur, dan Pura Tri Bhuana Agung. Letaknya berdampingan, berhadapan, ataupun tak jauh dari setiap rumah ibadah pemeluk umat agama yang berbeda ini.
Rumah-rumah ibadah yang sudah berdiri sejak 1980-an itu telah lama berinteraksi dengan para warga. Di depan HKBP saja, ada yang membuka warung kopi, menjual bakso, hingga tempat juru parkir. Apalagi, di sampingnya, ada kantor pos yang sudah tiga puluh tahun berdiri. Mereka semua adalah bagian dari warga di Jalan Kerinci.
Tidak jarang, baik yang akan beribadah di pura mau pun yang menunggu kebaktian di HKBP atau gereja Katholik, mampir membeli rokok ataupun teh botol dan minuman ringan di warung tepat di samping pura. Kadang terlihat juga anak-anak ataupun orang tua jemaat dari gereja singgah dan mampir ke halaman di depan pura untuk menyaksikan pepohonan di taman yang terlihat asri itu.
Ibadah Berdampingan
Secuil keharmonisan yang terjaga lebih dari setengah abad, dalam bentuk dua tempat ibadah umat agama berbeda yang berdampingan, tampak di Jalan Enggano, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Gereja Masehi Injil Sangihe Talaud Mahanaim dan Masjid Al-Muqarrabien berdiri berdampingan di sana.
Dua tempat ibadah tersebut sudah berdiri berdampingan, hanya dipisahkan tembok sebagai pembatas kedua bangunan tersebut. Meski berbeda keyakinan, kedua tempat ibadah itu seperti tampak serasi dengan warna dominan putih dan merah.
"Kalau berdiri sendiri-sendiri, tanpa ada bangunan di sebelahnya, gereja tidak ada masjid, atau sebaliknya, terlihat kurang bagus," kata Dikson Bawuna, Wakil Ketua Jemaat Gereja Mahanaim, saat berbincang dengan SH di ruang pengurus Gereja Mahanaim, Jakarta Utara, Kamis (16/2).
Dikson menceritakan bahwa bukan hanya bangunannya yang berdampingan, namun jemaat dan jemaah masing-masing tempat ibadah itu pun akrab menjalin kebersamaan.
"Saat tragedi Tanjung Priok pada 1984, mereka (jemaah masjid) yang menjaga gereja ini. Mereka sempat bilang kepada puluhan orang yang mau bakar gereja ini, kalau mereka mau bakar gereja, bakar masjid dulu, langkahin mereka dulu. Jadi, mereka yang sebenarnya berjuang pada waktu peristiwa Tanjung Priok dulu. Di sini aman karena mereka yang jaga,” tuturnya.
Suasana saling menjaga masih terlihat hingga kini, khususnya setiap Natal dan Tahun Baru. Umat muslim dari masjid maupun warga sekitar pasti ikut membantu menjaga keamanan gereja.
Ketua Jemaat Gereja Mahanaim, Tatalede Barakati, menambahkan, sejak awal dibangunnya gereja tersebut pada 1957 dan masjid pada 1959, kegiatan ibadah di dua tempat tersebut tidak pernah saling mengganggu dan terganggu. Dicontohkan perempuan yang akrab disapa "oma" ini adalah dihadapkannya pengeras suara masjid ke arah barat. Gereja itu berada di sisi timur masjid.
Gereja Mahanaim dan Masjid Al-Muqarrabien, Oma menambahkan, memang seperti saudara sekandung. Dengan letaknya yang berdempetan, menggunakan satu tembok penghubung, tidak pernah terjadi masalah apa pun dari dua pengurus tempat ibadah itu.
Layaknya saudara, nilai toleransi antara keduanya benar-benar ditanamkan, bukan hanya antarpemimpin kedua tempat ibadah, tetapi juga ditularkan kepada para jemaat gereja dan jemaah masjid. Satu bentuk toleransi yang tinggi, yang terjadi antara keduanya terlihat ketika pihak gereja membatalkan jadwal kebaktian pada Minggu pagi karena bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri.
Begitu juga dengan pihak Masjid Al Muqarrabien, yang juga selalu menanamkan nilai-nilai toleransi dalam setiap kegiatan pengajian maupun ceramah-ceramah agama lainnya.
"Masjid ini dibangun dengan fondasi kebersamaan yang sangat kokoh, dan nilai-nilai itu harus tetap dijaga sampai kapan pun," kata Haji Tawakal (38), Ketua Masjid Al Muqaarabien, saat berbincang dengan SH, Kamis (16/2).
Menurutnya, berbagai cara dilakukan demi menjaga kerukunan antara dua umat beragama, muslim dan Kristen. Karenanya, saat berada di lingkungan Gereja Mahanaim dan Masjid Al-Muqarrabien terasa sejuk. Gereja dan masjid berdampingan, berbagi tembok penghubung. Nyanyian gereja dan azan bisa saling bersahutan tanpa seteru.
Menurutnya, pihak gereja tidak segan membantu ketika pihak masjid melakukan khitanan massal. Begitu juga dengan kegiatan-kegiatan masjid lainnya, pihak gereja dengan cepat dan kepedulian yang besar, membantu pihak masjid.
Dia mengatakan, itu seperti arti kata Al-Muqarrabien, yang mengandung arti saling menghormati, menjaga kesatuan dan persatuan. Dengan begitu, para jemaah di masjid itu, kata Tawakkal, dapat terus hidup berdampingan tanpa ada masalah apa pun.
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/content/read/wajah-plural-indonesia/

