Mengenai Saya

Foto saya
Shio : Macan. Tenaga Specialist Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar. Trainer Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar Negara Asing. Pengajar part time masalah Surveillance Detection, observation techniques, Area and building Analysis, Traveling Analysis, Hostile surveillance Detection analysis di beberapa Kedutaan besar negara Asing, Hotel, Perusahaan Security. Bersedia bekerja sama dalam pelatihan surveillance Detection Team.. Business Intelligence and Security Intelligence Indonesia Private Investigator and Indonesia Private Detective service.. Membuat beberapa buku pegangan tentang Surveilance Detection dan Buku Kamus Mini Sureveillance Detection Inggris-Indonesia. Indonesia - Inggris. Member of Indonesian Citizen Reporter Association.

Kamis, 21 November 2013

Luthfi Hasan Ishaaq

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Luthfi Hasan Ishaaq
Presiden Partai Keadilan Sejahtera ke-4
Masa jabatan
2010 – 1 Februari 2013
Didahului oleh Tifatul Sembiring
Digantikan oleh Anis Matta
Pjs. Presiden Partai Keadilan Sejahtera
Masa jabatan
2009–2010
Didahului oleh Tifatul Sembiring
Digantikan oleh Luthfi Hasan Ishaaq
Luthfi Hasan Ishaaq, MA (lahir di Malang, Jawa Timur, 5 Agustus 1961; umur 52 tahun) adalah Presiden Partai Keadilan Sejahtera periode 2009 - 2014. Saat ini dia juga menjabat sebagai anggota DPR dari Fraksi PKS periode 2009 - 2014.

Pendidikan

Luthfi Hasan adalah lulusan D3 Bahasa Arab, KMI Gontor, kemudian menurut Yusup Supendi, melanjutkan ke Universitas Imam Muhammad bin Saud Arab Saudi pada tahun 1984 namun gagal setelah dua tahun masa studi dan kembali ke Indonesia dengan status Drop Out..
Ia dikabarkan menjadi mujahid pada tahun 1990 dengan mengikuti pengiriman ke Afganistan dengan alasan akan melanjutkan studi di Punjab University, Lahore, Pakistan. Di sana, ia diisukan menduduki jabatan strategis, yaitu sekretaris Abu Sayyaf, salah satu faksi mujahid di Afganistan, namun hal ini dibantah oleh Anis Matta dan Tifatul Sembiring dengan menyatakan bahwa Luthfi Hasan memang menyelesaikan studi di Pakistan.

Kehidupan pribadi

Luthfi Hasan diketahui paling tidak memiliki dua istri, yaitu Sutiana Astika dan Lusi. Dalam surat pribadinya Luthfi mengakui Sutiana Atika dinikahi pada 11 Januari 1984. Namun semenjak kasus suap sapi diungkap oleh KPK, timbul berita bahwa ia juga menikah diam-diam dengan Darin Mumtazah. Hal ini dibantah berkali-kali oleh orangtua Darin Mumtazah.
Sutiana Astika diberitakan sempat meminta cerai dari Luthfi Hasan Ishaaq karena menjalin hubungan dengan perempuan bernama Lusi Tiarani Agustine pada sekitar 2000. Seiring berjalannya waktu, akhirnya Luthfi menikahi Lusi. Di kemudian hari, terungkap Luthfi diduga telah menikah lagi dengan siswi SMK bernama Darin Mumtazah secara siri.

Bisnis

Pada masa awal kehidupan berkeluarga bersama Sutiana Astika, isteri pertamanya, ia menjalankan berbagai usaha seperti servis jok sofa, rumah makan, kayu, dan bengkel. Namun menurut Yusuf Supendi yang waktu itu menjadi senior sekaligus pelanggannya, usaha Luthfi Hasan selalu gagal dan bangkrut.
Setelah dekat dengan Ahmad Fathanah, Luthfi Hasan kemudian membangun usaha pulsa, namun berakhir tuntutan penipuan yang menjerat Ahmad Fathanah sebagai Direktur Utama dalam hukuman tiga tahun penjara. Sementara Luthfi Hasan sebagai komisaris bebas dari jerat hukum. . Dalam kasus ini Fathanah dianggap memalsukan tandatangan Luthfi Hasan sebagai komisaris sehingga menimbulkan kerugian Rp 3 Miliar.

Karir Organisasi dan Politik

Luthfi Hasan mulai aktif dalam organisasi dengan mengikuti Ikhwanul Muslimin bersama Yusuf Supendi dan Hilmi Aminuddin. Setelah dikirim ke Pakistan, pada tahun 1998 Luthfi kembali ke Indonesia untuk kemudian mendirikan Partai Keadilan, dan dikirim ke Belanda untuk menjadi supervisor pengembangan Partai Keadilan di Eropa pada tahun 2000an.
Kembali ke Indonesia, ia ikut menyelamatkan partai agar tetap bisa mengikuti Pemilu 2004 dengan mendirikan ulang dengan nama Partai Keadilan Sejahtera. Di bawah kepemimpinan Hidayat Nur Wahid, ia menjadi bendahara umum, lalu dipercaya sebagai Ketua Badan Hubungan Luar Negeri di bawah kepemimpinan Tifatul Sembiring, dan kemudian menjadi pejabat sementara Presiden PKS setelah Tifatul Sembiring diangkat sebagai menteri komunikasi dan informatika pada tahun 2009. Ia dikukuhkan sebagai Presiden PKS periode 2010-2015. 
Ia terpilih dua kali berturut-turut sebagai anggota DPR Komisi 11 pada periode 2004-2009, dan Komisi 1 pada periode 2009-2015. Selain itu ia juga menjadi anggota Badan Kerjasama Antar Parlemen untuk Afrika, Eropa dan Organisasi Negara-Negara Konferensi Islam (OKI), serta sebagai wakil ketua di BKSAP (Badan Kerjasama Antar Parlemen 2004-2009).

Terpilih sebagai Presiden PKS

Luthfi Hasaan Ishaaq terpilih menjadi Presiden PKS keempat untuk periode 2010-2015 dalam Sidang Majelis Syuro PKS II, 16 - 20 Juni 2010 di Jakarta. Sebelumnya, sempat menjabat Pjs Presiden PKS (Oktober 2009-Juni 2010).

Pengunduran diri

Setelah pengumuman sebagai tersangka bersama Ahmad Fathanah dalam kasus suap daging impor oleh KPK, Luthfi Hasan Ishaaq mengundurkan diri sebagai Presiden PKS pada tanggal 31 Januari 2013 di depan pintu gerbang KPK. Selanjutnya ia digantikan oleh Anis Matta.
Sumber :http://id.wikipedia.org/wiki/Luthfi_Hasan_Ishaaq

Ini alasan KPK gandeng Kopassus untuk perangi korupsi

Reporter : Putri Artika R, Ramadhian Fadillah | Jumat, 8 November 2013 09:03
80


Ini alasan KPK gandeng Kopassus untuk perangi korupsi
Gladi resik HUT TNI ke-68. ©2013 Merdeka.com/imam buhori


Merdeka.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggandeng Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD untuk memerangi korupsi. Sejumlah pegawai baru KPK dikirim ke Pusat Pendidikan Kopassus (Pusdikpassus) Kopassus Batujajar Bandung untuk dilatih.

Kenapa KPK menggandeng Kopassus?

"Itu namanya induksi pegawai. Setiap ada Indonesia memanggil dilakukan induksi, kayak training atau pendidikan dasar. Nah ini dilakukan di Batujajar, tahun sebelumnya di Cilandak, sebelumnya lagi di Sukabumi 3 bulan. Kalau sekarang 1,5 bulan tapi di Batujajar," kata juru bicara KPK, Johan Budi SP saat berbincang dengan merdeka.com, Kamis (8/11).

Johan membantah kalau KPK 'dimiliterisasi'. Menurutnya sebagian materi tetap diberikan oleh Pimpinan KPK, jaksa, bahkan polisi. Hanya bagian-bagian tertentu saja melibatkan instruktur dari Kopassus.

"Instruktur nembak, bela diri dan pelatihan samapta-nya saja," jelas Johan.

Kenapa pilih Kopassus? Bukan satuan yang lain, atau Polri?

"Ya tidak apa-apa, dulu juga kejaksaan pernah (dilatih Kopassus) tidak apa-apa," kata dia.

Sebelumnya, Ketua KPK Abraham Samad bertindak selaku Inspektur Upacara pada Pembukaan pendidikan dan latihan Induksi Pegawai baru KPK angkatan Indonesia memanggil VII/2013.

Pendidikan ini diikuti 163 peserta berlangsung dari Rabu 6 November sampai 21 Desember mendatang. Selama pendidikan peserta akan mengikuti serangkaian kegiatan antara lain psikologi lapangan, kepemimpinan, lapangan, team work opstacle (halang rintang), dan problem solving. Mereka juga diajari beberapa materi kemiliteran seperti tarzan cross, PBB, PUDD dan survival.

"Tujuan diadakannya pendidikan dan latihan ini adalah untuk membentuk karakter pegawai baru atau insan KPK yang handal dan tangguh serta sesuai dengan dasar dan norma KPK," kata Abraham Samad .

"Semoga misi KPK untuk mengikis korupsi yang dilakukan para koruptor yang semakin pintar bisa dilaksanakan," lanjut Abraham.

