Mengenai Saya

Foto saya
Shio : Macan. Tenaga Specialist Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar. Trainer Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar Negara Asing. Pengajar part time masalah Surveillance Detection, observation techniques, Area and building Analysis, Traveling Analysis, Hostile surveillance Detection analysis di beberapa Kedutaan besar negara Asing, Hotel, Perusahaan Security. Bersedia bekerja sama dalam pelatihan surveillance Detection Team.. Business Intelligence and Security Intelligence Indonesia Private Investigator and Indonesia Private Detective service.. Membuat beberapa buku pegangan tentang Surveilance Detection dan Buku Kamus Mini Sureveillance Detection Inggris-Indonesia. Indonesia - Inggris. Member of Indonesian Citizen Reporter Association.

Kamis, 07 November 2013

Pancasila dan Gus Dur

Oleh: Nur Khalik Ridwan*
Gus Dur mengatakan: “Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia dikebiri oleh Angkatan Bersenjata atau dimanipulasi oleh umat Islam”[1]
 Apa yang menarik dari Gus Dur tentang Pancasila adalah dia mewakili sejenis aspirasi dan penafsiran tentang Pancasila yang sangat relevan dengan generasi baru, bahkan hingga saat ini. Dia mengoreksi terhadap penafsiran dan implementasi Pancasila yang dilakukan rezim Soeharto; dia juga mengisi kelemahan dari yang dilakukan rezim Soekarno; dan yang terpenting dia menjembatani arus moderat untuk membawa Islam bergandengan dengan kebangsaan.
Bagi muslim pembela negara Islam dan khilafah, Gus Dur adalah musuh; karena dia adalah pemimpin muslim dengan begitu banyak pengikut yang justru setuju terhadap Pancasila, bukan dasar Islam; bagi kalangan sekular, dan nasionalis konservatif, Gus Dur juga tidak sepenuhnya sejalan, karena Gus Dur menafsirkan Pancasila berbeda dengan mereka.[2] Saya akan memulai dengan pandangan Gus Dur tentang Pancasila, dan setelah itu melihat kiprahnya dalam upaya mewujudkan negara Pancasila itu, baik ketika masih di dalam gerakan rakyat maupun ketika ia menjadi presiden.
                                             
Pandangan
Menurut Gus Dur Pancasila adalah dasar negara dan ideologi[3] bangsa, dan sebuah kompromi luhur. Pancasila adalah satu kesatuan di antara sila-silanya, sehingga mereka yang menggunakannya tidak boleh hanya mengambil segi-segi tertentu dari sila itu dengan membuang yang lain. Posisinya, menurut Gus Dur Pancasila menjadi kerangka berfikir yang harus diikuti dalam menyusun UU, kebijakan kenegaraan, dan lain-lain yang berkaitan dengannya.[4] Penegakan yang demikian itu masih terus menerus harus diupayakan. Gus Dur mengatakan: “Kami berjuang demi sebuah bentuk ideal pemerintahan yang didasarkan pada Pancasila yang masih harus kami upayakan tegaknya.”[5]
Kompromi politik yang menghasilkan Pancasila ini kemudian menurut Gus Dur dikembangkan sebagai ideologi, yang menolak dominasi agama maupun kekuasaan antiagama dalam kehidupan bernegara.”[6] Negara yang demikian adalah negara yang mencakup secara keluruhan dan mengatasi berbagai golongan, sehingga ia bukan alat satu atau dua golongan. Oleh karena itu, Indonesia menurutnya tidak akan pernah menjadi komunis, Islam, dan atau nasionalis secara ketat dan total sekalipun.[7]
Tidak apa, menurut Gus Dur, Indonesia dengan begitu disebut sebagai “bangsa yang lunak” (soft nation).[8] Karena dengan demikian, di dalam Negara Pancasila, seorang sekular tidak akan punya arti apa-apa bila di dalam dirinya  tidak menjadi seorang yang religius; seorang agamis atau Islamis misalnya, juga tidak akan bermakna bagi bangsa bila di dalam dirinya tidak  memiliki jiwa kebangsaan;  demikian juga yang lain-lain. Ini terjadi karena menurut Gus Dur Pancasila bukanlah negara agama dan bukan negara sekular, dan dia mengatakan: “Kita menolak negara teokrasi dan sekularisme dengan mengajukan alternatif ketiga berupa Pancasila.”[9]
Karena Negara Pancasila bukan Negara Islam, bukan negara komunis, dan bukan nasionalis total, maka Pancasila mengimplikasikan: pertama, harus menjadi polisi yang adil antara kelompok, tidak boleh ada konsesi yang berlebihan terhadap kelompok tertentu. Ini mensyaratkan kepemimpinan yang negarawan; politikus yang mengabdi kepada rakyat; dunia akademis yang tidak takut untuk mendiskusikan berbagai hal, mendidik manusia Indonesia merdeka, yang tidak hanya mengabdi kepada keuntungan material semata; dan keharusan adanya masyarakat sipil yang kuat dan beradab.
Kedua, ada dinamisasi internal masing-masing kelompok untuk bisa berinteraksi di tengah jalan raya bersama Pancasila, karena Pancasila tidak bisa dan tidak boleh ditundukkan oleh satu atau dua kelompok. Ini mensyaratkan, di masing-masing kelompok, ada kemauan yang kuat  untuk menerima yang baru yang lebih baik dengan tetap memelihara hal lama yang baik, melakukan dinamisasi, sesuai dengan kebutuhan dan tradisi masing-masing kelompok, untuk mengembangkan wawasan Pancasila. Gus Dur sendiri melakukan ini dengan jalan melakukan dinamisasi Aswaja, gerakan NU, dan kitab kuning agar bisa berinteraksi di tengah kebangsaanm Indonesia.
Untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan Pancasila, menurut Gus Dur tentu memiliki syarat-syarat yang tidak sederhana, dan memerlukan kesanggupan semua warga bangsa untuk terlibat aktif dalam mewujudkannya, yaitu:

  1. Masing-masing kelompok ikut mengembangkan wawasan Pancasila di dalam melihat persoalan-persoalan kebangsaan, yang menuntut kelapangan dada masing-masing untuk saling memberi dan menerima,[10] tanpa harus mematikan kreativitas dan aspirasi masing-masing kelompok. Keharusan ini dituntut karena Pancasila bukan ideologi yang ketat,  sebagaimana kita melihat komunisme, Kapitalisme, dan lain-lain ideologi. Pancasila tidak memiliki tahapan-tahapan baku untuk mewujudkan  masyarakat  Pancasila, sebagaimana tahapan-tahapan demikian ketika orang belajar tentang komunisme, dan lain-lain. Oleh karena itu, proses  pembentukan masyarakat sebagaimana dicita-citakan Pancasila, hanya mungkin bisa dilakukan bila masing-masing kelompok ikut bertangungjawab mengembangkan wawasan Pancasila, dengan tetap memanfaatkan dan menghidupkan tradisi masing-masing.
  2. Memperjuangkan demokrasi dengan jalan non-kekerasan, lewat saluran-saluran demokrasi. Di dalam Pancasila menurut Gus  Dur tidak boleh ada kediktatoran[11] sebagai anititesa dari demokrasi. Kediktatoran berarti pemerintahan yang dikelola dengan cara militeristik bahkan meskipun pemerintahan itu dikendalikan oleh sipil; pengambilan keputusan mengingkari proses kehendak orang banyak, tidak pernah diuji secara terbuka,  dan dicapai melalui proses yang tertutup; dan kuatnya penolakan atas pluralitas pandangan di dalam masyarakat. Di dalam negara Indonesia, menurut Gus Dur tidak sepantasnya dikembangkan demikian itu, agar rakyat sendiri yang memperoleh keuntungan. Gus Dur mengatakan: “Jika struktur kekuasaan benar-benar diwakili oleh rakyat dan manusiawi serta demokratis, maka semua rakyat di Indonesia akan diuntungkan.”[12] Akan tetapi Gus Dur juga mengingatkan: “Bila Pancasila telah memungkinkan semua rakyat Indonesia untuk bergabung dalam suatu negara kesatuan yang nasionalis dan adil. Bukan Pancasila perse yang menjamin demokrasi semata. Pancasila mensyaratkan toleransi sebagai dasar suatu kenegaraan demokratis dan yang menegaskan bahwa pemungutan suara itu diperbolehkan dan menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat dan hak-hak asasi. Jika Pancasila dipakai pemerintah untuk membenarkan sistem yang tidak demokratis, maka rezim itulah yang mengkhianati Pancasila.”[13]
  3. Perlu dikembangkan wawasan kemanusian yang beradab untuk membangun bangsa, yang oleh setiap agama, dan Pancasila sendiri memberikan penekanan yang kuat soal ini. Wawasan ini mengimplikasikan keragaman pendapat dan pandangan sebagai hakekat kemanusiaan haruslah dihargai. Dalam kerangka ini Gus Dur ikut andil dalam memperjuangkan HAM, dan menurutnya di Indonesia tidak boleh ada pelanggaran HAM.[14] Akan tetapi dalam penegakkan HAM, Gus Dur menginginkan sebuah perspektif baru dalam menegakkannya. Perspektif baru ini melampaui pendekatan liberalistis yang lebih menekanakan hak yuridis formal dari perorangan; dan wawasan ekonomi yang lebih menekankan diri pada pencarian sebab-sebab yang lebih mendasar dari terkikisnya hak tersebut. Gus Dur dengan mengutip beberapa pakar mengusulkan pendekatan baru dengan mempertimbangkan: aspek psikologis, tujuan pencapaian yang tidak hanya berhenti di kebutuhan-kebutuhan politik dan ekonomis, dan Gus Dur mengakui masih sulitnya mencari pendekatan yang pas untuk semuanya, tetapi Gus Dur menyebutkan: “Masing-masing hanya akan berarti jika mampu mengaitkan antara pendekatan liberal di bidang hak-hak yuridis dan politis kepada pendekatan struktural untuk menjamin persamaan yang lebih adil bagi semua warga masyarakat.”[15]
  4. Khusus dalam hubungan agama, Gus Dur mengatakan seperti dikutip di atas: “kita menolak teokrasi dan sekularisme, dengan mengajukan alternatif ketiga berupa Pancasila.” Di sini, Gus Dur melihat Negara Pancasila dengan paradigm diferensial, dengan keharusan adanya pembagian peran agama (masyarakat agama) dan negara. Gus Dur mengatakan: “pertama, campur tangan pemerintah dalam kehidupan beragama harus dibatasi jangkauannya, bahkan kalau mungkin dipersempit. Organisasi-organisasi keagamaan yang dibuat oleh kelompok-kelompok yang turut duduk dalam pemerintahan harus didorong untuk menjadi independen dari pemerintah. Politisasi gerakan keagamaan harus dihindari sedapat