Sabtu, 25 Februari 2012

Kelompok Ekstrem Beragama Harus Diberantas


15.02.2012 08:21

  

(foto:dok/antaranews.com)
TIMIKA - Bupati Mimika, Papua, Klemen Tinal menegaskan kelompok ekstrem beragama tidak boleh hidup di daerahnya sehingga keberadaan aliran sesat "ingkar sunnah" yang dianggap membahayakan warga harus diberantas.

"Tidak boleh ada ekstrem kiri dan ekstrem kanan tumbuh di Mimika. Kalau ekstrem kiri yaitu komunis, dan ekstrim kanan yaitu aliran keagamaan yang tidak mau hidup berdampingan dengan agama-agama lain," kata Klemen Tinal, Rabu (15/2).

Ia meminta warga agar melaporkan ke aparat pemerintah setempat jika mengetahui ada kegiatan aliran-aliran sesat di lingkungan masing-masing.

"Kalau ada aliran sesat, segera laporkan ke pemimpin agama setempat untuk diteruskan ke pemerintah. Semua organisasi yang tidak sejalan dengan Peraturan Pemerintah akan kita berantas agar tidak merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara," imbau Klemen Tinal.

Menurut dia, motto Kabupaten Mimika yaitu "Eme Neme Yauware" yang berarti bersatu, bersaudara membangun merupakan implementasi dari semangat Bhineka Tunggal Ika. Melalui motto tersebut, semua suku bangsa, agama dan golongan di Mimika harus mampu hidup berdampingan dengan mengedepankan semangat persatuan dan persaudaraan agar tercipta situasi keamanan yang kondusif.

Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kabupaten Mimika, H Abdul Muthalib Elwahan memuji semagat toleransi antar umat beragama di Mimika dimana semua kelompok agama, suku, ras dan golongan mampu hidup berdampingan secara damai tanpa pernah terusik dengan konflik yang bermuatan SARA.

Sementara Ketua Majelis Ulama (MUI) Kabupaten Mimika, Ustadz Amin AR SAg saat kegiatan peresmian tiga buah masjid baru di Distrik Kuala Kencana, Selasa meminta aparat kepolisian setempat mengusut tuntas keberadaan aliran sesat "ingkar sunnah".

Ustadz Amin mengatakan, aliran sesat "ingkar sunnah" diduga kuat telah berkembang di Timika selama kurun waktu tiga hingga empat bulan terakhir dengan pengikut sekitar 50-70-an jemaah.

Lokasi pengajian jemaah aliran "ingkar sunnah" tersebut berpindah-pindah seperti di belakang Hotel Anggrek Sempan, Nawaripi dan di Kota Timika. Pemimpin aliran sesat tersebut diketahui merekrut kalangan orang muda dengan melakukan doktrin tertentu dan menyebarkan buku-buku yang tidak sesuai dengan kaidah Islam.

"Saya pernah bicara dengan pemimpinnya agar kegiatan mereka dihentikan dan menghentikan penyebaran buku-buku karena sangat berbahaya. Sistem yang mereka kembangkan yaitu mendoktrin anak-anak muda," jelas Ustadz Amin.

Dari hasil investigasi yang dilakukan MUI Mimika, aliran sesat "ingkar sunnah" tersebut memiliki ciri-ciri yaitu tidak percaya rukun iman dan rukun Islam, tidak percaya hadits Nabi Muhammad SAW tetapi hanya mengaji Qur'an, syahadat tidak seperti lazimnya dan mempercayai ada Kitab Suci lain setelah Alqur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Keberadaan aliran sesat "ingkar sunnah" tersebut telah dilarang oleh Jaksa Agung RI.