Tampak hadir pada acara tersebut sejumlah pejabat teras Kopassus di antaranya Pamen ahli Golongan 4 Kopassus, Danpusdikpassus dan para Asisten Danjen Kopassus. Sedangkan dari pihak KPK tampak wakil ketua Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas .
[ian]
sumber :http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-alasan-kpk-gandeng-kopassus-untuk-perangi-korupsi.html

Mabes TNI AD turun tangan soal prajurit Kopassus pesta sabu


Reporter : Eko Prasetya | Rabu, 20 November 2013 10:36
5
2


Mabes TNI AD turun tangan soal prajurit Kopassus pesta sabu
illustrasi.
Figure terkait

Merdeka.com - TNI Angkatan Darat (AD) masih mendalami kasus beberapa anggota pasukan elit Kopassus yang pesta sabu dan merampas pistol polisi yang saat itu menggerebek di Hotel Caglak, Condet, Jakarta Timur. Mabes TNI AD ikut turun tangan menyelidiki kasus tersebut.

"Hukuman belum tahu saya masih cari informasinya," ujar Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen Rukman Ahmad kepada merdeka.com, Rabu (20/11).

Rukman mengaku masih minim informasi perihal kasus tersebut. Jadi dia belum tahu perkembangan kasusnya seperti apa. "Belum tahu masih saya cari," katanya.

Sebelumnya, anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Angkatan Darat digerebek saat menggelar pesta sabu di Hotel Caglak, Condet, Jakarta Timur. Namun para pasukan elit itu justru menodongkan senjata api ke arah polisi.

"Ketika pintu kamar diketuk dan dibuka oleh tersangka, lalu anggota masuk. Ternyata tersangka langsung menodongkan senpi kepada anggota Satuan Narkoba sambil berteriak-teriak memanggil teman-temannya," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto , Selasa (19/11).

Setelah itu, lanjut Rikwanto , kurang lebih belasan orang langsung menyerang, menganiaya dan merampas senjata api, kemudian melarikan diri. Namun mobil mereka ditinggal sehingga diketahui jika pria-pria itu adalah anggota Kopassus.

"Untuk anggota Satuan Narkoba yang diserang mengalami luka di kepala dan muka. Hanya rawat jalan," katanya.
[ian]
Sumber : http://www.merdeka.com/peristiwa/mabes-tni-ad-turun-tangan-soal-prajurit-kopassus-pesta-sabu.html

Penggerebekan Kopassus nyabu di Hotel Caglak bak film action


Reporter : Laurel Benny Saron Silalahi | Rabu, 20 November 2013 14:27
6
1


Penggerebekan Kopassus nyabu di Hotel Caglak bak film action
Hotel Puri Caglag. ©2013 Merdeka.com/Benny
Merdeka.com - Polisi menggerebek Hotel Puri Caglak di kawasan Condet, Pasar Rebo, Jakarta Timur, pada Selasa (19/11) dini hari kemarin. Di kamar hotel 15A, anggota Satuan Narkoba Polres Jakarta Timur, justru dikagetkan oleh beberapa orang yang mengaku dari kopassus asyik nyabu di kamar hotel itu.

Menurut penuturan saksi mata kejadian, RY (20) mengatakan, sebelum penggerebekan berlangsung dia sempat melihat beberapa polisi berpakaian preman sedang melakukan koordinasi di luar hotel.

"Awal saya nggak tahu itu polisi, karena kan pakaian bebas. mereka ngobrol di luar hotel, setelah itu beberapa orang masuk ke dalam," kata pemuda, yang biasa berdagang didekat lokasi, Rabu (20/11).

RY mengatakan, tidak beberapa lama kemudian terdengar suara ribut-ribut dari dalam hotel, disusul dengan beberapa orang lari dari dalam hotel.

"Saya nggak tahu persis kalau yang di dalam hotel, hanya dengar teriak-teriakan aja," jelasnya.

Penasaran dengan keributan tersebut, RY lalu mencoba melihat situasi yang terjadi. Saat itu pula dirinya melihat salah seorang pria berbadan tegak mengarahkan pistolnya kepada pria-pria lain yang mencoba melarikan diri setelah keluar dari lingkungan hotel.

"Yang megang pistol, teriak berhenti jangan bergerak, yang dikejar pada lari mencar-mencar gitu. kayak di film-film action gitu lah," ucap RY menirukan suara pria itu.

RY mengatakan, meski sudah diperingati oleh pria tersebut, beberapa orang yang diketahui anggota Kopassus tersebut tidak menghiraukannya dan justru berlari saling berpencar.

"Untungnya tidak ada suara tembakan, setelah itu pria yang megang pistol masuk kedalam hotel lagi, mungkin menolong temannya," ungkapnya.

Sebelumnya, anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Angkatan Darat digerebek saat menggelar pesta sabu di Hotel Caglak, Condet, Jakarta Timur. Namun para pasukan elit itu justru menodongkan senjata api ke arah polisi.

"Ketika pintu kamar diketuk dan dibuka oleh tersangka, lalu anggota masuk. Ternyata tersangka langsung menodongkan senpi kepada anggota Satuan Narkoba sambil berteriak-teriak memanggil teman-temannya," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto , Selasa (19/11).

Sementara itu Mabes TNI AD berjanji akan mengecek kasus ini. Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen Rukman Ahmad mengaku masih mendalami kasus narkoba ini. Sementara bagian penerangan Kopassus Mayor Achmad Munir tak mengangkat teleponnya saat dikonfirmasi.
[ian]
sumber: http://www.merdeka.com/peristiwa/penggerebekan-kopassus-nyabu-di-hotel-caglak-bak-film-action.html

Rabu, 20 November 2013

Tugas dan fungsi Komisi di DPR-RI

 
 
 
 
 
 
125 Votes

Susunan dan keanggotaan komisi ditetapkan oleh DPR dalam Rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang. Setiap Anggota, kecuali Pimpinan MPR dan DPR, harus menjadi anggota salah satu komisi.
Jumlah Komisi, Pasangan Kerja Komisi dan Ruang Lingkup Tugas Komisi diatur lebih lanjut dengan Keputusan DPR yang didasarkan pada institusi pemerintah, baik lembaga kementerian negara maupun lembaga non-kementerian, dan sekretariat lembaga negara, dengan mempertimbangkan keefektifan tugas DPR.
Tugas Komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan Rancangan Undang-Undang yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya.
Tugas Komisi di bidang anggaran lain:
  • mengadakan Pembicaraan Pendahuluan mengenai penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah; dan
  • mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan pemerintah.
Tugas komisi di bidang pengawasan antara lain:
  • melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya;
  • membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan yang terkait dengan ruang lingkup tugasnya;
  • melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; serta
  • membahas dan menindklanjuti usulan DPD.
Komisi dalam melaksanakan tugasnya dapat: mengadakan Rapat kerja dengan Presiden, yang dapat diwakili oleh Menteri; mengadakan Rapat Dengar Pendapat dengan pejabat pemerintah yang mewakili intansinya, mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum, mengadakan kunjungan kerja dalam Masa Reses.
Daftar Komisi dan bidang serta partner kerja.
Komisi I

Ruang Lingkup

  • Pertahanan
  • Luar Negeri
  • Informasi

Pasangan Kerja

  • Kementerian Pertahanan
  • Kementerian Luar Negeri
  • Panglima TNI (Mabes TNI AD, AL dan AU)
  • Kementerian Komunikasi dan Informatika
  • Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas)
  • Badan Intelijen Negara (BIN)
  • Lembaga Sandi Negara (LEMSANEG)
  • Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA
  • Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas)
  • Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
  • Televisi Republik Indonesia (TVRI)
  • Radio Republik Indonesia (RRI)
  • Dewan Pers
  • Perum Antara
Komisi II

Ruang Lingkup Tugas

  • Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah
  • Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
  • Kepemiluan
  • Pertanahan dan Reforma Agraria

Pasangan Kerja

  • Kementerian Dalam Negeri
  • Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
  • Menteri Sekretaris Negara
  • Sekretaris Kabinet
  • Lembaga Administrasi Negara (LAN)
  • Badan Kepegawaian Negara (BKN)
  • Badan Pertanahan Nasional (BPN)
  • Arsip Nasional RI (ANRI)
  • Komisi Pemilihan Umum (KPU)
  • Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU)
  • Ombudsman Republik Indonesia
  • Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4)
Komisi III

Ruang Lingkup

  • Hukum
  • HAM
  • Keamanan

Pasangan Kerja

  • Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia
  • Kejaksaan Agung
  • Kepolisian Negara Republik Indonesia
  • Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
  • Komisi Hukum Nasional
  • Komisi Nasional HAM (KOMNAS HAM)
  • Setjen Mahkamah Agung
  • Setjen Mahkamah Konstitusi
  • Setjen MPR
  • Setjen DPD
  • Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
  • Komisi Yudisial
  • Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
  • Badan Narkotika Nasional (BNN)
Komisi IV

Ruang Lingkup

  • Pertanian
  • Perkebunan
  • Kehutanan
  • Kelautan
  • Perikanan
  • Pangan

Pasangan Kerja

  • Departemen Pertanian
  • Departemen Kehutanan
  • Departemen Kelautan dan Perikanan
  • Badan Urusan Logistik
  • Dewan Maritim Nasional
Komisi V

Ruang Lingkup

  • Perhubungan
  • Pekerjaan Umum
  • Perumahan Rakyat
  • Pembangunan Pedesaan dan Kawasan Tertinggal
  • Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika

Mitra Kerja

  • Departemen Pekerjaan Umum
  • Departemen Perhubungan
  • Menteri Negara Perumahan Rakyat
  • Menteri Negara Pembangunan Daerah Teringgal
  • Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
  • Badan SAR Nasional
  • Badan Penanggulangan Lumpur Sidoardjo (BPLS)
Komisi VI

Ruang Lingkup

  • Perdagangan
  • Perindustrian
  • Investasi
  • Koperasi, UKM dan BUMN
  • Standarisasi Nasional

Pasangan Kerja

  • Departemen Perindustrian
  • Departemen Perdagangan
  • Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
  • Menteri Negara BUMN
  • Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
  • Badan Standarisasi Nasional (BSN)
  • Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
  • Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi VII

