Pertanyaan ini lucu, dan semua orang mungkin tau jawabannya tapi banyak orang Katolik yang terjerat oleh ayat Kitab Suci Perjanjian Lama.. Dalam PL, ada beberapa ayat yang melarang makan babi..
Imamat 11:7 Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah,
yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak; haram itu
bagimu.
Ulangan 14:8 Juga babi hutan, karena memang berkuku belah, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan janganlah kamu terkena bangkainya.
APAKAH DEMIKIAN? BERIKUT PENJELASANNYA!
1. Perihal larangan makanan tertentu adalah sehubungan dengan hukum yang menunjukkan hal haram atau tidak haram, dalam rangka hukum pentahiran/ pemurnian bangsa Israel. Dalam hukum ini dikatakan hal-hal yang haram dan bagaimana cara menghapuskan keharaman tersebut. Dalam hukum Imamat PL, hal “haram” menggambarkan keadaan seseorang yang karena perbuatan tertentu yang belum tentu perbuatan dosa, tidak dapat datang kepada Tuhan. Baik orangnya maupun penyebab kondisi orang itu dikatakan sebagai haram. Maka “haram”/ uncleanness, pada umumnya adalah bersifat eksternal, tidak selalu berkaitan dengan pelanggaran hukum moral, dan penghapusan keharaman tersebut juga merupakan sebuah upacara eksternal yang mengembalikan keadaan orang yang “tidak murni” tersebut ke kondisi sebelumnya.
Studi anthropologi telah menunjukkan bahwa pembedaan hal haram dan tidak haram dan pengertian-pengertian religius yang mendasari perbedaan itu telah tersebar luas dan sudah lama ada sebelum jaman bangsa Yahudi. Beberapa ide dan praktek ini diterapkan oleh bangsa Israel yang nomadis dan kemudian disyaratkan oleh Tuhan, sejauh mereka tidak bertentangan dengan kepercayaan Monotheistis dan sebagai cara untuk melatih bangsa Israel menuju standar yang lebih tinggi dalam hal kemurnian moral. Maka motif moral dan religius dari hukum kemurnian adalah seperti yang tertera dalam Im 11:44, “… haruslah kamu kudus , sebab Aku [Tuhan] ini kudus….”
2. Maka dasar untuk mengatakan suatu makanan haram atau tidak haram adalah dari segi kebersihan/ kesehatan, rasa enggan secara natural, pada tingkat tertentu pertimbangan religius, atau karena binatang-binatang tertentu mempunyai konotasi berhala ataupun tahyul. Pengertian binatang haram yang diterima pada saat itu salah satunya adalah yang berkuku belah, bersela panjang, tidak memamah biak (lih. Im 11:7, Ul 14:8), namun juga termasuk ikan yang tidak mempunyai sirip/ sisik ay.7-9, burung pemangsa ay. 13-19, serangga yang bersayap ay. 20-23, binatang reptilia ay. 29-38.
3. Maka kita melihat di sini, larangan untuk makan makanan yang haram tersebut berkaitan dengan maksud Allah untuk mengkuduskan umat-Nya. Setelah Kristus datang ke dunia, Kristuslah yang menjadi jalan yang jauh lebih mulia untuk mencapai kekudusan daripada segala hukum pemurnian tersebut. Maka hukum pengkudusan/ pemurnian ini sesungguhnya dipenuhi dengan sempurna, tidak dengan menhindari makanan yang dianggap haram namun dengan dengan kita menyambut Kristus yang adalah Putera Allah yang kudus, sang Roti Hidup (Yoh 6:25-59) yang menjadi santapan rohani, ‘jalan’ yang menghantar kita kepada Allah Bapa (lih. Yoh 14:6). Bagi umat Katolik, hal ini kita terima pada saat kita menyambut Kristus sendiri dalam yaitu dalam Sabda Allah dan terutama di dalam Ekaristi.
Itulah sebabnya Yesus memberikan perintah ini, “Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang…… Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran yang jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah yang menajiskan orang…” (Mat 15:11, 18-20)
Hal ini juga kembali ditegaskan oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, “…. dalam Tuhan Yesus… tidak ada sesuatu [makanan] yang najis dari dirinya sendiri….. Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (Rom 14:17). Juga, Rasul Petrus mengalami penglihatan bagaimana Allah tidak menyatakan makanan apapun sebagai haram, “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram. (lih. Kis 10:15)
APA KESIMPULANNYA?
1. Memang bukan soal apa yang masuk yang menajiskan kita (lih. Mat 15:11), sehingga, dengan demikian makanan apapun (asalkan memang dari segi kesehatan layak dimakan) dapat kita makan, termasuk di dalamnya daging babi.
2. Namun jika dengan memakan daging babi itu seseorang menjadi batu sandungan bagi orang lain [terutama di hadapan orang-orang yang mengharamkan babi], maka sebaiknya ia tidak makan babi (lih. Rom 14:21). Hal inilah yang dianjurkan oleh Rasul Paulus (lih. 1 Kor 8:13). Dalam hal ini memang diperlukan “prudence”/ kebijaksanaan dari pihak kita untuk menyikapinya dan memutuskannya.