"Kami meminta aparat kepolisian segera mengusut tuntas keberadaan aliran sesat ingkar sunnah yang telah melakukan kegiatan pengajian selama tiga sampai empat bulan di Timika. Kepada semua pihak diminta berwaspada dan terutama kepada umat muslim di Mimika agar tidak melakukan tindakan anarkis. Kami menyerahkan sepenuhnya pengusutan masalah ini kepada pihak berwajib," ujar Ustadz Amin.

Selain aliran sesat "ingkar sunnah", menurut Ustadz Amin, MUI Mimika juga tengah mengidentifikasi perkembangan dua aliran lainnya yang diduga juga merupakan aliran sesat.

"Untuk dua aliran lainnya sementara sedang kami investigasi sehingga kami belum bisa memberikan kesimpulan," ujarnya. (An


Berita terkait :

Cara Dakwah FPI Dinilai Keliru

Elvan Dany Sutrisno - detikNews
Sabtu, 18/02/2012 10:23 WIB
 
Jakarta Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Saleh Daulay, mengkritik cara berdakwah Front Pembela Islam (FPI). Ia menilai FPI berdakwah tidak dengan cara yang baik.

"FPI mau berdakwah tapi tidak dengan cara yang baik. Coba kalau anak kecil melihat FPI dengan busana Islami tapi menganggu ketentraman umum dengan tindakan kekerasan," kata Saleh dalam diskusi Polemik bertajuk "RUU Ormas" di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (18/2/2012).

Saleh mengatakan FPI melakukan banyak hal semaunya, termasuk menindak orang yang dianggap mengganggunya.

"Sepertinya, FPI itu lebih tinggi dari aparat penegak hukum bahkan lebih dari Presiden. FPI tidak ada diganggu orang tapi FPI ganggu orang. Ini yang harus diluruskan, FPI sepertinya punya surga sendiri," kata Saleh.
Sumber : http://news.detik.com/read/2012/02/18/102313/1845680/10/cara-dakwah-fpi-dinilai-keliru

FPI : Dayak Menyelamatkan Pluralisme Indonesia

13.02.2012 12:02

Penulis : Aju   [ 3 Komentar ]