Ruang Lingkup

  • Energi Sumber Daya Mineral
  • Riset dan Teknologi
  • Lingkungan Hidup

Pasangan Kerja

  • Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
  • Menteri Negara Lingkungan Hidup
  • Menteri Negara Riset dan Teknologi
  • Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
  • Dewan Riset Nasional
  • Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
  • Badan Tenaga Nuklir (BATAN)
  • Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETAN)
  • Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL)
  • Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
  • Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas
  • Badan Pelaksana Pengendalian Usaha Hulu Migas
  • PP IPTEK
  • Lembaga EIKJMEN
Komisi VIII

Ruang Lingkup

  • Agama
  • Sosial
  • Pemberdayaan Perempuan

Pasangan Kerja

  • Kementerian  Agama
  • Kementerian  Sosia RIl
  • Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
  • Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
  • Badan Nasional Penanggulangan Bencana
  • Badan Amil Zakat Nasional
Komisi IX

Ruang Lingkup

  • Tenaga Kerja dan Transmigrasi
  • Kependudukan
  • Kesehatan

Pasangan Kerja

  • Departemen Kesehatan
  • Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
  • badan Kkoordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
  • Badan Pengawas Obat dan Makanan
  • BNP2TKI
  • PT Askes ( Persero)
  • PT. Jamsostek( Persero)
Komisi X

Ruang Lingkup

  • Pendidikan
  • Pemuda
  • Olahraga
  • Pariwisata
  • Kesenian
  • Kebudayaan

Pasangan Kerja

  • Departemen Pendidikan Nasional
  • Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
  • Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga
  • Perpustakaan Nasional
Komisi XI

Ruang Lingkup

  • Keuangan
  • Perencanaan Pembangunan Nasional
  • Perbankan
  • Lembaga Keuangan Bukan Bank

Pasangan Kerja

  • Departemen Keuangan
  • Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan/Kepala BAPPENAS
  • Bank Indonesia
  • Perbankan danLembaga Keuangan Bukan Bank
  • Badan Peengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
  • Badan Pusat Statistik
  • Setjen BPK RI
  • Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
  • Lembaga Kebijakan dan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah
sumber http://www.dpr.go.id

Selasa, 19 November 2013

Tribrata



KAMI  POLISI  INDONESIA

  1. BERBAKTI  KEPADA  NUSA  DAN  BANGSA # DENGAN  PENUH  KETAQWAAN  TERHADAP  TUHAN  YANG MAHA  ESA #
  2. MENJUNJUNG  TINGGI  KEBENARAN,  KEADILAN,  DAN  KEMANUSIAAN # DALAM  MENEGAKKAN HUKUM  NEGARA  KESATUAN  REPUBLIK  INDONESIA # YANG  BERDASARKAN  PANCASILA  DAN UNDANG - UNDANG 1945 #
  3. SENANTIASA  MELINDUNGI  MENGAYOMI  DAN  MELAYANI,  MASYARAKAT # DENGAN  KEIKHLASAN  UNTUK  MEWUJUDKAN  KEAMANAN  DAN  KETERTIBAN #
Makna Tribrata
Tribrata dalam pengertian lama merupakan dua kata yang ditulis tidak terpisahkan. Tri artinya tiga dan brata / wrata artinya jalan / kaul. Maka artinya adalah tiga jalan / kaul.
Sedangkan tribrata dalam pengertian baru telah menjadi satu sukukata TRIBRATA yang artinya TIGA AZAS KEWAJIBAN.
Maka dalam pengucapannyapun tidak boleh lagi ada pemenggalan kata antara TRI dan BRATA ( TRI — BRATA ) melainkan menjadi satu ucapan kata yaitu TRIBRATA.
Tribrata adalah nilai dasar yang merupakan pedoman moral dan penuntun nurani bagi setiap anggota Polri serta dapat pula berlaku bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya.
1. Kami Polisi Indonesia, mengandung makna sebagai berikut :
a. Bahwa kita Polisi Indonesia adalah berketuhanan Yang Maha Esa, berbangsa Indonesia, bernegara Indonesia dan bermasyarakat Indonesia.
b. Kita harus bangga bahwa kita menjadi Polisi Indonesia, Polisi Indonesia yang bangga dengan bangsanya, negaranya dan masyarakatnya.
Bangga menjadi Polisi yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bangga menjadi Polisi yang selalu setia kepada Pimpinan Polri dan Negara. Juga harus bangga menjadi Polisi yang senantiasa berani bertanggung jawab atas apa yang rnenjadi tugasnya.
c. Merupakan pernyataan ikatan jiwa korsa yang kuat antar sesama anggota Polri, untuk selalu memupuk kebersamaan merasa senasib sepenanggungan. Dengan tidak saling menjungkirbalikkan antar sesama anggota hanya karena kepentingan pribadinya.
d. Merupakan pernyataan netralitas kita anggota Polri artinya tidak berpihaknya kita anggota Polri terhadap urusan politik atau kebijakan pemerintah ataupun dalam berbagai perkara yang kita tangani baik secara institusi maupun pribadi, sepanjang kita masih menjadi anggota Polri.
2. BRATA PERTAMA: Kami Polisi Indonesia berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mengandung makna sebagai berikut:
a. Kita adalah Polisi sekaligus juga sebagai hamba Tuhan. Maka ketika kita melaksanakan tugas dan fungsi kita sebagai anggota Polisi disaat itu juga kita harus ingat dan sadar bahwa Tuhan selalu bersama kita dan sedang mengawasi apa saja yang kita kerjakan. Maka jadikanlah tugas kita itu sebagai bagian amal ibadah kita kepada Tuhan.
b. Kita harus memiliki nilai nasionalisme dan kebangsaan, dalam arti bahwa dalam tugas kita haruslah mendahulukan kepentingan bangsa dan negara dari pada kepentingan pribadi atau golongan.
c. Kita polisi Indonesia adalah Polisi bangsa Indonesia, Polisi negara Indonesia dan bukan sebagai alat politik atau alat pemerintah.
3. BRATA KEDUA : Kami Polisi Indonesia menjunjung tinggi nilai kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, mengandung makna :
a. Bahwa kita anggota Polri adalah aparat negara sebagai penegak hukum, haruslah siap menegakkan hukum baik terhadap diri pribadi maupun orang lain/masyarakat.
b. Haruslah kita ketahui bahwa negara kita adalah negara hokum bukan negara kekuasaan.
c. Bahwa kita anggota Polri harus sanggup dan mampu untuk selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan dengan membela yang benar dengan kebenarannya serta kita harus menghargai dan menghormati hak-hak orang lain,
d. Kita anggota Polri harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas kita kepada masyarakat, bangsa dan negara.
e. Kita anggota Polri harus mengakui bahwa negara kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
4. BRATA KETIGA : Kami Polisi Indonesia senantiasa melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban, mengandung makna :
a. Bahwa kita anggota Polri harus selalu siap melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dengan penuh keikhlasan, tanpa paksaan siapapun serta tanpa adanya kepentingan apapun kecuali karena tugas dan tanggung jawab semata.
b. Bahwa kita anggota Polri secara umum tugasnya adalah sebagai Pelindung dan Pelayan masyarakat.
c. Masyarakat adalah sentral/pusatnya dimanapun kita anggota Polri mengabdikan diri.
d. Antara kita anggota Polri dan masyarakat yang kita layani adalah sejajar dimata hukum dan perundang-undangan negara. Artinya kita tidak boleh semena-mena dan semaunya sendiri, kita tidak boleh menganggap bahwa masyarakat itu bodoh dan lain-lain. Akan tetapi jadikanlah masyarakat itu sebagai mitra dalam ketertiban, kenyamanan, keamanan dan penegakkan hukum.

Sumber : http://www.metro.polri.go.id/tribrata

Senin, 18 November 2013

Daftar tokoh Aceh

Daftar ini adalah daftar tokoh yang berasal dari provinsi Aceh. Untuk daftar tokoh dari suku Aceh lihat Daftar tokoh suku Aceh. Daftar ini belumlah lengkap, pembaca dipersilakan menambahnya dengan nama nama lain yang layak jadi tokoh. Berikut ini adalah daftar tokoh dari Aceh.

Akademisi dan Ahli

Aktivis dan Pejuang

Artis dan Selebritis

Atlet

Menteri dan Pejabat Tinggi Negara

Militer dan Kepolisian

Pahlawan Nasional

Pengusaha dan Profesional

Politisi

Sastrawan, Penulis, dan Budayawan

Minggu, 10 November 2013

FPI : Surat Terbuka Untuk Ketua FPI (Dari Umat Muslim Bali)