mungkin. Kedua, pembinaan kehidupan beragama sebaiknya mengambil bentuk dengan peranan pihak pemerintah bersifat tidak langsung, bukannya seperti sekarang. Hanya dalam hal-hal esensial saja pemerintah langsung melakukan kegiatan keagamaan, seperti penyelenggaraan ibadah haji dan peradilan agama. Hal-hal yang bersifat rutin dapat diserahan kepada organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga keagamaan yang telah ada. Ketiga, segenap kegiatan pemerintah di bidang keagamaan haruslah diarahkan ke pemantapan integrasi nasional kita, bukannya memperkuat status kecenderungan segregasi agama yang masih ada sisa-sisanya dalam kehidupan  sebagai bangsa saat ini.”[16]
  5. Rekonsiliasi harus dilakukan, karena dasar kita adalah persatuan, dan negara bukan untuk golongan tertentu. Gus Dur mengatakan: “Karenanya kita harus memiliki kelapangan dada untuk menerima pihak-pihak lain yang tidak sepaham dengan kita. Termasuk di dalamnya mantan Napol dan Tapol PKI. Karena itulah penulis tidak pernah menganggap mantan anggota PKI atau NII/TII sebagai lawan yang harus diwaspadai. Penulis justru beranggapan bahwa mantan anggota PKI itu, sekarang sedang mencari Tuhan dalam kehidupan mereka, karena apa yang saat ini mereka anggap sebagai kezaliman-kezaliman, justru pernah mereka jalani saat berkuasa. Yang kita perlukan adalah rekonsiliasi nasional bagi semua pihak. Pengertian rekonsiliasi yang benar adalah terlebih dulu: perlu ada pemeriksaan tuntas oleh pengadilan, kalau bukti-bukti yang jelas masih bisa dicari. Di sinilah keadilan harus ditegakkan di bumi nusantara.”[17]
  6. Harus ada gerakan masyarakat yang kuat, untuk menjamin berjalannya demokrasi dan diperhatikannya aspek-aspek kerakyatan yang dinaungi oleh hikmah dan kebijaksanaan publik,  dan ini mensyaratkan: pertama, harus ada pemisahan, antara wilayah negara dan masyarakat. Gus Dur menyatakan bahwa hal ini tidak ada dalam Orde Baru yang menganut visi integralistis-militeristik yang dikeramatkan oleh ABRI berupa suatu totalitas negara organis berbasis tentara dengan dwi fungsinya. Kedua, harus ada pemisahan antara masyarakat sipil dengan pemerintah. Pemisahan ini menurut Gus Dur berarti harus ada otonomi masyarakat sipil dan memerlukan kebebasan dasar, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat, dan bergerak. Akhirnya Gus Dur menegaskan bahwa “pemisahan kekuasaan di dalam pemerintah itu penting untuk menciptakan demokrasi yang sejati, harus ada suatu sistem check and balance di dalam pemerintahan. Gus Dur menegaskan bahwa kebijakan-kebijakan Orde Baru itu dipengaruhi oleh militer tentang sekularisme integralistis; yaitu Orde Baru secara politis adalah sekular, tetapi caranya tidak demokratis, sehingga tidak membedakan antara wilayah negara dan masyarakat. Sementara sekularisme demokratis memerlukan pemisahan antara kekuasaan pemerintahan dan pembedaan yang jelas antara negara dan masyarakat sipil.”[18]
  7. Di dalam negara Pancasila, Gus Dur juga menginginkan adanya keadilan sosial dan kemakmuran bisa diciptakan, bahkan di tingkat dunia dimana Indonesia harus berperanan di tengah globalisasi. Gus Dur mengatakan: “Globalisasi ekonomi  saat ini sering diartikan sebagai persaingan bebas, ketundukan mutlak kepada penerimaan atas kebenaran tata niaga internasional yang diwakili WTO. Globalisasi ekonomi juga  dimaksudkan untuk membenarkan dominasi perusahaan-perusahaan besar atas perekonomian negara-nergara berkembang… Tidak dibenarkan  adanya perkembangan pasar tanpa campur tangan pemerintah, minimal untuk mencegah adanya eksploitasi. Di sinilah peranan negara menjadi penting, yaitu menjamin agar tidak ada manusia yang terhimpit oleh transaksi ekonomi. Prinsip non-eksploitasi dalam sebuah transaksi ekonomi, menghendaki adanya penolakan atas dominasi atas sebuah negara/perusahaan atas negara/perusahaan lain. Globalisasi harus diubah dengan pengertian baru yang lebih menekankan keseimbangan antara pemakai dan penghasil. Penyesuaan antara pihak prosdusen dan konsumen, tentu menjadi titik penyesuaian antara kepentingan berbagai negara satu sama lain di bidang ekonomi dan perdangan.”[19] Dalam bagian-bagian lain, Gus Dur menginginkan perlu dikembangkan ekonomi kerakyatan, yang menurutnya adalah ekonomi yang berorientasi kepada rakyat dan bangsa, dengan meminimalisir adanya tekanan non-eksploitasi dalam transaksi ekonomi,[20] agar kemakmuran bisa diwujudkan, dan hal ini menjadi tujuan penting dalam penyelenggaraan negara.