(foto:SH/Aju)
Sebuah SMS dari nomor tidak dikenal masuk ke telepon genggam, Jumat (10/2), pukul 09.00 malam.
“Sebagai aksi penolakan terhadap FPI di Kalteng, berdasarkan hasil rapat DAD/MADN hari ini, maka Sabtu, 11 Februari 2012, pukul 09.00 WIB di Bundaran Besar akan diadakan pelantikan Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak Kalteng. Semua warga Dayak diundang hadir menggunakan ikat kepala berwarna merah. Tolong sebarluaskan informasi ini. Amun beken itah eweh hindat!”
FPI singkatan dari Front Pembela Islam, DAD singkatan Dewan Adat Dayak dengan level pengurus tingkat provinsi, dan MADN singkatan dari Majelis Adat Dayak Nasional dengan level pengurus mencakup empat provinsi di Kalimantan.
Sementara Bundaran Besar salah satu tempat strategis di Palangkaraya, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Amun beken itah eweh hindat adalah bahasa Dayak Ngaju yang artinya, “kalau tidak kita, siapa lagi”.
Awalnya isi SMS itu tidak terlalu saya hiraukan, karena sudah terbiasa terjadi menjelang perhelatan politik di Kalimantan yang selalu mengedepankan strategi politik identitas.
Apalagi di Provinsi Kalimantan Barat tengah digelar tahapan pelaksanaan pemilihan langsung serentak gubernur dan wakil gubernur, serta wali kota dan wakil wali kota Singkawang periode 2013–2018.
Tapi Sabtu pukul 10.15, Kepala Polisi Daerah Kalimantan Tengah Brigjen (Pol) Damianus Jackie dibuat kalang kabut mendengar massa menduduki bandara, sehingga mesti meluncur ke Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya.
Rusak Tenda
Damianus Jackie, seorang muslim yang taat dari Suku Dayak Kanayatan, Desa Darit, Kecamtaan Menyuke, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat itu, turun langsung menenangkan ribuan warga suku Dayak dengan ikat kepala warna merah, yang memprotes kedatangan Ketua Umum FPI Habib Rizieq, Wakil Sekretaris Jenderal Habib Muhsin Al Atas, Ketua Bidang Dakwah KH Alwi Masykuri, dan Panglima FPI Ustad Maman.
Massa berhasil dikendalikan. Rombongan FPI yang menumpang pesawat Sriwijaya tidak jadi turun dari pesawat. Mereka dipaksa melanjutkan perjalanan ke Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Gubernur Kalteng Agustinus Teras Narang ikut pula menenangkan massa di Bandara Tjilik Riwut, Sabtu itu sekitar pukul 11.30. Kebetulan Agustinus adalah pemangku jabatan Ketua MDAN.
Berhasil menggagalkan kedatangan pentolan FPI, massa warga Dayak lain yang sejak Sabtu pagi mengepung kediaman Habib Muhri di Jalan Meranti, Palangkaraya, merusak dan membakar tenda yang sedianya dijadikan tempat pelantikan Pengurus FPI Provinsi Kalteng.
Massa kemudian melanjutkan perjalanan untuk menghadiri pelantikan Pengurus Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak (MPMAD) Provinsi Kalteng di Bundaran Besar, Palangkaraya.
Wakil Ketua DAD Provinsi Kalteng Lukas Tingkes mengatakan, MPMAD bertujuan menjaga dan mengawal tak hanya hak adat masyarakat Dayak, tetapi juga berbagai suku, agama, ras, dan antargolongan di Provinsi Kalteng.
Virus Kekerasan
Lukas Tingkes mengatakan, DAD Provinsi Kalteng sudah jauh hari sebelumnya mengirim surat kepada Kapolda Kalbar agar menolak keras keberadaan organisasi FPI. FPI dinilai tidak lebih dari virus pembawa budaya kekerasan yang berimplikasi kepada perpecahan segenap komponen masyarakat di Provinsi Kalteng.
Tokoh Masyarakat Dayak Uud Danum Provinsi Kalteng, Napa Irang Awat, mengatakan, insiden di Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, sebagai peringatan keras bagi pemerintah, agar bersikap lebih tegas terhadap sebuah komunitas masyarakat yang selalu mengedepankan budaya kekerasan dalam menyelesaikan persoalan, dengan berlindung di balik agama tertentu.
“Sesuai undang-undang, FPI sebagai sebuah organisasi massa memang berhak beraktivitas di Provinsi Kalteng. Tapi masyarakat di Provinsi Kalteng lebih mengutamakan terciptanya rasa keamanan dan ketertiban masyarakat,” kata Napa.
Insiden di Kalbar
Menurut Napa Irang Awat, mantan Rektor Universitas Palangkaraya, kalau FPI ingin dibentuk di Kalteng, mesti ada jaminan secara nasional bahwa FPI tidak lagi bertindak sebagai pelaku kekerasan di dalam menyelesaikan berbagai permasalahan.
Berdasarakan catatan SH, di Provinsi Kalimantan Barat, FPI pernah tiga kali nyaris bentrok dengan massa masyarakat suku Dayak, terkait isu penyerangan Gereja Katedral Santo Josep, Pontianak Selatan, karena tersinggung dengan pernyataan Paus Benedictus VI tentang budaya kekerasan tahun 2006, kemudian protes terhadap kehadiran Gereja Katolik Paroki Bunda Maria Jeruju, Pontianak Barat tahun 2006, dan protes keberadaan Patung Naga di tengah Kota Singkawang tahun 2009.
Rencana penyerangan FPI ke tiga tempat itu dibatalkan, karena massa dari suku Dayak sudah terlebih dahulu berada di lokasi yang akan diserang. Di Singkawang, terkait protes terhadap keberadaan Patung Naga, massa FPI lari tunggang langgang, malah ada yang menabrak tembok, lantaran dikepung massa suku Dayak.
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/content/read/dayak-menyelamatkan-pluralisme-indonesia/

FPI di Kalteng, Tak Terkait Suku dan Agama


14.02.2012 09:48

Penulis : Aju   
(foto:SH/Aju)