10 September 2013 | 19:47 Dibaca: 204490   Komentar: 251   66


Ketua FPI yang kami hormati…
Belakangan ini ramai pemberitaan di Media Massa terkait aksi penolakan terhadap penyelenggaraan Miss World di Bali. Dari sekian banyak yang melakukan aksi penolakan, terlihat FPI sebagai garda terdepan untuk menggagalkan event ini. Berbagai alasan dikemukakan tanpa mengenal nego. Alasan tersebut diungkapkan dengan nada emosi berlebihan sekaligus mengancam, siap “perang”. Pernyataan tersebut sekali lagi memunculkan kesan bahwa agama (Islam) berwajah sangar, beringas, keras, tak kenal dialog, dan tak menghormati siapapun. Akibatnya, agama sekaligus penganutnya menjadi korban, sebagaimana keberadaan kami, Umat Muslim di Bali.
Pernyataan Anda sebagai pimpinan Ormas yang mengatasnamakan Islam, telah melukai keberadaan Umat Hindu di Bali. Kata-kata Kafir selalu Anda ungkapkan untuk menyerang bagi mereka yang tak sejalan dengan Anda. Bahkan anda secara terang-terangan mengatakan jika Gubernur kami, Bapak Made Mangku Pastika sebagai Gubernur Kafir.
Rakyat Bali, baik Hindu maupun Islam seperti kami ini, sama sekali tidak pernah sedikitpun mempermasalahkan Event ini. Walaupun juga tidak sedikit yang tidak sepakat dengan acara ini, tapi bukan berarti ingin menggagalkan. Selain sebagai wujud toleransi keberagaman, juga diakui atau tidak, acara ini jelas akan berdampak pada pertumbuhan Pariwisata Bali (termasuk Indonesia), dimana rakyat Bali sebagaian besar menggantungkan hidupnya pada sektor ini.
Jika kemudian event ini terganggu dengan aksi-aksi anarkis, apalagi sampai digagalkan dengan paksa, maka sebenarnya yang dirugikan secara langsung adalah rakyat Bali yang menggantungkan hidupnya di Pariwisata. Dengan liputan yang luas dari hampir semua Negara di dunia ini, kejadian yang semua kita tak harapkan tersebut, nantinya akan memperburuk citra Pariwisata Bali yang belum saja pulih pasca ledakan Bom Bali beberapa tahun lalu.
Dari pernyataan-pernyataan Anda yang ingin menang sendiri tersebut, secara otomotis telah memancing rakyat Bali untuk melakukan hal yang sama dengan ungkapan anda. Mencemooh dan caci maki terhadap diri Anda dan Ormas yang Anda pimpin. Lebih parahnya, rakyat Bali yang mayoritas beragama Hindu, bagi mereka yang belum paham, terpancing juga untuk mencaci maki agama Islam.
Perlu diketahui, hubungan Hindu dan Islam di Bali selama ini berjalan Harmonis. Kami saling menghargai, menghormati, dan kami bersama-sama menjaga keberagaman ini sudah sejak Nenek Moyang kami. Permasalahan ini jangan sampai meretakkan hubungan toleransi yang sudah kami jaga.
Kita bisa saksikan berbagai tulisan di berbagai media jejaring social yang mendiskriditkan Islam. Kami disini hanyalah minoritas yang akan dijadikan luapan emosi akibat pernyataan Anda. Kami tidak menyalahkan mereka yang sudah terlanjur menghina Islam. Pernyataan anda yang berlebihan, tentunya akan ditanggapi juga dengan berlebihan. Dan semua kena getahnya.
Sebagai orang awam, terus terang kami tidak mengerti apa sebenarnya yang Anda perjuangkan melalui FPI ini. Kalau Anda ingin membela Islam, justru Anda telah memperburuk citra Islam. Jika Anda mengaku Islam dan mengikuti Nabi Muhammad SAW, kenapa cara berbicara dan metode dakwah Anda sama sekali jauh dari prilaku Rasul. Jika Islam hadir sebagai Rahmatal Lil Alamin, justru Anda dan FPI hadir untuk memperkeruh suasana, memperbelah umat.
Untuk diketahui, kondisi Bali sekarang sedang siaga ekstra ketat untuk mengamankan event yang saat ini sedang berlangsung. Polisi, Pecalang, dan masyarakat Bali ikut terlibat dalam pengamanan ini. Di berbagai media bahkan banyak yang menyatakan pendapatnya untuk perang “puputan” bagi mereka yang ingin menggagalkan acara di Bali Selatan tersebut. Semua waspada, dan tentunya yang mereka curigai adalah penganut Islam.
Senada dengan ungkapan Pimpinan GP Ansor NU, bahwa jangan lekas-lekas menganggap Miss World sebagai kegiatan negative. Banyak juga hal positif dari penyelenggaraan ini, terutama bagi Bali dan rakyat Bali, baik efek langsung, maupun tak langsung.
Melalui surat ini, kami, Umat Muslim Bali sama sekali tidak terganggu, sekaligus tidak pernah mempermasalahkan penyelenggaraan Miss World di Bali. Bahkan kami sangat berharap bahwa event ini dapat berjalan lancar dan sukses.
Kami mohon dengan hormat kepada Anda dan Ormas yang Anda pimpin, untuk tidak membawa-bawa label Islam sebagai tameng dari ketidak setujuan Anda terhadap event ini. Bukan pada event ini saja, pada aktivitas FPI lainnya yang terbiasa main hakim sendiri, untuk tidak lagi mengatasnamakan Islam. Sekali saja anda bertindak, yang lain kena getahnya.
Kemudian untuk menghindari “perang” saudara sesama anak bangsa, urungkan niat Anda dan Ormas yang anda pimpin untuk menggagalkan event ini. Jika Anda tidak setuju tidak masalah, namun  bukan berarti harus menggagalkannya. Pro-kontra ini akan meluas menjadi konflik Agama, dimana rakyat Bali yang mayoritas beragama Hindu setuju dan siap mengamankan, sedangkan kelompok yang selama ini berkoar-koar tidak setuju mengatasnamakan Islam. Secara jelas Hindu Bali yang menyatakan siap perang “puputan” bagi mereka yang ingin menggagalkan event ini, sebenarnya secara tersirat Hindu Bali siap melawan Islam (oknum). Yang dirugikan adalah kami Umat Muslim di Bali, yang menjadi sasaran caci maki dan sebagainya.
Dan semua berharap, semoga anda sadar bahwa di negeri ini bukan hanya anda dan kelompok anda saja yang hidup. Jangan merasa di negeri ini Islam adalah agama mayoritas kemudian semena-mena terhadap minoritas, yang kerjaannya selalu main hakim sendiri tanpa menghormati penegak hukum. Sadarlah, setiap ucapan dan tindakan anda selalu menyisakan “getah” bagi orang lain. Dan ingat, Anda hidup di Bumi Pancasila!.
Salam Damai dari Bali!
 Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/09/10/surat-terbuka-untuk-ketua-fpi-dari-umat-muslim-bali-588555.html

Kamis, 07 November 2013

Pancasila dan Gus Dur

Oleh: Nur Khalik Ridwan*
Gus Dur mengatakan: “Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia dikebiri oleh Angkatan Bersenjata atau dimanipulasi oleh umat Islam”[1]
 Apa yang menarik dari Gus Dur tentang Pancasila adalah dia mewakili sejenis aspirasi dan penafsiran tentang Pancasila yang sangat relevan dengan generasi baru, bahkan hingga saat ini. Dia mengoreksi terhadap penafsiran dan implementasi Pancasila yang dilakukan rezim Soeharto; dia juga mengisi kelemahan dari yang dilakukan rezim Soekarno; dan yang terpenting dia menjembatani arus moderat untuk membawa Islam bergandengan dengan kebangsaan.
Bagi muslim pembela negara Islam dan khilafah, Gus Dur adalah musuh; karena dia adalah pemimpin muslim dengan begitu banyak pengikut yang justru setuju terhadap Pancasila, bukan dasar Islam; bagi kalangan sekular, dan nasionalis konservatif, Gus Dur juga tidak sepenuhnya sejalan, karena Gus Dur menafsirkan Pancasila berbeda dengan mereka.[2] Saya akan memulai dengan pandangan Gus Dur tentang Pancasila, dan setelah itu melihat kiprahnya dalam upaya mewujudkan negara Pancasila itu, baik ketika masih di dalam gerakan rakyat maupun ketika ia menjadi presiden.
                                             
Pandangan
Menurut Gus Dur Pancasila adalah dasar negara dan ideologi[3] bangsa, dan sebuah kompromi luhur. Pancasila adalah satu kesatuan di antara sila-silanya, sehingga mereka yang menggunakannya tidak boleh hanya mengambil segi-segi tertentu dari sila itu dengan membuang yang lain. Posisinya, menurut Gus Dur Pancasila menjadi kerangka berfikir yang harus diikuti dalam menyusun UU, kebijakan kenegaraan, dan lain-lain yang berkaitan dengannya.[4] Penegakan yang demikian itu masih terus menerus harus diupayakan. Gus Dur mengatakan: “Kami berjuang demi sebuah bentuk ideal pemerintahan yang didasarkan pada Pancasila yang masih harus kami upayakan tegaknya.”[5]
Kompromi politik yang menghasilkan Pancasila ini kemudian menurut Gus Dur dikembangkan sebagai ideologi, yang menolak dominasi agama maupun kekuasaan antiagama dalam kehidupan bernegara.”[6] Negara yang demikian adalah negara yang mencakup secara keluruhan dan mengatasi berbagai golongan, sehingga ia bukan alat satu atau dua golongan. Oleh karena itu, Indonesia menurutnya tidak akan pernah menjadi komunis, Islam, dan atau nasionalis secara ketat dan total sekalipun.[7]
Tidak apa, menurut Gus Dur, Indonesia dengan begitu disebut sebagai “bangsa yang lunak” (soft nation).[8] Karena dengan demikian, di dalam Negara Pancasila, seorang sekular tidak akan punya arti apa-apa bila di dalam dirinya  tidak menjadi seorang yang religius; seorang agamis atau Islamis misalnya, juga tidak akan bermakna bagi bangsa bila di dalam dirinya tidak  memiliki jiwa kebangsaan;  demikian juga yang lain-lain. Ini terjadi karena menurut Gus Dur Pancasila bukanlah negara agama dan bukan negara sekular, dan dia mengatakan: “Kita menolak negara teokrasi dan sekularisme dengan mengajukan alternatif ketiga berupa Pancasila.”[9]
Karena Negara Pancasila bukan Negara Islam, bukan negara komunis, dan bukan nasionalis total, maka Pancasila mengimplikasikan: pertama, harus menjadi polisi yang adil antara kelompok, tidak boleh ada konsesi yang berlebihan terhadap kelompok tertentu. Ini mensyaratkan kepemimpinan yang negarawan; politikus yang mengabdi kepada rakyat; dunia akademis yang tidak takut untuk mendiskusikan berbagai hal, mendidik manusia Indonesia merdeka, yang tidak hanya mengabdi kepada keuntungan material semata; dan keharusan adanya masyarakat sipil yang kuat dan beradab.
Kedua, ada dinamisasi internal masing-masing kelompok untuk bisa berinteraksi di tengah jalan raya bersama Pancasila, karena Pancasila tidak bisa dan tidak boleh ditundukkan oleh satu atau dua kelompok. Ini mensyaratkan, di masing-masing kelompok, ada kemauan yang kuat  untuk menerima yang baru yang lebih baik dengan tetap memelihara hal lama yang baik, melakukan dinamisasi, sesuai dengan kebutuhan dan tradisi masing-masing kelompok, untuk mengembangkan wawasan Pancasila. Gus Dur sendiri melakukan ini dengan jalan melakukan dinamisasi Aswaja, gerakan NU, dan kitab kuning agar bisa berinteraksi di tengah kebangsaanm Indonesia.
Untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan Pancasila, menurut Gus Dur tentu memiliki syarat-syarat yang tidak sederhana, dan memerlukan kesanggupan semua warga bangsa untuk terlibat aktif dalam mewujudkannya, yaitu:

  1. Masing-masing kelompok ikut mengembangkan wawasan Pancasila di dalam melihat persoalan-persoalan kebangsaan, yang menuntut kelapangan dada masing-masing untuk saling memberi dan menerima,[10] tanpa harus mematikan kreativitas dan aspirasi masing-masing kelompok. Keharusan ini dituntut karena Pancasila bukan ideologi yang ketat,  sebagaimana kita melihat komunisme, Kapitalisme, dan lain-lain ideologi. Pancasila tidak memiliki tahapan-tahapan baku untuk mewujudkan  masyarakat  Pancasila, sebagaimana tahapan-tahapan demikian ketika orang belajar tentang komunisme, dan lain-lain. Oleh karena itu, proses  pembentukan masyarakat sebagaimana dicita-citakan Pancasila, hanya mungkin bisa dilakukan bila masing-masing kelompok ikut bertangungjawab mengembangkan wawasan Pancasila, dengan tetap memanfaatkan dan menghidupkan tradisi masing-masing.
  2. Memperjuangkan demokrasi dengan jalan non-kekerasan, lewat saluran-saluran demokrasi. Di dalam Pancasila menurut Gus  Dur tidak boleh ada kediktatoran[11] sebagai anititesa dari demokrasi. Kediktatoran berarti pemerintahan yang dikelola dengan cara militeristik bahkan meskipun pemerintahan itu dikendalikan oleh sipil; pengambilan keputusan mengingkari proses kehendak orang banyak, tidak pernah diuji secara terbuka,  dan dicapai melalui proses yang tertutup; dan kuatnya penolakan atas pluralitas pandangan di dalam masyarakat. Di dalam negara Indonesia, menurut Gus Dur tidak sepantasnya dikembangkan demikian itu, agar rakyat sendiri yang memperoleh keuntungan. Gus Dur mengatakan: “Jika struktur kekuasaan benar-benar diwakili oleh rakyat dan manusiawi serta demokratis, maka semua rakyat di Indonesia akan diuntungkan.”[12] Akan tetapi Gus Dur juga mengingatkan: “Bila Pancasila telah memungkinkan semua rakyat Indonesia untuk bergabung dalam suatu negara kesatuan yang nasionalis dan adil. Bukan Pancasila perse yang menjamin demokrasi semata. Pancasila mensyaratkan toleransi sebagai dasar suatu kenegaraan demokratis dan yang menegaskan bahwa pemungutan suara itu diperbolehkan dan menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat dan hak-hak asasi. Jika Pancasila dipakai pemerintah untuk membenarkan sistem yang tidak demokratis, maka rezim itulah yang mengkhianati Pancasila.”[13]
  3. Perlu dikembangkan wawasan kemanusian yang beradab untuk membangun bangsa, yang oleh setiap agama, dan Pancasila sendiri memberikan penekanan yang kuat soal ini. Wawasan ini mengimplikasikan keragaman pendapat dan pandangan sebagai hakekat kemanusiaan haruslah dihargai. Dalam kerangka ini Gus Dur ikut andil dalam memperjuangkan HAM, dan menurutnya di Indonesia tidak boleh ada pelanggaran HAM.[14] Akan tetapi dalam penegakkan HAM, Gus Dur menginginkan sebuah perspektif baru dalam menegakkannya. Perspektif baru ini melampaui pendekatan liberalistis yang lebih menekanakan hak yuridis formal dari perorangan; dan wawasan ekonomi yang lebih menekankan diri pada pencarian sebab-sebab yang lebih mendasar dari terkikisnya hak tersebut. Gus Dur dengan mengutip beberapa pakar mengusulkan pendekatan baru dengan mempertimbangkan: aspek psikologis, tujuan pencapaian yang tidak hanya berhenti di kebutuhan-kebutuhan politik dan ekonomis, dan Gus Dur mengakui masih sulitnya mencari pendekatan yang pas untuk semuanya, tetapi Gus Dur menyebutkan: “Masing-masing hanya akan berarti jika mampu mengaitkan antara pendekatan liberal di bidang hak-hak yuridis dan politis kepada pendekatan struktural untuk menjamin persamaan yang lebih adil bagi semua warga masyarakat.”[15]
  4. Khusus dalam hubungan agama, Gus Dur mengatakan seperti dikutip di atas: “kita menolak teokrasi dan sekularisme, dengan mengajukan alternatif ketiga berupa Pancasila.” Di sini, Gus Dur melihat Negara Pancasila dengan paradigm diferensial, dengan keharusan adanya pembagian peran agama (masyarakat agama) dan negara. Gus Dur mengatakan: “pertama, campur tangan pemerintah dalam kehidupan beragama harus dibatasi jangkauannya, bahkan kalau mungkin dipersempit. Organisasi-organisasi keagamaan yang dibuat oleh kelompok-kelompok yang turut duduk dalam pemerintahan harus didorong untuk menjadi independen dari pemerintah. Politisasi gerakan keagamaan harus dihindari sedapat mungkin. Kedua, pembinaan kehidupan beragama sebaiknya mengambil bentuk dengan peranan pihak pemerintah bersifat tidak langsung, bukannya seperti sekarang. Hanya dalam hal-hal esensial saja pemerintah langsung melakukan kegiatan keagamaan, seperti penyelenggaraan ibadah haji dan peradilan agama. Hal-hal yang bersifat rutin dapat diserahan kepada organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga keagamaan yang telah ada. Ketiga, segenap kegiatan pemerintah di bidang keagamaan haruslah diarahkan ke pemantapan integrasi nasional kita, bukannya memperkuat status kecenderungan segregasi agama yang masih ada sisa-sisanya dalam kehidupan  sebagai bangsa saat ini.”[16]
  5. Rekonsiliasi harus dilakukan, karena dasar kita adalah persatuan, dan negara bukan untuk golongan tertentu. Gus Dur mengatakan: “Karenanya kita harus memiliki kelapangan dada untuk menerima pihak-pihak lain yang tidak sepaham dengan kita. Termasuk di dalamnya mantan Napol dan Tapol PKI. Karena itulah penulis tidak pernah menganggap mantan anggota PKI atau NII/TII sebagai lawan yang harus diwaspadai. Penulis justru beranggapan bahwa mantan anggota PKI itu, sekarang sedang mencari Tuhan dalam kehidupan mereka, karena apa yang saat ini mereka anggap sebagai kezaliman-kezaliman, justru pernah mereka jalani saat berkuasa. Yang kita perlukan adalah rekonsiliasi nasional bagi semua pihak. Pengertian rekonsiliasi yang benar adalah terlebih dulu: perlu ada pemeriksaan tuntas oleh pengadilan, kalau bukti-bukti yang jelas masih bisa dicari. Di sinilah keadilan harus ditegakkan di bumi nusantara.”[17]
  6. Harus ada gerakan masyarakat yang kuat, untuk menjamin berjalannya demokrasi dan diperhatikannya aspek-aspek kerakyatan yang dinaungi oleh hikmah dan kebijaksanaan publik,  dan ini mensyaratkan: pertama, harus ada pemisahan, antara wilayah negara dan masyarakat. Gus Dur menyatakan bahwa hal ini tidak ada dalam Orde Baru yang menganut visi integralistis-militeristik yang dikeramatkan oleh ABRI berupa suatu totalitas negara organis berbasis tentara dengan dwi fungsinya. Kedua, harus ada pemisahan antara masyarakat sipil dengan pemerintah. Pemisahan ini menurut Gus Dur berarti harus ada otonomi masyarakat sipil dan memerlukan kebebasan dasar, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat, dan bergerak. Akhirnya Gus Dur menegaskan bahwa “pemisahan kekuasaan di dalam pemerintah itu penting untuk menciptakan demokrasi yang sejati, harus ada suatu sistem check and balance di dalam pemerintahan. Gus Dur menegaskan bahwa kebijakan-kebijakan Orde Baru itu dipengaruhi oleh militer tentang sekularisme integralistis; yaitu Orde Baru secara politis adalah sekular, tetapi caranya tidak demokratis, sehingga tidak membedakan antara wilayah negara dan masyarakat. Sementara sekularisme demokratis memerlukan pemisahan antara kekuasaan pemerintahan dan pembedaan yang jelas antara negara dan masyarakat sipil.”[18]
  7. Di dalam negara Pancasila, Gus Dur juga menginginkan adanya keadilan sosial dan kemakmuran bisa diciptakan, bahkan di tingkat dunia dimana Indonesia harus berperanan di tengah globalisasi. Gus Dur mengatakan: “Globalisasi ekonomi  saat ini sering diartikan sebagai persaingan bebas, ketundukan mutlak kepada penerimaan atas kebenaran tata niaga internasional yang diwakili WTO. Globalisasi ekonomi juga  dimaksudkan untuk membenarkan dominasi perusahaan-perusahaan besar atas perekonomian negara-nergara berkembang… Tidak dibenarkan  adanya perkembangan pasar tanpa campur tangan pemerintah, minimal untuk mencegah adanya eksploitasi. Di sinilah peranan negara menjadi penting, yaitu menjamin agar tidak ada manusia yang terhimpit oleh transaksi ekonomi. Prinsip non-eksploitasi dalam sebuah transaksi ekonomi, menghendaki adanya penolakan atas dominasi atas sebuah negara/perusahaan atas negara/perusahaan lain. Globalisasi harus diubah dengan pengertian baru yang lebih menekankan keseimbangan antara pemakai dan penghasil. Penyesuaan antara pihak prosdusen dan konsumen, tentu menjadi titik penyesuaian antara kepentingan berbagai negara satu sama lain di bidang ekonomi dan perdangan.”[19] Dalam bagian-bagian lain, Gus Dur menginginkan perlu dikembangkan ekonomi kerakyatan, yang menurutnya adalah ekonomi yang berorientasi kepada rakyat dan bangsa, dengan meminimalisir adanya tekanan non-eksploitasi dalam transaksi ekonomi,[20] agar kemakmuran bisa diwujudkan, dan hal ini menjadi tujuan penting dalam penyelenggaraan negara.
  8. Pelaksanaan politik internasional yang berbasiskan pada kesejajaran bangsa-bangsa untuk ikut menciptakan perdamaian, dengan tetap menghargai kedaulatan dan kemandirian bangsa-bangsa yang ada dengan berbasiskan pada kebajikan universal. Gus Dur menyebutkan bahwa diperlukan sebuah etika global dimana keadilan harus menjadi pertimbangan mendasarnya; dan harus adanya pemerintahan yang baik di masing-masing negara. Gus Dur mengkritik adanya sikap dominasi dengan melupakan dan menihilkan keadilan dan etika global, dari kelompok negara adikuasi kepada negara-negara lain. Hal ini diperlukan karena di dunia saat ini, menurut Gus Dur “merajalela sinisme yang dibawa oleh pertimbangan-pertimbangan politik, dan menjadi satu-satunya alat pertimbangan global. Pertimbangan itu akan melahirkan kepentingan negara-negara adikuasa saja, yang akibatnya melumpuhkan negara-negara bukan adikuasa.”[21]
  9. Harus dikembangkan kebudayaan[22] yang memperkuat nilai-niali keindonesia, yang menurut Gus Dur adalah: “Pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau.” Ada tiga pilar penting yang menjadi ciri nilai-nilai keindoneisaan ini, yaitu: solidaritas sosial yang harus dipupuk dan dikembangkan; nilai yang menampilkan kosmopolitanisme di mana  warga Indonesia harus menjadi bagian dari warga dunia untuk bisa hidup damai dan rukun; dan kesediaan untuk mencoba gagasan-gagasan pengaturan masyarakat berlingkup luas, tetapi berhadapan di sisi lain dengan rendah hati yang timbul dari kekuatan dasar masyarakat tradisi untuk mempertahankan diri  berhadapan dengan tantangan dramatis kehidupan mereka. Pengembangan kebudayaan yang relevan di dalam Negara Pancasila adalah, dengan 3 cara: pertama, mendesentralisasi pengembangan pola kehidupan yang seragam; kedua, dijaminnya hak dasar setiap warga untuk menampilkan kreasi tradisi dan budaya dalam arti seluas-luasnya; ketiga pengembangan kreativitas budaya yang mengacu pada peningkatan rasa kebersamaan sebagai bangsa dan persamaan kedudukan warga masyarakat di muka UU.

