18 Juni 2014 13:18 dibaca: 4014
Negara
gagal dan menyerah kepada kelompok-kelompok intoleran.
JAKARTA
-
Ketua
Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi,
menilai
tindakan
Polri menersangkakan Pendeta
Nico Lomboan, pemilik rumah yang diserang sejumlah
orang di
Pangukan, Sleman, Yogyakarta, karena melakukan ibadah di
rumahnya
tak masuk akal.
Hal itu menunjukkan Polri tidak melindungi minoritas, tetapi ikut mengacak-acaknya atas nama mayoritas. “Ini kebiasaan cara pandang dan cara bertindak polisi dalam menangani soal-soal kebebasan beragama,” kata Hendardi kepada SH di Jakarta, Selasa (17/6).
Alih-alih menindak pelaku kekerasan yang main hakim sendiri, Polri malah berbelok arah dengan urusan administrasi pendirian rumah ibadah. Polri, kata Hendardi, saat ini tidak sedang merawat kebebasan beragama, tetapi atas nama mayoritas sedang ikut mengacak-acak keberagaman.
“Polisi telah menghindar dari tugas utamanya yang justru harus merawat kebinekaan dan melindungi minoritas dari mayoritas sebagaimana hakiki dari HAM dan demokrasi,” tuturnya.
Terpisah, anggota Komnas HAM, Natalius Pigay, mengutuk keras sikap pihak kepolisian tersebut. Tindakan Polri tersebut menunjukkan negara gagal dan menyerah kepada kelompok-kelompok intoleran. “Saya sudah pengalaman kasus yang seperti ini. Biasanya kelompok-kelompok intoleran yang sudah jadi tersangka, mendesak polisi juga menersangkakan pihak lain," ujarnya.
Menurutnya, masalah izin rumah ibadah, seharusnya tidak serta-merta diselesaikan dengan proses pidana. Kepolisian seharusnya bisa menyelesaikan dengan cara persuasif. Penanganan pelanggaran izin penggunaan bangunan untuk rumah ibadah seharusnya juga tidak berdasarkan kasus yang muncul.
Jika polisi mau adil, mereka juga harus memeriksa perizinan seluruh rumah ibadah. "Kalau hanya setiap ada insiden baru diperiksa, itu namanya diskrimantif, apalagi jika langsung melakukan proses hukum pidana,” ucapnya.
Terhadap kelompok penyerang, kata Natalius, sudah tepat polisi menetapkan mereka sebagai tersangka. Namun, sangat janggal jika korban penyerangan yang rumahnya dirusak masa intoleran, secara cepat langsung ditetapkan sebagai tersangka. Rumah Pendeta Nico Lomboan di Sleman, Yogyakarta, 1 Juni diserang sekelompok massa dan melakukan berbagai perusakan.
Isu SARA
Secara terpisah, politikus PDIP, Eva Kusuma Sundari mengatakan, menyeruaknya isu SARA yang menyerang capres Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) belakangan ini karena lawan politik tidak mampu berargumen tentang visi dan misi. Mengedepankan isu SARA dalam berpolitik, menurutnya, merupakan kemunduran dalam demokrasi.
Direktur Eksekutif Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat, Asmono Wikan menegaskan, tabloid Obor Rakyat yang seluruh isinya fitnah terhadap Jokowi hanya diterbitkan untuk tujuan politik dari penyandang dana atau investor.
"Sasaran tembak media ini sebenarnya politis. Tidak ada investor yang mau menghabiskan uang dalam jumlah besar tanpa tujuan pasar. Kalkulasi tabloid Obor Rakyat jelas bukan kalkulasi bisnis, melainkan kalkulasi politik," katanya.
Pada bagian lain, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Boy Raffi Amar mengatakan, kepolisian akan membahas laporan tim hukum Jokowi-Kalla atas tabloid Obor Rakyat bersama Dewan Pers. "Karena mengandung kegiatan jurnalistik," katanya.
Selain laporan terkait tabloid Obor Rakyat, kata Boy, Mabes Polri akan menindaklanjuti laporan lainnya yang telah disampaikan tim hukum Jokowi-Kalla.