PONTIANAK - Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menegaskan, penolakan ribuan massa masyarakat suku Dayak terhadap pelantikan Pengurus Front Pembela Islam (FPI) Provinsi Kalteng, Sabtu (11/2) lalu sama sekali tidak terkait dengan suku dan agama tertentu.
Massa suku Dayak merangsek masuk ke bagian afron Bandar Udara Tjilik Riwut untuk merazia Ketua Umum FPI Habib Rizieq dan tiga pengurus lainnya, kemudian merusak dan membakar tenda yang sedianya dijadikan lokasi pelantikan Pengurus FPI Provinsi Kalteng, di Jalan Meranti, Palangkaraya, Sabtu.
Wakil Gubernur Kalteng Achmad Diran kepada SH, dari Pontianak mengatakan, hasil rapat pimpinan agama, pimpinan organisasi masyarakat (ormas), dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Provinsi Kalteng, ditetapkan lima pernyataan terhadap penolakan pembentukan FPI di Kalteng.
Rapat koordinasi yang digelar pada Senin (13/2), bertempat di Aula Jayang Tingang, menyatakan sikap terkait aksi penolakan pembentukan FPI di Provinsi Kalteng. Forum rapat koordinasi tersebut tetap menolak pembentukan FPI di Kalteng.
Berbagai tokoh masyarakat, agama, dan ormas yang menyatakan sikap tersebut, yakni Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Kalteng, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Provinsi Kalteng, Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah Kalteng, dan Ketua Lembaga Dakwah Islam Indonesia Provinsi Kalteng. Selain itu juga Ketua Forum Komunikasi Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan Kalteng, serta berbagai organisasi Gereja Kristen, seperti Ketua Majelis Jemaat Gereja Kristen Evangelis (GKE) Provinsi Kalteng, dan Keuskupan Palangkaraya.
Pernyataan sikap tersebut diketahui Gubernur Kalteng Agustinus Teras Narang, Wakil Gubernur Kalteng H Achmad Diran, Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalteng H Arief Budiatmo, Kapolda Kalteng Brigjen Drs H Damianus Jackie, dan Ketua Pengadilan Tinggi Kalteng Yohanes Ether Binti. Selain itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Kalteng DR Syaifudin Kasim mewakili Danrem 102/Panju Panjung Mayor ARH Kurniawan Fitriana dan Kepala Pelaksana Harian Badan Intelijen Negara Provinsi Kalteng Brigjen Ignatius Anjar Pramono.
Pernyataan Sikap
Lima pernyataan sikap yang diperoleh SH meliputi, pertama, semua pemimpin agama, ormas, dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kalteng menyatakan penolakan pelantikan FPI tersebut tidak terkaitan dengan agama dan suku. Kedua, agar kejadian tersebut tidak terulang kembali dan semua pihak wajib bersama-sama menjaga kebersamaan dan ketentraman, serta kerukunan umat beragama, dan memelihara tri kerukunan umat beragama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketiga, sepakat menyatakan masalah tersebut telah selesai dan semua pihak siap untuk kembali menciptakan kondisi Kalteng yang rukun dan damai. Keempat, hindari upaya adu domba dalam masyarakat dan tindak tegas pelakunya sesuai dengan hukum yang berlaku. Kelima, tingkatkan persatuan dan kesatuan dengan semangat “Huma Betang di Bumi Tambun Bungai Bumi Pancasila Kalteng”. Pernyataan sikap tersebut dibuat untuk diketahui dan dilaksanakan secara bersama-sama demi keutuhan dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tokoh masyarakat yang juga mantan Rektor Universitas Palangkaraya, Napa Irang Awat, menegaskan, penolakan FPI karena suku Dayak di Provinsi Kalteng sangat menghargai keberagaman, mencintai keamanan, dan ketertiban masyarakat. “Sedangkan aktivitas FPI selama ini di sejumlah daerah identik dengan budaya kekerasan. Perlu diketahui sebagian besar suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah pemeluk agama Islam, tapi mereka sangat menghargai perbedaaan,” ujar Napa.

FPI Diminta Introspeksi Diri


22.02.2012 11:28
  
(foto:dok/hariansib.com)
JAKARTA - Imam Masjid Pusat Kegiatan Islam ("Islamic Centre") New York, AS, Shamsi Ali mengimbau ormas Front Pembela Islam (FPI) untuk melakukan introspeksi tentang metode yang selama ini dijalankan.

Pernyataan itu ia sampaikan untuk menanggapi fenomena Indonesia Tanpa FPI, tantangan terhadap salah satu ormas Islam di Indonesia yang saat ini menjadi buah bibir banyak kalangan, terutama di media jejaring sosial.

"Saya mengimbau agar teman-teman di FPI introspeksi diri. Apakah jalan yang mereka tempuh sesuai dengan etika Islam atau tidak," kata Shamsi kepada ANTARA di Jakarta, Selasa malam (21/2).

Menurut dia, ormas-ormas Islam tetap diperlukan untuk mewadahi aspirasi yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan.