Tentu saja, ada gagasan-gagasan lain yang banyak dalam pandangan dan pemikiran Gus Dur. Hanya saja 9 hal itu, menurut penulis telah mewakili aspek-aspek penting dalam kehidupan bernegara yang ingin dicita-citakan Gus Dur dalam mengembangkan negara Pancasila. Dalam pelaksanaan atas gagasan-gagasannya, juga dalam interaksi-interaksi antara gagasan dan implementasi dalam gerakan yang dilakukan Gus Dur, dia pernah berkesempatan mewujudkannya di dalam dua ranah: di kalangan NU ketika ia menjadi ketua umum PBNU (1984-1989, 1989-1994, dan 1994-1999), yang kemudian membawanya untuk berkiprah dalam gerakan proemokrasi melawan ketidakadilan; dan ketika dia menjadi presiden (1999-2001), dengan segala dinamika dan gejolaknya.

Gerakan Rakyat
Pandangan yang kita bicarakan ini, muncul dari seorang Gus Dur yang lahir pada 7 September 1940 (tetapi di catatan sipil ditulis 4 Agustus). Ayahnya adalah KH. Abdul Wahid Hasyim, salah seorang pendiri bangsa ini yang terlibat dalam perumusan Piagam Jakarta, dan kemudian menyetujui hasil-hasil PPKI yang menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Kakeknya dari pihak ayah adalah KH. Hasyim Asya`ri, Rais Akbar, dan pendiri NU, guru dari para ulama di Jawa dan sekitarnya; dan dari pihak ibu adalah KH. Bishri Syansuri, pendiri NU dan menjadi Raim Am PBNU (1971-1980). Pendidikan kecilnya dihabiskan di lingkungan pesantren, karena tinggal di rumah kakeknya dari pihak ibu. Pada tahun 1950-an di juga nyantri di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, kemudian kepada KH. Khudori di Magelang. Di Yogyakarta dia sudah membaca buku-buku besar, seperti Das Kapital, What Is to Be Done, dan lain-lain. Pada tahun 1963 dia belajar ke Mesir, dan kemudian melanjutkan ke Baghdad, dan melakukan kunjungan ke bebarap negara Timur Tengah dan Eropa.[23]
Sekembalinya di Jawa pada 4 Mei 1971, untuk sementara Gus Dur tinggal dan mengajar di Jombang. Sejak tahun 1972 dia berceramah, berkeliling Jawa, mengajar, dan yang terpenting menulis kolom dan artikel di banyak media terkenal; dan kemudian menjadi penasehat tentang pesantren di LP3ES, dan sering menghadiri seminar dalam lingkaran kiri internasional, seperti dengan Randy David, Jomo K. Sundaram, Martin Khor, Surichai, Suthi Prasechat, dan Sayed Husain Ali.[24]  Dia ikut menyaksikan peristiwa Malari 1974 yang mengkritisi rezim Soeharto dari Jombang. Pada tahun 1979 dia mulai berkiprah di NU sebagai sekretaris Syuriyah PBNU, dan hal yang mengesankan pernah ke Maroko, karena ikut membentuk fondasi pemikirannya.[25] Dia sudah pindah ke Jakarta, dan telah menyaksikan para pendukung rezim, menyadari kekeliruan-kekeliruan rezim  sehingga pada 9 Mei 1980 muncul Petisi 50, yang di dalamnya juga  ada para eksponen Orde Baru yang sadar.[26]
Untuk menakut-nakuti para pengkritik rezim dan masyarakat agar tertib di bawah kendalinya, sepanjang tahun 1983-1985 Soeharto menggunakan jalan pintas melakukan Petrus (penembak misterius) terhadap orang yang dicurigai preman, dengan tidak kurang 5000 orang terbunuh tanpa pengadilan. Di tengah situasi ini pada tahun 1984 Gus Dur diangkat sebagai ketua umum PBNU dalam Muktamar di Situbondo, dan setahun sebelumnya sukses menjadi ketua panitia Munas Alim Ulama untuk membicarakan asas Pancasila, dan NU menerimanya. Pada saat menjadi ketua umum PBNU, ketika itu Orde Baru membuat proyek pembangun menyasar dalam kasus Kedungombo, dan Gus Dur terlibat dalam gerakan para aktivis yang memprotes, dengan menulis surat kepada Bank Dunia atas penyelewenagan-penyelewengan dan ketidakadilan di Kedungombo. Langkah ini membuat Soeharto yang baru saja senang karena NU kembali ke Khittah dan menerima asas tunggal Pancasila, jadi sangat marah.
Setelah Muktamar NU tahun 1989, Gus Dur dipilih kembali sebagai ketua umum PBNU, dan menandakan semakin kuatnya dukungan NU terhadap Gus Dur. Pada saat yang sama dukungan terhadap Soeharto semakin kuat, baik dari Golkar, ABRI, maupun kalangan sipil. Gus Dur kemudian mulai berdikusi dengan anak-anak muda di kampus-kampus dan kepada orang-orang dekatnya untuk mencermati 3 hal: politik presiden yang sudah terlanjur kuat; politik ABRI yang dikokohkan dengan Dwi Fungsi; dan politik sectarian yang tengah muncul. Di dalam internal NU, dia mulai mengampanyekan dialog kesenjangan sosial akibat pembanguan yang tidak merata. Setelah itu, dia sudah mulai menyindir pengganti pak Harto dengan cara  mengembalikan kepada Pak Harto sendiri, yang dimuat berbagai media massa. Katanya: “Belum ada calon yang layak menggantikan Pak Harto?” Lalu: “Mungkin saja Pak Harto masih sanggup sekali lagi”. Masak iya Gus, tanya wartawan. Jawabnya: “Lha kalau Pak Harto sendiri mau, kita mau apa.”[27]
Pada pertengah September 1989 Soeharto membuat pernyataan bahwa “siapa saja yang bertindak tidak konstitusional, tidak peduli jenderl, walaupun politisi, akan saya gebuk,”[28] untuk memperingatkan kelompok kritis dan rakyat. Berbagai kalangan Islam memberikan legitimasi dan dukungan kepada Soeharto dalam Petisi 21 pada 30 September 1989: tokoh-tokoh Ormas mendukung kebulatan tekad memilih Soeharto untuk melanjutkan kepemimpinan setelah pemilu 1992, dan beberap tokoh NU juga terlibat di situ. Ketika semu banyak orang mendukung Soeharto, justru Gus Dur berkomentar dan dikutip berbagai media: “Kebulatan tekad bukan urusan NU,”[29] yang berarti benar-benar dianggap menantang Soeharto.
Tidak takut dengan ancamanSoeharto itu, pada 1990 kemudian Gus Dur menemui Moerdiono, sebagai Sekneg, ketika kesenjangan sosial semakin jelas dan lebar. Gus Dur membicarakan pentingnya pengusaha-pengusaha besar untuk membantu dan berbicara dengan para pengusaha kecil, karena kalau dibiarkan akan membahayakan. Gus Dur mengusulkan dialog nasional tentang kesenjangan sosial di tingkat yang lebih luas, yang berarti dengan menemui Sekneg, menurut rezim, dia sudah berani menyerang kekuasaan.
Perjuangan Gus Dur tidak hanya melawan kekuasaan yang dzalim, tetapi juga dalam membela kebebasan pers. Pada tahun 1990 terjadi kasus Monitor, dan Gus Dur membela Arswendo ketika pada edisi 15 Oktober 1990 redaksinya memut judul berita yang menghebohkan: “Ini Dia 50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca”. Dalam urutan satu bertengger presiden Soeharto, dan seterusnya sampai nama Nabi Muhmmad ada di urutan No. 11. Publik muslim menjadi gempar, dan Gus Dur membela dalam  hal kebebasan persnya, karena sudah terjadi penyerangn terhadap kantor Monitor, dicabut SIUPP-nya, atau izin penerbitannya. Oposisiny terhadap Soeharto diteruskan sampi muncul ICMI (7 Desember 1990) yang dibekingi Soeharto, dan dia mengkritik para pejabat termasuk presiden, karena mendukung aspirasi Islam sektarian semacam ICMI. Di sini Soeharto sadar sudah mulai mendapat perlawanan keras dari rakyat, dan berlindung kepada sebagian umat Islam di balik dukungannya atas ICMI.
Melihat perkembangan ini Gus Dur kemudian mendirikan Fordem bersama 45 orang pada tanggal 16-17 Maret 1991, dan dia menjadi ketuanya. Tujuannya untuk mendiskusikan dan memperjuangkan demokrasi di Indonesia. Kiprahnya jadi semakin tidak disenangi penguasa Orde Baru.  Langsung saja panggung politik nasional gempar, dan Fordem dituduh sebagai akal-akalan untuk menggoyang kepemimpinan nasional menjelang Pemilu 1992 dan SU MPR setelah itu. Untuk menandinginya, rezim mengorganisir dukungan kalangan Islam dalam Doa Bersama dan Ikrar kesetiaan mendukung Soeharto, yang disebut kelompok 37 ormas, agar tetap terpilih dan bisa melanjutkan kepemimpinan Orde baru 1993-1998.[30]
Untuk menggusurnya, pada Muktamar NU di Cipasung tahun 1994, Gus Dur harus berhadapan dengan kekuatan rezim yang memanfaatkan orang-orang NU prorezim, yang di antaranya adalah Abu Hasan. Gus Dur memenangkan pertarungan yang melelahkan, meskipun akhirnya NU terbelah dua: KPPNU dan PBNU.[31] KPPNU akhirnya mati sendiri karena dukungan terhadap Gus Dur dan PBNU yang syah tetap kuat dan semakin besar. Sampai muncul gerakan reformasi Gus Dur tetap konsisten menjadi oposan demokratik, dan ketika reformasi pada tahun 1998 bergulir dia mash menjadi ketua umum PBNU dengan peran-peran kritis yang dimainkan, meskipun beberapa kali dia harus masuk rumah sakit. Pada tahun 1999 dia kemudian dipilih sebagai presiden, menggantikan Habibie pasca Pemilu demokratis di masa reformasi.

