Mengenai Saya

Foto saya
Shio : Macan. Tenaga Specialist Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar. Trainer Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar Negara Asing. Pengajar part time masalah Surveillance Detection, observation techniques, Area and building Analysis, Traveling Analysis, Hostile surveillance Detection analysis di beberapa Kedutaan besar negara Asing, Hotel, Perusahaan Security. Bersedia bekerja sama dalam pelatihan surveillance Detection Team.. Business Intelligence and Security Intelligence Indonesia Private Investigator and Indonesia Private Detective service.. Membuat beberapa buku pegangan tentang Surveilance Detection dan Buku Kamus Mini Sureveillance Detection Inggris-Indonesia. Indonesia - Inggris. Member of Indonesian Citizen Reporter Association.

Jumat, 01 Maret 2013

Pemerintah Akui Gagal Upayakan Dialog


Saiful Rizal | Jumat, 01 Maret 2013 - 15:50:00 WIB
: 49


(Foto:dok/officialwaru.wordpress.com)
Ilustrasi.
Tidak adanya sanksi hukum suburkan tindak kekerasan.

JAKARTA – Pemerintah mengakui aksi-aksi intoleran yang dilakukan gerombolan militan terhadap para penganut agama minoritas masih sering terjadi. Upaya pemerintah untuk mendorong dialog dari pihak yang bertikai selama ini belum membuahkan hasil karena masing-masing pihak menutup pintu dialog. Demikian dikatakan Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar menanggapi survei Human Right Watch (HRW), lembaga internasional pemerhati hak asasi manusia, yang menuding pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono yang lembek menghadapi gerombolan militan antipluralisme.

"Sejauh ini pemerintah telah cukup berkeringat mengatasi masalah ini. Namun selama pintu dialog sulit dibuka oleh semua kelompok, upaya penyelesaian masalah intoleran seperti yang terjadi di beberapa daerah sulit terjadi," ungkapnya, Jumat (1/3).

Menurut Nasaruddin, masyarakat Indonesia sebenarnya sangat menjunjung perdamaian dan keterbukaan. Hal itu dibuktikan dengan kemauan berbagai suku dan budaya di Indonesia yang bersedia bergabung dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bangsa ini, ditambahkannya, sebagai negara maritim tentu lebih egalitarian dan demokratis daripada negara-negara lain. Ini karena sejak dahulu, pesisir pantai di seluruh wilayah kepulauan di negeri ini sudah terbuka terhadap datangnya "tamu-tamu" dari bangsa lain. Dengan dasar itu, dia meyakini seluruh penduduk di negeri ini pada prinsipnya sangat siap untuk berdialog dengan perbedaan.

"Pemerintah akan terus melakukan pendekatan kepada setiap elemen di negeri ini, dengan menggunakan berbagai pendekatan, seperti pendekatan hukum, politik, dan teologi, sebab prinsip semua agama maupun aliran kepercayaan sebenarnya sama, yaitu menjunjung perdamaian," ungkapnya.

Sebelumnya, riset terbaru yang dirilis HRW di Jakarta, Kamis (28/2), mengungkap kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengatasi gerombolan-gerombolan militan, yang melakukan intimidasi dan serangan terhadap rumah-rumah ibadah serta anggota minoritas agama. Temuan HRW menyebut gerombolan militan ini makin lama makin agresif. Sasaran mereka termasuk Ahmadiyah, Kristen, maupun muslim Syiah. Satu lembaga pemantau kekerasan mencatat 264 kasus kekerasan terjadi tahun lalu.

HRW melakukan riset di 10 provinsi di Jawa, Madura, Sumatera, dan Timor, serta mewawancarai lebih dari 115 orang dari berbagai kepercayaan. Direktur HRW di Asia, Brad Adams, mengatakan, Presiden Yudhoyono harus tegas dan minta zero tolerance terhadap siapa pun yang main hakim sendiri atas nama agama. “Kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengambil sikap dan melindungi kaum minoritas dari intimidasi dan kekerasan tentu saja merupakan olok-olok terhadap klaim bahwa Indonesia adalah negara demokratis yang melindungi hak asasi manusia,” ungkapnya di Jakarta, Kamis.

Penguatan Identitas
Sosiolog dari Unika Soegijapranoto, Hermawan Pantjasiwi, melihat adanya peningkatan konflik bernuansa agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok intoleran salah satunya disebabkan adanya tuntutan penguatan identitas kelompok pada zaman yang semakin keras. Sementara itu pembiaran yang dilakukan oleh negara terjadi karena kondisi pemerintahan yang rapuh.

“Kondisi negara yang berasal dari partai-partai beraneka warna membuat siapa pun yang berada dalam jaringan kekuasaan menjadi diam saja karena takut. Pemerintah menjadi tidak sehat dan tidak mempunyai wibawa, karena lebih mengutamakan teror dari kelompok-kelompok tertentu yang bisa merongrong partainya,” ungkapnya. Sementara itu dalam waktu yang cepat, kelompok-kelompok berbasis agama tumbuh dengan pesat dan juga ingin menunjukkan keberadaannya.

Pakar hukum dan politik Universitas Padjajaran Bandung, Indra Perwira, mengatakan tindak kekerasan jelas pelanggaran hukum. Jadi jika pemerintah sengaja melakukan pembiaran, lanjut Indra, itu sama artinya pemerintah tidak mampu menegakkan hukum. Kondisi ini merupakan ironi di negara yang menjunjung tinggi hukum seperti di Indonesia.

"Semestinya pemerintah tegas. Tidak boleh melakukan pembiaran terhadap kekerasan yang dialami kelompok minoritas," katanya. Tidak adanya sanksi hukum justru menyuburkan aksi kekerasan.

Namun terkait aksi kekerasan terhadap kaum minoritas, Indra melihat sumber persoalannya semata-mata adalah faktor ekonomi. Kesenjangan ekonomi yang terjadi mudah menyulut aksi kekerasan dengan dalih apa pun. Terutama aksi kekerasan yang ditujukan ke kaum minoritas yang secara ekonomi dianggap lebih mapan.

Teddy Molindo, seorang pengusaha dari Malang, menyayangkan sikap lembek pemerintah dalam menghadapi  aksi-aksi kekerasan di masyarakat. “Harusnya pemerintah bisa bertindak tegas terhadap ormas keagamaan yang sudah tidak sejalan dengan hukum yang berlaku di negara ini. Janganlah membiarkan terjadinya pelecehan hukum dengan dalih agama atau kelompok tertentu, karena negara ini berdiri atas plural keanekaragaman,” ujarnya.

Harapan senada disampaikan oleh Uddy Saifudin, seorang pengusaha perhotelan di Kota Batu. “Radikalisme harus dijawab dengan ketegasan. Negara tak boleh kalah dengan pemaksaan kehendak golongan tertentu atas golongan lainnya. Kegagalan atau ketidakmampuan pemerintah mengatasi hal itu akan menumbuhkan ketidakpercayan yang akhirnya akan berujung pada pembenaran dengan tafsir yang berwarna-warni,” ungkapnya. Menurut riset yang dilakukan Setara Institute, Jawa Timur adalah salah satu provinsi di mana tingkat intoleransinya cukup tinggi, selain Jawa Barat.  (Didit Ernanto/Eka Susanti/Retno Manuhoro)
Sumber : Sinar Harapan
http://www.shnews.co/detile-15701-pemerintah-akui-gagal-upayakan-dialog--.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar, masukan yang sifatnya membangun blog ini.

Cari Blog Ini