"FPI ada karena adanya dorongan masyarakat untuk meredam kemungkaran-kemungkaran yang terjadi. Namun, saya tidak setuju jika untuk meredam kemungkaran dilakukan dengan cara yang mungkar pula, yang tidak sesuai dengan etika Islam," katanya.

Shamsi juga berpendapat bahwa pembubaran FPI tidak menyelesaikan masalah karena publik yang mendukungnya tetap ada karena merasa aspirasi mereka terwakili oleh ormas tersebut.

"Saya benar-benar mengimbau FPI untuk merenungkan apakah cara yang mereka gunakan itu sesuai dengan nilai-nilai yang diperjuangkan karena selamanya Islam itu membawa pesan damai, bukan kekerasan," katanya.

Ia menjelaskan dalam Alquran, setiap ada kata jihad selalu diiringi dengan kata "fisabilillah" atau "terkait dengan jalan Allah" yang merupakan jalan kebenaran dan kebaikan sehingga jangan sampai niat yang baik ditempuh dengan cara-cara yang melenceng dari jalan itu.

"Jika kita melihat pada sejarah perjuangan Nabi Muhammad, beliau selalu melakukan dakwah secara persuasif melalui jalan yang damai," kata Shamsi.

Imam Shamsi Ali datang ke Indonesia bersama rombongan yang terdiri atas 13 pemuka agama-agama di AS, untuk menyampaikan pesan perdamaian bahwa agama bukan merupakan sumber konflik, namun sumber harmoni manusia di dunia.

Pemuka-pemuka agama tersebut mewakili tiga elemen komunitas, yakni Yahudi, Kristen (Katolik dan Protestan) dan Islam.

Rombongan tersebut tiba di Jakarta pada Selasa (21/2) dan telah mengunjungi Pesantren Darun Najah di Jakarta Pusat. Pada Rabu (22/2), mereka dijadwalkan bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyampaikan misi yang mereka bawa.

Setelah mengunjungi Jakarta, rombongan antarkepercayaan itu akan melanjutkan membawa misinya ke Jordania untuk menemui Raja Abdullah II dan Yerusalem untuk menemui Pemimpin Palestina Mahmoud Abbas dan Tokoh Israel Simon Perez. (Ant)
sumber:  http://www.sinarharapan.co.id/content/read/fpi-diminta-introspeksi-diri/

Jumat, 24 Februari 2012

FPI Keberatan atas Laporan Wikileaks


08.09.2011 10:40
Penulis : M Bachtiar Nur   

(foto:dok/ist)
JAKARTA – Front Pembela Islam (FPI) meminta pemerintah memanggil Duta Besar AS di Jakarta untuk dimintai keterangan terkait data yang dibocorkan situs Wikileaks. Selain itu, pemerintah juga diminta menyampaikan Nota Protes Diplomatik secara resmi ke Gedung Putih.
Hal tersebut disampaikan Ketua DPP FPI Munarman ketika dihubungi, Rabu (7/9). FPI keberatan dengan beredarnya berita kawat diplomatik Kedutaan Besar Amerika Serikat tentang FPI yang dibocorkan Wikileaks itu.
Munarman mengatakan, tudingan terhadap FPI tersebut tanpa fakta. Tudingan itu antara lain terkait pendanaan FPI oleh Polri, Badan Intelijen Negara (BIN), ataupun institusi pemerintah lainnya.
Akibat pendanaan itu, FPI digambarkan sebagai attack dog. FPI juga meminta pemerintah RI melakukan tindakan hukum terhadap pihak-pihak yang menyebarluaskan berita bohong, karena telah melecehkan dan memfitnah dua institusi penting negara, yaitu Polri dan BIN.
Munarman menambahkan, pernyataan Yahya Assegaf mengenai pendanaan terhadap FPI dilakukan karena mereka kecewa tidak bisa mengendalikan FPI. Yahya sendiri juga diketahui latar belakangnya sebagai intelejen. "Dia melakukan black propaganda, memfitnah FPI sebagai attack dog polisi. Ini poin penting dari dokumen yang telah dikeluarkan Wikileaks," ujarnya.
Untuk menindaklanjuti laporan itu, Munarman mengaku telah mengklarifikasi ke pengurus-pengurus lama. Mereka mengaku tidak pernah menerima dana dari para donatur yang disebutkan Wikileaks itu.
"Kalau benar ada, mungkin FPI gedungnya sudah 10 lantai. FPI juga tidak lagi repot minta sumbangan. Saat ini, kalau hendak mengadakan kegiatan, kami minta sumbangan dari kantong masing-masing, baik pengurus maupun jemaah," katanya.
Dalam kesempatan itu, ia menambahkan, bocoran kawat diplomatik kedubes AS tertanggal 19 Februari 2006 yang dikutip Wikileaks memberikan keanehan tersendiri. Ia menjelaskan, di Amerika, identitas anggota CIA tidak bisa diketahui kecuali oleh direktur CIA, dan menteri pertahanan, dan presiden.
Sebaliknya, di Indonesia, agen BIN jelas-jelas membuka identitasnya dan diketahui oleh kedutaan asing. "Artinya apa? Fungsi-fungsi kontra-intelejen tidak bisa dilakukan lagi oleh BIN ini, karena agen-agennya sudah diketahui orangnya siapa saja. Justru yang sekarang ini terjadi, agen BIN membocorkan atau lebih tepatnya menjual informasi ke diplomat Amerika,” katanya.
sumber :http://www.sinarharapan.co.id/content/read/fpi-keberatan-atas-laporan-wikileaks/