  8. Pelaksanaan politik internasional yang berbasiskan pada kesejajaran bangsa-bangsa untuk ikut menciptakan perdamaian, dengan tetap menghargai kedaulatan dan kemandirian bangsa-bangsa yang ada dengan berbasiskan pada kebajikan universal. Gus Dur menyebutkan bahwa diperlukan sebuah etika global dimana keadilan harus menjadi pertimbangan mendasarnya; dan harus adanya pemerintahan yang baik di masing-masing negara. Gus Dur mengkritik adanya sikap dominasi dengan melupakan dan menihilkan keadilan dan etika global, dari kelompok negara adikuasi kepada negara-negara lain. Hal ini diperlukan karena di dunia saat ini, menurut Gus Dur “merajalela sinisme yang dibawa oleh pertimbangan-pertimbangan politik, dan menjadi satu-satunya alat pertimbangan global. Pertimbangan itu akan melahirkan kepentingan negara-negara adikuasa saja, yang akibatnya melumpuhkan negara-negara bukan adikuasa.”[21]
  9. Harus dikembangkan kebudayaan[22] yang memperkuat nilai-niali keindonesia, yang menurut Gus Dur adalah: “Pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau.” Ada tiga pilar penting yang menjadi ciri nilai-nilai keindoneisaan ini, yaitu: solidaritas sosial yang harus dipupuk dan dikembangkan; nilai yang menampilkan kosmopolitanisme di mana  warga Indonesia harus menjadi bagian dari warga dunia untuk bisa hidup damai dan rukun; dan kesediaan untuk mencoba gagasan-gagasan pengaturan masyarakat berlingkup luas, tetapi berhadapan di sisi lain dengan rendah hati yang timbul dari kekuatan dasar masyarakat tradisi untuk mempertahankan diri  berhadapan dengan tantangan dramatis kehidupan mereka. Pengembangan kebudayaan yang relevan di dalam Negara Pancasila adalah, dengan 3 cara: pertama, mendesentralisasi pengembangan pola kehidupan yang seragam; kedua, dijaminnya hak dasar setiap warga untuk menampilkan kreasi tradisi dan budaya dalam arti seluas-luasnya; ketiga pengembangan kreativitas budaya yang mengacu pada peningkatan rasa kebersamaan sebagai bangsa dan persamaan kedudukan warga masyarakat di muka UU.

Tentu saja, ada gagasan-gagasan lain yang banyak dalam pandangan dan pemikiran Gus Dur. Hanya saja 9 hal itu, menurut penulis telah mewakili aspek-aspek penting dalam kehidupan bernegara yang ingin dicita-citakan Gus Dur dalam mengembangkan negara Pancasila. Dalam pelaksanaan atas gagasan-gagasannya, juga dalam interaksi-interaksi antara gagasan dan implementasi dalam gerakan yang dilakukan Gus Dur, dia pernah berkesempatan mewujudkannya di dalam dua ranah: di kalangan NU ketika ia menjadi ketua umum PBNU (1984-1989, 1989-1994, dan 1994-1999), yang kemudian membawanya untuk berkiprah dalam gerakan proemokrasi melawan ketidakadilan; dan ketika dia menjadi presiden (1999-2001), dengan segala dinamika dan gejolaknya.

Gerakan Rakyat
Pandangan yang kita bicarakan ini, muncul dari seorang Gus Dur yang lahir pada 7 September 1940 (tetapi di catatan sipil ditulis 4 Agustus). Ayahnya adalah KH. Abdul Wahid Hasyim, salah seorang pendiri bangsa ini yang terlibat dalam perumusan Piagam Jakarta, dan kemudian menyetujui hasil-hasil PPKI yang menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Kakeknya dari pihak ayah adalah KH. Hasyim Asya`ri, Rais Akbar, dan pendiri NU, guru dari para ulama di Jawa dan sekitarnya; dan dari pihak ibu adalah KH. Bishri Syansuri, pendiri NU dan menjadi Raim Am PBNU (1971-1980). Pendidikan kecilnya dihabiskan di lingkungan pesantren, karena tinggal di rumah kakeknya dari pihak ibu. Pada tahun 1950-an di juga nyantri di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, kemudian kepada KH. Khudori di Magelang. Di Yogyakarta dia sudah membaca buku-buku besar, seperti Das Kapital, What Is to Be Done, dan lain-lain. Pada tahun 1963 dia belajar ke Mesir, dan kemudian melanjutkan ke Baghdad, dan melakukan kunjungan ke bebarap negara Timur Tengah dan Eropa.[23]
Sekembalinya di Jawa pada 4 Mei 1971, untuk sementara Gus Dur tinggal dan mengajar di Jombang. Sejak tahun 1972 dia berceramah, berkeliling Jawa, mengajar, dan yang terpenting menulis kolom dan artikel di banyak media terkenal; dan kemudian menjadi penasehat tentang pesantren di LP3ES, dan sering menghadiri seminar dalam lingkaran kiri internasional, seperti dengan Randy David, Jomo K. Sundaram, Martin Khor, Surichai, Suthi Prasechat, dan Sayed Husain Ali.[24]  Dia ikut menyaksikan peristiwa Malari 1974 yang mengkritisi rezim Soeharto dari Jombang. Pada tahun 1979 dia mulai berkiprah di NU sebagai sekretaris Syuriyah PBNU, dan hal yang mengesankan pernah ke Maroko, karena ikut membentuk fondasi pemikirannya.[25] Dia sudah pindah ke Jakarta, dan telah menyaksikan para pendukung rezim, menyadari kekeliruan-kekeliruan rezim  sehingga pada 9 Mei 1980 muncul Petisi 50, yang di dalamnya juga  ada para eksponen Orde Baru yang sadar.[26]
Untuk menakut-nakuti para pengkritik rezim dan masyarakat agar tertib di bawah kendalinya, sepanjang tahun 1983-1985 Soeharto menggunakan jalan pintas melakukan Petrus (penembak misterius) terhadap orang yang dicurigai preman, dengan tidak kurang 5000 orang terbunuh tanpa pengadilan. Di tengah situasi ini pada tahun 1984 Gus Dur diangkat sebagai ketua umum PBNU dalam Muktamar di Situbondo, dan setahun sebelumnya sukses menjadi ketua panitia Munas Alim Ulama untuk membicarakan asas Pancasila, dan NU menerimanya. Pada saat menjadi ketua umum PBNU, ketika itu Orde Baru membuat proyek pembangun menyasar dalam kasus Kedungombo, dan Gus Dur terlibat dalam gerakan para aktivis yang memprotes, dengan menulis surat kepada Bank Dunia atas penyelewenagan-penyelewengan dan ketidakadilan di Kedungombo. Langkah ini membuat Soeharto yang baru saja senang karena NU kembali ke Khittah dan menerima asas tunggal Pancasila, jadi sangat marah.