Dia mengatakan, dua kasus lainnya yang akan ditindaklanjuti terkait surat palsu Jokowi ke Kejaksaan Agung dan kasus pencemaran nama baik Jokowi yang diduga dilakukan salah satu tim sukses Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. (Ruhut Ambarita/Vidi Batlolone)
Hal itu menunjukkan Polri tidak melindungi minoritas, tetapi ikut mengacak-acaknya atas nama mayoritas. “Ini kebiasaan cara pandang dan cara bertindak polisi dalam menangani soal-soal kebebasan beragama,” kata Hendardi kepada SH di Jakarta, Selasa (17/6).
Alih-alih menindak pelaku kekerasan yang main hakim sendiri, Polri malah berbelok arah dengan urusan administrasi pendirian rumah ibadah. Polri, kata Hendardi, saat ini tidak sedang merawat kebebasan beragama, tetapi atas nama mayoritas sedang ikut mengacak-acak keberagaman.
“Polisi telah menghindar dari tugas utamanya yang justru harus merawat kebinekaan dan melindungi minoritas dari mayoritas sebagaimana hakiki dari HAM dan demokrasi,” tuturnya.
Terpisah, anggota Komnas HAM, Natalius Pigay, mengutuk keras sikap pihak kepolisian tersebut. Tindakan Polri tersebut menunjukkan negara gagal dan menyerah kepada kelompok-kelompok intoleran. “Saya sudah pengalaman kasus yang seperti ini. Biasanya kelompok-kelompok intoleran yang sudah jadi tersangka, mendesak polisi juga menersangkakan pihak lain," ujarnya.
Menurutnya, masalah izin rumah ibadah, seharusnya tidak serta-merta diselesaikan dengan proses pidana. Kepolisian seharusnya bisa menyelesaikan dengan cara persuasif. Penanganan pelanggaran izin penggunaan bangunan untuk rumah ibadah seharusnya juga tidak berdasarkan kasus yang muncul.
Jika polisi mau adil, mereka juga harus memeriksa perizinan seluruh rumah ibadah. "Kalau hanya setiap ada insiden baru diperiksa, itu namanya diskrimantif, apalagi jika langsung melakukan proses hukum pidana,” ucapnya.
Terhadap kelompok penyerang, kata Natalius, sudah tepat polisi menetapkan mereka sebagai tersangka. Namun, sangat janggal jika korban penyerangan yang rumahnya dirusak masa intoleran, secara cepat langsung ditetapkan sebagai tersangka. Rumah Pendeta Nico Lomboan di Sleman, Yogyakarta, 1 Juni diserang sekelompok massa dan melakukan berbagai perusakan.
Isu SARA
Secara terpisah, politikus PDIP, Eva Kusuma Sundari mengatakan, menyeruaknya isu SARA yang menyerang capres Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) belakangan ini karena lawan politik tidak mampu berargumen tentang visi dan misi. Mengedepankan isu SARA dalam berpolitik, menurutnya, merupakan kemunduran dalam demokrasi.
Direktur Eksekutif Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat, Asmono Wikan menegaskan, tabloid Obor Rakyat yang seluruh isinya fitnah terhadap Jokowi hanya diterbitkan untuk tujuan politik dari penyandang dana atau investor.
"Sasaran tembak media ini sebenarnya politis. Tidak ada investor yang mau menghabiskan uang dalam jumlah besar tanpa tujuan pasar. Kalkulasi tabloid Obor Rakyat jelas bukan kalkulasi bisnis, melainkan kalkulasi politik," katanya.
Pada bagian lain, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Boy Raffi Amar mengatakan, kepolisian akan membahas laporan tim hukum Jokowi-Kalla atas tabloid Obor Rakyat bersama Dewan Pers. "Karena mengandung kegiatan jurnalistik," katanya.
Selain laporan terkait tabloid Obor Rakyat, kata Boy, Mabes Polri akan menindaklanjuti laporan lainnya yang telah disampaikan tim hukum Jokowi-Kalla.
Dia mengatakan, dua kasus lainnya yang akan ditindaklanjuti terkait surat palsu Jokowi ke Kejaksaan Agung dan kasus pencemaran nama baik Jokowi yang diduga dilakukan salah satu tim sukses Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. (Ruhut Ambarita/Vidi Batlolone)
Sumber : Sinar Harapan
http://sinarharapan.co/news/read/140618191/Polri-Acak-acak-Minoritas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar, masukan yang sifatnya membangun blog ini.