Jumat, 03 Februari 2012

Bhineka : Gangguan terhadap Gereja, Keadilan Masih Sebatas Angan

26.01.2012 11:28
  

(foto:dok/ist)
Kira-kira pukul 10 pagi cuaca cerah di Desa Waru, di antara perkebunan singkong. Umat Paroki Santo Joannes Baptista Parung mulai meninggalkan area gereja dengan tertib.
Namun di pintu gerbang, mereka disambut sekitar 30 demonstran yang sebagian usia remaja. Para pendemo mengenakan baju dan celana putih serta peci.
Ada juga yang menutup seluruh wajah, sambil membentangkan empat spanduk. Isinya hanya desakan agar pihak gereja Katolik tersebut menghentikan segala kegiatan keagamaan di Desa Waru, Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Pagi itu, pendemo dipimpin Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Parung, KH Madyasae dan pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bogor.
Mereka menilai keberadaan gereja tersebut belum memenuhi persyaratan administratif, teknis bangunan gedung, dan persyaratan khusus. Demonstrasi penolakan seperti ini telah berlangsung sejak 2008 dan eskalasinya meningkat setiap kali menjelang Natal dan Paskah.
Pasal 14 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 dan Nomor 08 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan FKUB, dan Pendirian Rumah Ibadat mengatur empat persyaratan untuk pendirian rumah ibadah.
Pertama, daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3).
Kedua, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. Ketiga, rekomendasi tertulis kepala kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota. Keempat, rekomendasi tertulis FKUB Kabupaten/Kota.
“FKUB tidak punya dasar yang kuat untuk tidak merekomendasikan pendirian rumah ibadah yang juga menjadi dasar pihak MUI Kecamatan Parung yang terus menolak keberadaan gereja Katolik,” kata Hendrikus Hena, panitia Pembangunan Gereja Katolik Paroki St Joannes Baptista Parung, kepada SH, Rabu (25/1) malam.
Alasannya, FKUB secara institusi belum pernah memverifikasi pengguna dan pendukung gereja, tapi atas dasar itulah mereka mendorong Pemerintah Kabupaten Bogor menerbitkan Surat Keputusan (SK) Penghentian Kegiatan Keagamaan di Paroki St Joannes Baptista Parung, ia menjelaskan.
Hendrikus mengatakan bahwa segala persyaratan telah dilengkapi lebih dari empat tahun lalu. Sementara itu, data yang diajukan terakhir, dukungan dari penduduk Desa Waru sudah mencapai 110 jiwa dan pernyataan para pendukung yang ditandatangi RT/RW sudah mencapai lebih dari 200 jiwa.
Itu berarti batas minimum persyaratan telah terpenuhi bahkan melebihi, terutama oleh masyarakat setempat.
Selama enam tahun ini pula kegiatan ibadah aman. Bahkan warga sekitar, termasuk RT dan RW setempat turut mengamankan jalannya ibadah. Umat Gereja Paroki pun terus bertambah, hingga kini mencapai sekitar 2.000 orang dari warga sekitar maupun desa/kabupaten lain.
Satu-satunya dukungan yang belum ada adalah dari FKUB Kabupaten Bogor, sejak diajukannya izin permohonan pembangunan gereja kepada Bupati Bogor Ref 08/II/PPG/2007 tanggal 1 Februari 2007 perihal Permohonan Izin Membangun Gereja Katolik St Joannes Baptista Parung.
Atas adanya perbedaan sudut pandang, Hendrikus berharap ke depan ada penyelesaian yang tidak merugikan kedua belah pihak. “Harapan ke depan agar semua elemen pemerintah yang berkompeten dalam hal pendirian rumah ibadah, lebih bijaksana dan arif demi keadilan semua anak bangsa,” seru Hendrikus.
Ibadah memang merupakan kebutuhan rohani bagi setiap manusia yang percaya kepada Tuhan. Entah, ibadah di gereja, masjid, wihara, pura, atau apa pun namanya.
Adalah tanggung jawab negara beserta aparaturnya untuk memberikan perlindungan bagi setiap rakyatnya dalam menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing. Jadi, perlukah urusan hati manusia dengan Tuhannya dikorbankan hanya demi kejayaan suatu kelompok? (CR-19)
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/content/read/gangguan-terhadap-gereja-keadilan-masih-sebatas-angan/