Setelah Muktamar NU tahun 1989, Gus Dur dipilih kembali sebagai ketua umum PBNU, dan menandakan semakin kuatnya dukungan NU terhadap Gus Dur. Pada saat yang sama dukungan terhadap Soeharto semakin kuat, baik dari Golkar, ABRI, maupun kalangan sipil. Gus Dur kemudian mulai berdikusi dengan anak-anak muda di kampus-kampus dan kepada orang-orang dekatnya untuk mencermati 3 hal: politik presiden yang sudah terlanjur kuat; politik ABRI yang dikokohkan dengan Dwi Fungsi; dan politik sectarian yang tengah muncul. Di dalam internal NU, dia mulai mengampanyekan dialog kesenjangan sosial akibat pembanguan yang tidak merata. Setelah itu, dia sudah mulai menyindir pengganti pak Harto dengan cara  mengembalikan kepada Pak Harto sendiri, yang dimuat berbagai media massa. Katanya: “Belum ada calon yang layak menggantikan Pak Harto?” Lalu: “Mungkin saja Pak Harto masih sanggup sekali lagi”. Masak iya Gus, tanya wartawan. Jawabnya: “Lha kalau Pak Harto sendiri mau, kita mau apa.”[27]
Pada pertengah September 1989 Soeharto membuat pernyataan bahwa “siapa saja yang bertindak tidak konstitusional, tidak peduli jenderl, walaupun politisi, akan saya gebuk,”[28] untuk memperingatkan kelompok kritis dan rakyat. Berbagai kalangan Islam memberikan legitimasi dan dukungan kepada Soeharto dalam Petisi 21 pada 30 September 1989: tokoh-tokoh Ormas mendukung kebulatan tekad memilih Soeharto untuk melanjutkan kepemimpinan setelah pemilu 1992, dan beberap tokoh NU juga terlibat di situ. Ketika semu banyak orang mendukung Soeharto, justru Gus Dur berkomentar dan dikutip berbagai media: “Kebulatan tekad bukan urusan NU,”[29] yang berarti benar-benar dianggap menantang Soeharto.
Tidak takut dengan ancamanSoeharto itu, pada 1990 kemudian Gus Dur menemui Moerdiono, sebagai Sekneg, ketika kesenjangan sosial semakin jelas dan lebar. Gus Dur membicarakan pentingnya pengusaha-pengusaha besar untuk membantu dan berbicara dengan para pengusaha kecil, karena kalau dibiarkan akan membahayakan. Gus Dur mengusulkan dialog nasional tentang kesenjangan sosial di tingkat yang lebih luas, yang berarti dengan menemui Sekneg, menurut rezim, dia sudah berani menyerang kekuasaan.
Perjuangan Gus Dur tidak hanya melawan kekuasaan yang dzalim, tetapi juga dalam membela kebebasan pers. Pada tahun 1990 terjadi kasus Monitor, dan Gus Dur membela Arswendo ketika pada edisi 15 Oktober 1990 redaksinya memut judul berita yang menghebohkan: “Ini Dia 50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca”. Dalam urutan satu bertengger presiden Soeharto, dan seterusnya sampai nama Nabi Muhmmad ada di urutan No. 11. Publik muslim menjadi gempar, dan Gus Dur membela dalam  hal kebebasan persnya, karena sudah terjadi penyerangn terhadap kantor Monitor, dicabut SIUPP-nya, atau izin penerbitannya. Oposisiny terhadap Soeharto diteruskan sampi muncul ICMI (7 Desember 1990) yang dibekingi Soeharto, dan dia mengkritik para pejabat termasuk presiden, karena mendukung aspirasi Islam sektarian semacam ICMI. Di sini Soeharto sadar sudah mulai mendapat perlawanan keras dari rakyat, dan berlindung kepada sebagian umat Islam di balik dukungannya atas ICMI.
Melihat perkembangan ini Gus Dur kemudian mendirikan Fordem bersama 45 orang pada tanggal 16-17 Maret 1991, dan dia menjadi ketuanya. Tujuannya untuk mendiskusikan dan memperjuangkan demokrasi di Indonesia. Kiprahnya jadi semakin tidak disenangi penguasa Orde Baru.  Langsung saja panggung politik nasional gempar, dan Fordem dituduh sebagai akal-akalan untuk menggoyang kepemimpinan nasional menjelang Pemilu 1992 dan SU MPR setelah itu. Untuk menandinginya, rezim mengorganisir dukungan kalangan Islam dalam Doa Bersama dan Ikrar kesetiaan mendukung Soeharto, yang disebut kelompok 37 ormas, agar tetap terpilih dan bisa melanjutkan kepemimpinan Orde baru 1993-1998.[30]
Untuk menggusurnya, pada Muktamar NU di Cipasung tahun 1994, Gus Dur harus berhadapan dengan kekuatan rezim yang memanfaatkan orang-orang NU prorezim, yang di antaranya adalah Abu Hasan. Gus Dur memenangkan pertarungan yang melelahkan, meskipun akhirnya NU terbelah dua: KPPNU dan PBNU.[31] KPPNU akhirnya mati sendiri karena dukungan terhadap Gus Dur dan PBNU yang syah tetap kuat dan semakin besar. Sampai muncul gerakan reformasi Gus Dur tetap konsisten menjadi oposan demokratik, dan ketika reformasi pada tahun 1998 bergulir dia mash menjadi ketua umum PBNU dengan peran-peran kritis yang dimainkan, meskipun beberapa kali dia harus masuk rumah sakit. Pada tahun 1999 dia kemudian dipilih sebagai presiden, menggantikan Habibie pasca Pemilu demokratis di masa reformasi.