Dalam Pemerintahan
Gus Dur menjadi presiden selama 21 bulan (20 Oktober 1999-23 Juli 2001), dalam situasi yang sulit, terjadi ancaman kemerdekaan di papua, Aceh, Riau, kerusuhan dan pemboman di mana-mana, dan masih banyaknya unsure Orde Baru di birokrasi dan partai politik. Dalam kurun waktu pendek ini, Gus Dur harus melakukan perombakan kabinet sampai dua kali, karena kesulitan-kesulitan yang harus didera kabinetnya. Meski begitu, ada beberapa hal yang diperbuat yang patut dicatat dalam mengembangkan Pancasila dan UUD 45 sebagaimana yang ia pahami dan cita-citakan:

  1. Meletakkan dasar-dasar agar demokratisasi dan penguatan masyarakiat sipil, dengan cara memberikan akses kepada masyarakat seluas-luasnya untuk memperoleh informasi publik yang dibutuhkan, tidak boleh ada sensor dan tidak boleh dimonopoli pemerintah. Untuk hal ini Gus Dur membubarkan Deppen (Departemen Penerangan), yang di masa lalu menjadi alat untuk mengakumulasi sumber-sumber informasi oleh pemerintah Orde Baru, dengan gaya stalinis; dan adanya kebiasaan memeras uang dari penerbit media.[32] Karyawannya dijanjikan akan disalurkan ke instansi lain. Kebijakan ini disambut antusias oleh pers, tetapi ditanggapi dengan demonstrasi oleh para karyawan Deppen dan Depsos sampai mengadu ke DPR. Meskipun hal seperti itu dalam konstitusi sebagai hak prerogratif presiden, tetapi lawan-lawan politiknya di DPR kemudian menjadikannya sebagai bagian dari amunisi penting untuk mengkritisi, sehingga ketika terjadi dialog dengan DPR, ada sebagain yang emosional, dan dari sini Gus Dur mengibaratkan DPR seperti TK (Taman Kanak-Kanak), yang kemudian menambah geram sebagian anggota DPR.
  2. Melakukan reformasi di tubuh TNI, dengan cara menempatkan tentara dan polri sesuai dengan fungsi asal dari sebuah tentara di dalam negara demokrasi: tentara mengurus dan menjaga pertahanan; Polri menjaga keamanan dalam negeri. Kebijakan yang dilakukan Gus Dur adalah memisahkan Polri dan TNI yang sebelumnya disatukan dalam satu komando; dan memberikan kontrol sipil atas tentara, dengan menempatkan orang sipil di Departemen Pertahanan, yang sejak Orde Baru menjadi wilayah militer.[33] Pada saat yang sama Gus Dur juga tidak ingin melihat masyarakat melecehkan militer sebagai institusi, akibat kebijakan-kebijakan yang salah di masa lalu. Kebijakan mereformasi tentara untuk kembali ke barak, tentu saja berimplikasi luas bagi institussi tentara sendiri, kehidupan masyarakat, dan elit-elit tentara. Sudah sejak lama, tentara memperoleh keuntungan dari peran politiknya dan peran bisnis-bisnis yang dikelola mereka ke dalam berbagai yayasan. Dengan kebijakan itu, mau tidak mau tentara harus menjadi profesional dan kembali ke barak, tetapi hal ini, tentu tidak sederhana dan menimbulkan gejolak.
  3. Kehidupan demokrasi juga mensyaratkan adanya jaminan untuk bisa berkiprah secara fair, bebas, dan tidak boleh ada ketakutan-ketakutan. Hal ini, menjadi nihil pada zaman Orde baru, karena ada institusi yang bernama Bakortanas Kepres No. 29 tahun 1988), Litsus (Kepres No. 16 tahun 1990), dan Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Penegakan Hukum (zaman Habibi). Keduanya (Bakortanas dan Litsus) menjadi simbol penguasa melakukan pengedalian secara militeristik untuk meneror lawan-lawan politik rezim.[34] Institusi ini  akan menyeleksi pihak-pihak yang dianggap mengancam rezim. Litsus akan mengancam siapa saja untuk diteliti riwayatnya apakah termasuk  anggota partai terlarang, membahayakan, dan seterusnya. Gus Dur mencabut Bakortanas dan Litsus dengan Kepres No. 38 tahun 2000. Kebijakan ini disambut secara baik oleh pegiat demokrasi, dan meskipun dari kalangan militer tidak menentangnya, tentu saja, penghapusan itu menjadikan sebagian militer melihat “terlalu banyak yang dilakukan Gus Dur” dalam mengembalikan tentara ke barak, kalau bukan sebuah kemarahan terpendam.
  4. Karena konsen dengan pandangan bahwa negara harus berada di atas semua golongan, dan tidak boleh dimanfaatkan  oleh hanya golongan tertentu, dan negara harus menjamin tegaknya kemanusiaan yang adil dan beradab, Gus Dur melihat Tap MPRS XXV/1966 telah melewati batas-batas kemanusiaan yang adil dan beradab itu. Gus Dur mengusulkan agar Tap ini dicabut, karena baginya, secara organisasi bisa saja PKI dilarang kalau memang melanggar hukum, tetapi sebagai ajaran, Marxisme-leninisme boleh dipelajari agar bangsa Indonesia mengetahui kelemahan komunisme itu sendiri dan kelemahan-kelemahan dari kapitalisme; dan pelarangan sebuah organisasi, tidak haru garis linier berarti semua anggota, simpatisan, dan anak cucunya tidak boleh berpolitik. Gus Dur melihat penerapan atas Tap ini di luar batas-batas kemanusiaan yang adil dan beradab, karena bukan hanya pada PKI-nya sebagai organisasi, tetapi juga pada anak-anak cucu dari PKI dan simpatisannya diperlakukan kurang manusiawi. Usulan Gus Dur soal ini didukung para pegiat demokrasi, tetapi ditolak oleh sebagian umat Islam dan para politisi senayan, sehingga tidak berhasil.[35] Tentu saja Gus Dur sadar, bahwa sangat sulit mencabutnya di tengah peta kekuatan politik MPR pada zamannya, akan tetapi dia menunjukkan sebagai pemimpin haruslah seorang negarawan, meskipun dikutuk dan ditolak oleh sebagian besar masyarat yang menentang, termasuk dari kalangan NU sendiri.
  5. Dalam kehidupan beragama, Gus Dur menerbitkan kepres No. 6 tahun 2000 yang mencabut Inpres No 14 tahun 1967  tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat China. Dalam kepres itu Gus Dur mengakui hak-hak sipil kalangan Konghucu, sehingga mereka kemudian bisa merayakan Imlek dan beribadah di tempat ibadah mereka. Gus Dur melihat, zaman Orde baru terjadi penindasan eksistensi penganut Konghucu: jangankan untuk menjalankan agamanya, untuk merayakan imlek saja tidak bisa, termasuk melestarikan tradisi barongsai, dan memakai nama-nama Thioghoa pun tabu. Sebagai demokrat dan mempercayai Pancasila sebagai penuntut bernegara, Gus Dur tidak mau tinggal diam. Dengan kebijakan itu, Gus Dur menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus berani mengambil sikap untuk menjalankan prinsip-prinsip bernegara yang menjamin kebebasan beragama, meskipun harus bertentangan dengan pemerintahan sebelumnya.