Dikutip dari Situs Katolisitas
--Deo Gratias--
Ulangan 14:8 Juga babi hutan, karena memang berkuku belah, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan janganlah kamu terkena bangkainya.
APAKAH DEMIKIAN? BERIKUT PENJELASANNYA!
1. Perihal larangan makanan tertentu adalah sehubungan dengan hukum yang menunjukkan hal haram atau tidak haram, dalam rangka hukum pentahiran/ pemurnian bangsa Israel. Dalam hukum ini dikatakan hal-hal yang haram dan bagaimana cara menghapuskan keharaman tersebut. Dalam hukum Imamat PL, hal “haram” menggambarkan keadaan seseorang yang karena perbuatan tertentu yang belum tentu perbuatan dosa, tidak dapat datang kepada Tuhan. Baik orangnya maupun penyebab kondisi orang itu dikatakan sebagai haram. Maka “haram”/ uncleanness, pada umumnya adalah bersifat eksternal, tidak selalu berkaitan dengan pelanggaran hukum moral, dan penghapusan keharaman tersebut juga merupakan sebuah upacara eksternal yang mengembalikan keadaan orang yang “tidak murni” tersebut ke kondisi sebelumnya.
Studi anthropologi telah menunjukkan bahwa pembedaan hal haram dan tidak haram dan pengertian-pengertian religius yang mendasari perbedaan itu telah tersebar luas dan sudah lama ada sebelum jaman bangsa Yahudi. Beberapa ide dan praktek ini diterapkan oleh bangsa Israel yang nomadis dan kemudian disyaratkan oleh Tuhan, sejauh mereka tidak bertentangan dengan kepercayaan Monotheistis dan sebagai cara untuk melatih bangsa Israel menuju standar yang lebih tinggi dalam hal kemurnian moral. Maka motif moral dan religius dari hukum kemurnian adalah seperti yang tertera dalam Im 11:44, “… haruslah kamu kudus , sebab Aku [Tuhan] ini kudus….”
2. Maka dasar untuk mengatakan suatu makanan haram atau tidak haram adalah dari segi kebersihan/ kesehatan, rasa enggan secara natural, pada tingkat tertentu pertimbangan religius, atau karena binatang-binatang tertentu mempunyai konotasi berhala ataupun tahyul. Pengertian binatang haram yang diterima pada saat itu salah satunya adalah yang berkuku belah, bersela panjang, tidak memamah biak (lih. Im 11:7, Ul 14:8), namun juga termasuk ikan yang tidak mempunyai sirip/ sisik ay.7-9, burung pemangsa ay. 13-19, serangga yang bersayap ay. 20-23, binatang reptilia ay. 29-38.
3. Maka kita melihat di sini, larangan untuk makan makanan yang haram tersebut berkaitan dengan maksud Allah untuk mengkuduskan umat-Nya. Setelah Kristus datang ke dunia, Kristuslah yang menjadi jalan yang jauh lebih mulia untuk mencapai kekudusan daripada segala hukum pemurnian tersebut. Maka hukum pengkudusan/ pemurnian ini sesungguhnya dipenuhi dengan sempurna, tidak dengan menhindari makanan yang dianggap haram namun dengan dengan kita menyambut Kristus yang adalah Putera Allah yang kudus, sang Roti Hidup (Yoh 6:25-59) yang menjadi santapan rohani, ‘jalan’ yang menghantar kita kepada Allah Bapa (lih. Yoh 14:6). Bagi umat Katolik, hal ini kita terima pada saat kita menyambut Kristus sendiri dalam yaitu dalam Sabda Allah dan terutama di dalam Ekaristi.
Itulah sebabnya Yesus memberikan perintah ini, “Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang…… Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran yang jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah yang menajiskan orang…” (Mat 15:11, 18-20)
Hal ini juga kembali ditegaskan oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, “…. dalam Tuhan Yesus… tidak ada sesuatu [makanan] yang najis dari dirinya sendiri….. Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (Rom 14:17). Juga, Rasul Petrus mengalami penglihatan bagaimana Allah tidak menyatakan makanan apapun sebagai haram, “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram. (lih. Kis 10:15)
APA KESIMPULANNYA?
1. Memang bukan soal apa yang masuk yang menajiskan kita (lih. Mat 15:11), sehingga, dengan demikian makanan apapun (asalkan memang dari segi kesehatan layak dimakan) dapat kita makan, termasuk di dalamnya daging babi.
2. Namun jika dengan memakan daging babi itu seseorang menjadi batu sandungan bagi orang lain [terutama di hadapan orang-orang yang mengharamkan babi], maka sebaiknya ia tidak makan babi (lih. Rom 14:21). Hal inilah yang dianjurkan oleh Rasul Paulus (lih. 1 Kor 8:13). Dalam hal ini memang diperlukan “prudence”/ kebijaksanaan dari pihak kita untuk menyikapinya dan memutuskannya.
Dikutip dari Situs Katolisitas
--Deo Gratias--