Dalam Pemerintahan
Gus Dur menjadi presiden selama 21 bulan (20 Oktober 1999-23 Juli 2001), dalam situasi yang sulit, terjadi ancaman kemerdekaan di papua, Aceh, Riau, kerusuhan dan pemboman di mana-mana, dan masih banyaknya unsure Orde Baru di birokrasi dan partai politik. Dalam kurun waktu pendek ini, Gus Dur harus melakukan perombakan kabinet sampai dua kali, karena kesulitan-kesulitan yang harus didera kabinetnya. Meski begitu, ada beberapa hal yang diperbuat yang patut dicatat dalam mengembangkan Pancasila dan UUD 45 sebagaimana yang ia pahami dan cita-citakan:

  1. Meletakkan dasar-dasar agar demokratisasi dan penguatan masyarakiat sipil, dengan cara memberikan akses kepada masyarakat seluas-luasnya untuk memperoleh informasi publik yang dibutuhkan, tidak boleh ada sensor dan tidak boleh dimonopoli pemerintah. Untuk hal ini Gus Dur membubarkan Deppen (Departemen Penerangan), yang di masa lalu menjadi alat untuk mengakumulasi sumber-sumber informasi oleh pemerintah Orde Baru, dengan gaya stalinis; dan adanya kebiasaan memeras uang dari penerbit media.[32] Karyawannya dijanjikan akan disalurkan ke instansi lain. Kebijakan ini disambut antusias oleh pers, tetapi ditanggapi dengan demonstrasi oleh para karyawan Deppen dan Depsos sampai mengadu ke DPR. Meskipun hal seperti itu dalam konstitusi sebagai hak prerogratif presiden, tetapi lawan-lawan politiknya di DPR kemudian menjadikannya sebagai bagian dari amunisi penting untuk mengkritisi, sehingga ketika terjadi dialog dengan DPR, ada sebagain yang emosional, dan dari sini Gus Dur mengibaratkan DPR seperti TK (Taman Kanak-Kanak), yang kemudian menambah geram sebagian anggota DPR.
  2. Melakukan reformasi di tubuh TNI, dengan cara menempatkan tentara dan polri sesuai dengan fungsi asal dari sebuah tentara di dalam negara demokrasi: tentara mengurus dan menjaga pertahanan; Polri menjaga keamanan dalam negeri. Kebijakan yang dilakukan Gus Dur adalah memisahkan Polri dan TNI yang sebelumnya disatukan dalam satu komando; dan memberikan kontrol sipil atas tentara, dengan menempatkan orang sipil di Departemen Pertahanan, yang sejak Orde Baru menjadi wilayah militer.[33] Pada saat yang sama Gus Dur juga tidak ingin melihat masyarakat melecehkan militer sebagai institusi, akibat kebijakan-kebijakan yang salah di masa lalu. Kebijakan mereformasi tentara untuk kembali ke barak, tentu saja berimplikasi luas bagi institussi tentara sendiri, kehidupan masyarakat, dan elit-elit tentara. Sudah sejak lama, tentara memperoleh keuntungan dari peran politiknya dan peran bisnis-bisnis yang dikelola mereka ke dalam berbagai yayasan. Dengan kebijakan itu, mau tidak mau tentara harus menjadi profesional dan kembali ke barak, tetapi hal ini, tentu tidak sederhana dan menimbulkan gejolak.
  3. Kehidupan demokrasi juga mensyaratkan adanya jaminan untuk bisa berkiprah secara fair, bebas, dan tidak boleh ada ketakutan-ketakutan. Hal ini, menjadi nihil pada zaman Orde baru, karena ada institusi yang bernama Bakortanas Kepres No. 29 tahun 1988), Litsus (Kepres No. 16 tahun 1990), dan Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Penegakan Hukum (zaman Habibi). Keduanya (Bakortanas dan Litsus) menjadi simbol penguasa melakukan pengedalian secara militeristik untuk meneror lawan-lawan politik rezim.[34] Institusi ini  akan menyeleksi pihak-pihak yang dianggap mengancam rezim. Litsus akan mengancam siapa saja untuk diteliti riwayatnya apakah termasuk  anggota partai terlarang, membahayakan, dan seterusnya. Gus Dur mencabut Bakortanas dan Litsus dengan Kepres No. 38 tahun 2000. Kebijakan ini disambut secara baik oleh pegiat demokrasi, dan meskipun dari kalangan militer tidak menentangnya, tentu saja, penghapusan itu menjadikan sebagian militer melihat “terlalu banyak yang dilakukan Gus Dur” dalam mengembalikan tentara ke barak, kalau bukan sebuah kemarahan terpendam.