  6. Di bidang otonomi dan gejolak daerah, seperti di Aceh dan Papua, Gus Dur menunjukkan sikap yang tidak konfrontatif-militeristik, mengedepankan cara-cara dialogis dan damai. Orang Papua mengenang Gus Dur dengan kenangan yang manis, karena di dalam pemerintahannyalah, nama Irian Jaya diganti dengan Papua, dan pendekatan yang dilakukan mengedepankan non-militeristik.[36] Di Aceh, Gus Dur berhasil menambah jeda kemanusian selama 3 bulan di tengan tuntutan keras referendum dan keinginan militer garis keras untuk tetap melanjutkan operasi militer; dan disyahkan pula UU otonomi khusus Aceh, yaitu UU No. 18 tahun 2001, terlepas dari sisi kelemahan-kelemahan dalam UU itu. Gus Dur sadar betul bahwa gejolak di dua daerah ini memiliki kekhasan dan sejarah panjang, sehingga harus diberi perhatian serius, karena di kedua daerah itu aspirasi kemerdekaan cukup keras, dan Aceh sudah meminta referendum;  dan pada saat yang sama Gus Dur melihat dan meyakini Indonesia harus dijaga keutuhan, kedaulatan, dan teritorialnya.
  7. Gus Dur juga ingin terlibat menegakkan HAM, meskipun tidak seluruh kasus HAM bisa dipecahkan dan ditangani di dalam pemerintahannya, karena begitu sulit dalam menegakkannya. Ini yang juga membuat kritik dari para pendekar HAM tentang pemerintahan Gus Dur. Akan tetapi yang patut dicatat, Gus Dur menyetujui dibentuknya KPP HAM (Komite Penyelidik Pelanggaran HAM) untuk kasus Timor Timur, yang berarti ada upaya tetap mengadili para jenderal yang dianggap diduga melanaggar HAM di Timtim, dituntut dengan UU nasional, bukan pengadilan internasional. Pemerintah Gus Dur tidak setuju mereka dibawa ke pengadilan internasional. Meski begitu, persetujuan atas KPP HAM sangat tidak sederhana, karena ia harus berhadapan dengan para petinggi militer dan mantan jenderal, khususnya Wiranto.
  8. Gus Dur juga berkeinginan menegakkan perdamaian di dunia sebagai amanah dalam pembukaan UUD 45 dan Pancasila. Dia mengarahkan politik luar negerinya dengan tiga prinsip: menjaga jarak sama dengan semua negara, hidup bertetangga baik, dan mewujudkan ”kebajikan universal”. Dengan ketiganya perdamaian akan terwujud dengan basis yang kokoh.  Hanya saja, ketiganya ini, tidak sederhana dan mudah diwujudkan, karena harus berhadapan dengan sikap ketidakadilan di dunia dan adikuasa dunia yang sering memaksakan kehendaknya. Tujuan ini hanya mungkin dicapai kalau peran Indonesai besar, dan peran itu hanya mungkin muncul manakala nama baik Indonesia bisa dipulihkan terlebih dulu di dunia internasional akibat krisis dan kasus Timor Timur. Gus Dur memulainya dengan berkunjung ke berbagai negara, dengan cara diplomasi bilateral, bukan multilateral. Diplomasi ini tentu harus mengunjungi negara-negara, dan ini dijadikan alasan oleh lawan-lawan politiknya, bahwa Gus Dur terlalu sering berkunjung ke luar negeri. Ada tiga hal penting yang diperjuangkan Gus Dur dalam kunjungan-kunjungan itu: untuk memastikan apakah dunia internasional mendukung kemerdekaan Papua dan Aceh, dan agar negara-negara itu mendukung kedaulatan Indonesia meskipun ada berbagai tuntutan kemerdekaan, karena Aceh sudah meminta referendum dan tuntutan kemerdekaan menguat di Papua; hubungan bilateral perdagangan agar ditingkatkan, seperti dengan Brazil yang langsung membicarakan soal kedelai, yang sebelumnya untuk impoir kedelai harus lewat Amerika Serikat; dan upaya menggalang negara-negara berkembang untuk memperjuangkan penghapusan utang terhadap negara-negara maju, karena utang-utang itu telah membangkrutkan negara-negera berkembang. Dalam kerangka itu, Gus Dur ingin ada kekuatan-kekeuatan yang bisa jadi alternatif menggerakkan kesimbangan dunia:  menggagas Poros Jakarta-Beijing-India; lalu mengusulkan dibentuk poros ekonomi Singapura-China-Jepang-India; dan  menggagas Forum Pasifik Barat yang terdiri dari Indonesia, Timor Timur, Papua Niugini, Australia, dan Selandia Baru. Sebelum semua terwujud, Gus Dur keburu dikritik bertubi-tubi karena terlalu banyak melakukan lawatan ke luar negeri, yang sebenarnya adalah kunjungan dalam kerangka diplomasi bilateral tadi; dan keburu dijatuhkan SI MPR.
  9. Di bidang ekonomi, Gus Dur tidak sepenuhnya pro pasar total, tetapi lebih menginginkan ekonomi kerakyatan agar bisa lebih dekat pada keadilan sosial dan memperhatikan aspek kemanusiaan, dengan mengangkat Menko Ekuin di luar garis Kelompok Berkely (yang menata desain Orde Baru dan membangkrutkan bangsa Indonesia, tetapi mantra-mantranya selalu dipelajari di setiap kampus Indonesia). Gus Dur mengangkat Kwik Kian Gie dan kemudian diganti Rizal Ramli, yang dua orang ini dikenal kritis terhadap garis ekonomi Kelompok Berkely. Untuk menenangkan kalangan yang sudah terlanjur terbius oleh kelompok Barkely, Gus Dur memberikan tempat mereka di DEN (Dewan Ekonomi Nasional) sebagai penasehat yang dibentuk pada 28 Oktober 1999, diketuai oleh Emil Salim, dibantu Subiyakto Cakrawerdaya (wakil), Sri Mulyani Indrawati (sekretaris), Anggito Abimanyu, Sri Adiningsih, dan Bambang Subianto (ketiganya anggota). Tentu saja capaian-capain tim ekonominya bagi keadilan sosial, pengurangan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan, dan lain-lain bisa diperdebatakan, dan ini adalah soal lain.[37] Bahwa Gus Dur mengangkat mereka yang ada di luar garis Kelompok Barkeley saja, sudah merupakan keberanian yang luar biasa di tengah aurus kuat cetak biru ekonomi unsur-unsur Orde Baru pro kelompok Barkeley.

Hal-hal lain mungkin masih bisa didaftar dan bisa didiskusikan, tetapi sembilan pokok itu merupakan bagian penting di mana garis pemerintahan Gus Dur bisa dilihat, dicermati, dan dikaji lebih lanjut. Dalam umur pendek, pemerintah Gus Dur berani melakukan hal-hal penting di tengah situasi yang kacau dan ancaman kemerdekaan di berbagai daerah menguat; dan ketidakkompakan kabinet karena hasil dari kompromi politik. Terobosan dan kebijakan-kebijakannya itu tidak berumur lama, karena Gus Dur sendiri dilengserkan oleh SI MPR dengan alas an negara dalam keadaan bahaya.[38] Akan tetapi  Gus Dur sendiri tidak datang di acara SI MPR karena dia sendiri mengeluarkan dekrit presiden.[39]
Hanya saja, yang penting, bahwa Gus Dur menerima real politik dan tidak melakukan pengonsolidasian melawan lawan-lawannya dengan kekerasan, meskipun tetap MPR dan DPR dianggap melanggar UUD 45. Dia pun kembali ke masyarakat sebagai bagian dari pengerak masyarakat yang kritis dengan ketidakadilan, dan terus berkomitmen untuk menjaga Pancasila dan UUD 45, sebagai oposan demokratik. Dia akhirnya meninggal pada 30 Desember 2009 dan di makamkan di pemakaman pesanrten Tebuireng Jombang, diiringi ribuan penta’ziyah dan penghormatan masyarakat di penjuru Indonesia. []

*) Nur Khalik Ridwan, pegiat GusDurian, dan penulis buku Gus Dur dan negara Pancasila.
sumber: http://gusdurian.net/pancasila-dan-gus-dur/#respond

Cari Blog Ini