Perceraian

Tiga Daerah Paling Banyak Cerai Warganya

 

Selasa, 24 Januari 2012 08:16 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan angka perceraian nasional hingga 70 persen. Ada tiga daerah tercatat memiliki tingkat perceraian paling tinggi.
Bandung menempati urutan pertama. Berdasarkan data Pengadilan Tinggi (PT) tahun 2010, angka perceraian mencapai 84.084 perkara. Angka tersebut naik 100 persen lebih dibanding tahun sebelumnya sebanyak 37.523 perkara. Rincian penyebab perceraian adalah sebanyak 33.684 perceraian akibat faktor ekonomi, 25.846 perkara tidak ada keharmonisan, dan 17.348 perkara tidak ada tanggungjawab.

Peringkat kedua diduduki PT Surabaya sebanyak 68.092 perkara. Angkanya meningkat sembilan persen daripada 2009 sebanyak 63.432 perkara. Rincian faktor perceraian di antaranya sebanyak 22.766 perkara akibat tidak ada keharmonisan, sebanyak 17.032 perkara tidak ada tanggungjawab, dan 12.326 perkara faktor ekonomi.
PT Semarang menyusul di posisi berikutnya dengan jumlah 54.105 perkara pada 2010. Angka tersebut meningkat 17 persen dibanding tahun sebelumnya sebanyak 47.592 perkara. Rincian penyebab perceraian antara lain sebanyak 21.648 perkara tidak ada tanggungjawab, sebanyak 13.904 tidak ada keharmonisan, dan sebanyak 12.019 perkara akibat faktor ekonomi.
Dirjen Badilag MA, Wahyu Widiana, mengatakan tren kenaikan perceraian dari tahun ke tahun tidak dapat dicegah. Meski begitu, pihaknya menyangkal bahwa persoalannya adalah mudahnya hakim pengadilan agama mengetok palu untuk menyetujui perceraian. “Malah kami selalu berusaha mediasi agar perceraian tak terjadi,” tepis Wahyu.
Redaktur: Didi Purwadi
Reporter: Erik Purnama Putra
sumber :
http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/12/01/24/lya3j5-tiga-daerah-paling-banyak-cerai-warganya
 
Berita terkait :
 

8000-an Lebih Wanita Sukabumi Menjanda

Jumat, 03 Pebruari 2012 08:47 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, SUKABUMI --- Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPKB) Kota Sukabumi mencatat ada ribuan warga kota Sukabumi berstatus duda dan janda. Mereka menjanda/menduda baik karena bercerai atau ditinggal meninggal.
"Dari data yang tercatat di kami, jumlah janda sebanyak 8.733 orang dan duda sebaganya 2.554," kata Kepala BPMPKB Kota Sukabumi, Hamdan, kepada wartawan, Jumat.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya warga Sukabumi berstatus janda dan duda. Di antaranya adalah minimnya pendapatan masyarakat, kurang sadarnya akan kesehatan dan kurang sadar dalam menggunakan alat kotrasepsi KB. Faktor lain yakni banyaknya kasus perceraian yang disebabkan oleh pernikahan muda.
"Kami pun mempunyai progam khususnya untuk mereka yang berstatus janda yakni progam perempuan kepala keluarga kepemimpinan (PEKKA),'' katanya. ''Program ini bertujuan untuk membuat kaum ibu menjadi kepala keluarga agar mampu mengayomi anaknya yang ditinggal bapaknya atau yatim." 
Redaktur: Didi Purwadi
Sumber: Antara
sumber : http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/12/02/03/lysnms-8000an-lebih-wanita-sukabumi-menjanda
 

Cari Blog Ini