  4. Karena konsen dengan pandangan bahwa negara harus berada di atas semua golongan, dan tidak boleh dimanfaatkan  oleh hanya golongan tertentu, dan negara harus menjamin tegaknya kemanusiaan yang adil dan beradab, Gus Dur melihat Tap MPRS XXV/1966 telah melewati batas-batas kemanusiaan yang adil dan beradab itu. Gus Dur mengusulkan agar Tap ini dicabut, karena baginya, secara organisasi bisa saja PKI dilarang kalau memang melanggar hukum, tetapi sebagai ajaran, Marxisme-leninisme boleh dipelajari agar bangsa Indonesia mengetahui kelemahan komunisme itu sendiri dan kelemahan-kelemahan dari kapitalisme; dan pelarangan sebuah organisasi, tidak haru garis linier berarti semua anggota, simpatisan, dan anak cucunya tidak boleh berpolitik. Gus Dur melihat penerapan atas Tap ini di luar batas-batas kemanusiaan yang adil dan beradab, karena bukan hanya pada PKI-nya sebagai organisasi, tetapi juga pada anak-anak cucu dari PKI dan simpatisannya diperlakukan kurang manusiawi. Usulan Gus Dur soal ini didukung para pegiat demokrasi, tetapi ditolak oleh sebagian umat Islam dan para politisi senayan, sehingga tidak berhasil.[35] Tentu saja Gus Dur sadar, bahwa sangat sulit mencabutnya di tengah peta kekuatan politik MPR pada zamannya, akan tetapi dia menunjukkan sebagai pemimpin haruslah seorang negarawan, meskipun dikutuk dan ditolak oleh sebagian besar masyarat yang menentang, termasuk dari kalangan NU sendiri.
  5. Dalam kehidupan beragama, Gus Dur menerbitkan kepres No. 6 tahun 2000 yang mencabut Inpres No 14 tahun 1967  tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat China. Dalam kepres itu Gus Dur mengakui hak-hak sipil kalangan Konghucu, sehingga mereka kemudian bisa merayakan Imlek dan beribadah di tempat ibadah mereka. Gus Dur melihat, zaman Orde baru terjadi penindasan eksistensi penganut Konghucu: jangankan untuk menjalankan agamanya, untuk merayakan imlek saja tidak bisa, termasuk melestarikan tradisi barongsai, dan memakai nama-nama Thioghoa pun tabu. Sebagai demokrat dan mempercayai Pancasila sebagai penuntut bernegara, Gus Dur tidak mau tinggal diam. Dengan kebijakan itu, Gus Dur menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus berani mengambil sikap untuk menjalankan prinsip-prinsip bernegara yang menjamin kebebasan beragama, meskipun harus bertentangan dengan pemerintahan sebelumnya.
  6. Di bidang otonomi dan gejolak daerah, seperti di Aceh dan Papua, Gus Dur menunjukkan sikap yang tidak konfrontatif-militeristik, mengedepankan cara-cara dialogis dan damai. Orang Papua mengenang Gus Dur dengan kenangan yang manis, karena di dalam pemerintahannyalah, nama Irian Jaya diganti dengan Papua, dan pendekatan yang dilakukan mengedepankan non-militeristik.[36] Di Aceh, Gus Dur berhasil menambah jeda kemanusian selama 3 bulan di tengan tuntutan keras referendum dan keinginan militer garis keras untuk tetap melanjutkan operasi militer; dan disyahkan pula UU otonomi khusus Aceh, yaitu UU No. 18 tahun 2001, terlepas dari sisi kelemahan-kelemahan dalam UU itu. Gus Dur sadar betul bahwa gejolak di dua daerah ini memiliki kekhasan dan sejarah panjang, sehingga harus diberi perhatian serius, karena di kedua daerah itu aspirasi kemerdekaan cukup keras, dan Aceh sudah meminta referendum;  dan pada saat yang sama Gus Dur melihat dan meyakini Indonesia harus dijaga keutuhan, kedaulatan, dan teritorialnya.
  7. Gus Dur juga ingin terlibat menegakkan HAM, meskipun tidak seluruh kasus HAM bisa dipecahkan dan ditangani di dalam pemerintahannya, karena begitu sulit dalam menegakkannya. Ini yang juga membuat kritik dari para pendekar HAM tentang pemerintahan Gus Dur. Akan tetapi yang patut dicatat, Gus Dur menyetujui dibentuknya KPP HAM (Komite Penyelidik Pelanggaran HAM) untuk kasus Timor Timur, yang berarti ada upaya tetap mengadili para jenderal yang dianggap diduga melanaggar HAM di Timtim, dituntut dengan UU nasional, bukan pengadilan internasional. Pemerintah Gus Dur tidak setuju mereka dibawa ke pengadilan internasional. Meski begitu, persetujuan atas KPP HAM sangat tidak sederhana, karena ia harus berhadapan dengan para petinggi militer dan mantan jenderal, khususnya Wiranto.
  8. Gus Dur juga berkeinginan menegakkan perdamaian di dunia sebagai amanah dalam pembukaan UUD 45 dan Pancasila. Dia mengarahkan politik luar negerinya dengan tiga prinsip: menjaga jarak sama dengan semua negara, hidup bertetangga baik, dan mewujudkan ”kebajikan universal”. Dengan ketiganya perdamaian akan terwujud dengan basis yang kokoh.  Hanya saja, ketiganya ini, tidak sederhana dan mudah diwujudkan, karena harus berhadapan dengan sikap ketidakadilan di dunia dan adikuasa dunia yang sering memaksakan kehendaknya. Tujuan ini hanya mungkin dicapai kalau peran Indonesai besar, dan peran itu hanya mungkin muncul manakala nama baik Indonesia bisa dipulihkan terlebih dulu di dunia internasional akibat krisis dan kasus Timor Timur. Gus Dur memulainya dengan berkunjung ke berbagai negara, dengan cara diplomasi bilateral, bukan multilateral. Diplomasi ini tentu harus mengunjungi negara-negara, dan ini dijadikan alasan oleh lawan-lawan politiknya, bahwa Gus Dur terlalu sering berkunjung ke luar negeri. Ada tiga hal penting yang diperjuangkan Gus Dur dalam kunjungan-kunjungan itu: untuk memastikan apakah dunia internasional mendukung kemerdekaan Papua dan Aceh, dan agar negara-negara itu mendukung kedaulatan Indonesia meskipun ada berbagai tuntutan kemerdekaan, karena Aceh sudah meminta referendum dan tuntutan kemerdekaan menguat di Papua; hubungan bilateral perdagangan agar ditingkatkan, seperti dengan Brazil yang langsung membicarakan soal kedelai, yang sebelumnya untuk impoir kedelai harus lewat Amerika Serikat; dan upaya menggalang negara-negara berkembang untuk memperjuangkan penghapusan utang terhadap negara-negara maju, karena utang-utang itu telah membangkrutkan negara-negera berkembang. Dalam kerangka itu, Gus Dur ingin ada kekuatan-kekeuatan yang bisa jadi alternatif menggerakkan kesimbangan dunia:  menggagas Poros Jakarta-Beijing-India; lalu mengusulkan dibentuk poros ekonomi Singapura-China-Jepang-India; dan  menggagas Forum Pasifik Barat yang terdiri dari Indonesia, Timor Timur, Papua Niugini, Australia, dan Selandia Baru. Sebelum semua terwujud, Gus Dur keburu dikritik bertubi-tubi karena terlalu banyak melakukan lawatan ke luar negeri, yang sebenarnya adalah kunjungan dalam kerangka diplomasi bilateral tadi; dan keburu dijatuhkan SI MPR.
  9. Di bidang ekonomi, Gus Dur tidak sepenuhnya pro pasar total, tetapi lebih menginginkan ekonomi kerakyatan agar bisa lebih dekat pada keadilan sosial dan memperhatikan aspek kemanusiaan, dengan mengangkat Menko Ekuin di luar garis Kelompok Berkely (yang menata desain Orde Baru dan membangkrutkan bangsa Indonesia, tetapi mantra-mantranya selalu dipelajari di setiap kampus Indonesia). Gus Dur mengangkat Kwik Kian Gie dan kemudian diganti Rizal Ramli, yang dua orang ini dikenal kritis terhadap garis ekonomi Kelompok Berkely. Untuk menenangkan kalangan yang sudah terlanjur terbius oleh kelompok Barkely, Gus Dur memberikan tempat mereka di DEN (Dewan Ekonomi Nasional) sebagai penasehat yang dibentuk pada 28 Oktober 1999, diketuai oleh Emil Salim, dibantu Subiyakto Cakrawerdaya (wakil), Sri Mulyani Indrawati (sekretaris), Anggito Abimanyu, Sri Adiningsih, dan Bambang Subianto (ketiganya anggota). Tentu saja capaian-capain tim ekonominya bagi keadilan sosial, pengurangan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan, dan lain-lain bisa diperdebatakan, dan ini adalah soal lain.[37] Bahwa Gus Dur mengangkat mereka yang ada di luar garis Kelompok Barkeley saja, sudah merupakan keberanian yang luar biasa di tengah aurus kuat cetak biru ekonomi unsur-unsur Orde Baru pro kelompok Barkeley.

Hal-hal lain mungkin masih bisa didaftar dan bisa didiskusikan, tetapi sembilan pokok itu merupakan bagian penting di mana garis pemerintahan Gus Dur bisa dilihat, dicermati, dan dikaji lebih lanjut. Dalam umur pendek, pemerintah Gus Dur berani melakukan hal-hal penting di tengah situasi yang kacau dan ancaman kemerdekaan di berbagai daerah menguat; dan ketidakkompakan kabinet karena hasil dari kompromi politik. Terobosan dan kebijakan-kebijakannya itu tidak berumur lama, karena Gus Dur sendiri dilengserkan oleh SI MPR dengan alas an negara dalam keadaan bahaya.[38] Akan tetapi  Gus Dur sendiri tidak datang di acara SI MPR karena dia sendiri mengeluarkan dekrit presiden.[39]
Hanya saja, yang penting, bahwa Gus Dur menerima real politik dan tidak melakukan pengonsolidasian melawan lawan-lawannya dengan kekerasan, meskipun tetap MPR dan DPR dianggap melanggar UUD 45. Dia pun kembali ke masyarakat sebagai bagian dari pengerak masyarakat yang kritis dengan ketidakadilan, dan terus berkomitmen untuk menjaga Pancasila dan UUD 45, sebagai oposan demokratik. Dia akhirnya meninggal pada 30 Desember 2009 dan di makamkan di pemakaman pesanrten Tebuireng Jombang, diiringi ribuan penta’ziyah dan penghormatan masyarakat di penjuru Indonesia. []

*) Nur Khalik Ridwan, pegiat GusDurian, dan penulis buku Gus Dur dan negara Pancasila.
sumber: http://gusdurian.net/pancasila-dan-gus-dur/#respond

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar, masukan yang sifatnya membangun blog ini.

Cari Blog Ini