Oleh: Nur Khalik Ridwan*
Gus Dur mengatakan: “Tanpa Pancasila, negara akan bubar.
Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah
gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan
Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya. Tidak peduli
apakah ia dikebiri oleh Angkatan Bersenjata atau dimanipulasi oleh umat
Islam”[1]
Apa yang menarik dari Gus Dur tentang Pancasila adalah dia
mewakili sejenis aspirasi dan penafsiran tentang Pancasila yang sangat
relevan dengan generasi baru, bahkan hingga saat ini. Dia mengoreksi
terhadap penafsiran dan implementasi Pancasila yang dilakukan rezim
Soeharto; dia juga mengisi kelemahan dari yang dilakukan rezim Soekarno;
dan yang terpenting dia menjembatani arus moderat untuk membawa Islam
bergandengan dengan kebangsaan.
Bagi muslim pembela negara Islam dan khilafah, Gus Dur adalah musuh;
karena dia adalah pemimpin muslim dengan begitu banyak pengikut yang
justru setuju terhadap Pancasila, bukan dasar Islam; bagi kalangan
sekular, dan nasionalis konservatif, Gus Dur juga tidak sepenuhnya
sejalan, karena Gus Dur menafsirkan Pancasila berbeda dengan mereka.
[2]
Saya akan memulai dengan pandangan Gus Dur tentang Pancasila, dan
setelah itu melihat kiprahnya dalam upaya mewujudkan negara Pancasila
itu, baik ketika masih di dalam gerakan rakyat maupun ketika ia menjadi
presiden.
Pandangan
Menurut Gus Dur Pancasila adalah dasar negara dan ideologi
[3]
bangsa, dan sebuah kompromi luhur. Pancasila adalah satu kesatuan di
antara sila-silanya, sehingga mereka yang menggunakannya tidak boleh
hanya mengambil segi-segi tertentu dari sila itu dengan membuang yang
lain. Posisinya, menurut Gus Dur Pancasila menjadi kerangka berfikir
yang harus diikuti dalam menyusun UU, kebijakan kenegaraan, dan
lain-lain yang berkaitan dengannya.
[4]
Penegakan yang demikian itu masih terus menerus harus diupayakan. Gus
Dur mengatakan: “Kami berjuang demi sebuah bentuk ideal pemerintahan
yang didasarkan pada Pancasila yang masih harus kami upayakan tegaknya.”
[5]
Kompromi politik yang menghasilkan Pancasila ini kemudian menurut Gus
Dur dikembangkan sebagai ideologi, yang menolak dominasi agama maupun
kekuasaan antiagama dalam kehidupan bernegara.”
[6]
Negara yang demikian adalah negara yang mencakup secara keluruhan dan
mengatasi berbagai golongan, sehingga ia bukan alat satu atau dua
golongan. Oleh karena itu, Indonesia menurutnya tidak akan pernah
menjadi komunis, Islam, dan atau nasionalis secara ketat dan total
sekalipun.
[7]
Tidak apa, menurut Gus Dur, Indonesia dengan begitu disebut sebagai “bangsa yang lunak” (
soft nation).
[8]
Karena dengan demikian, di dalam Negara Pancasila, seorang sekular
tidak akan punya arti apa-apa bila di dalam dirinya tidak menjadi
seorang yang religius; seorang agamis atau Islamis misalnya, juga tidak
akan bermakna bagi bangsa bila di dalam dirinya tidak memiliki jiwa
kebangsaan; demikian juga yang lain-lain. Ini terjadi karena menurut
Gus Dur Pancasila bukanlah negara agama dan bukan negara sekular, dan
dia mengatakan: “Kita menolak negara teokrasi dan sekularisme dengan
mengajukan alternatif ketiga berupa Pancasila.”
[9]
Karena Negara Pancasila bukan Negara Islam, bukan negara komunis, dan bukan nasionalis total, maka Pancasila mengimplikasikan:
pertama,
harus menjadi polisi yang adil antara kelompok, tidak boleh ada konsesi
yang berlebihan terhadap kelompok tertentu. Ini mensyaratkan
kepemimpinan yang negarawan; politikus yang mengabdi kepada rakyat;
dunia akademis yang tidak takut untuk mendiskusikan berbagai hal,
mendidik manusia Indonesia merdeka, yang tidak hanya mengabdi kepada
keuntungan material semata; dan keharusan adanya masyarakat sipil yang
kuat dan beradab.
Kedua, ada dinamisasi internal masing-masing kelompok untuk
bisa berinteraksi di tengah jalan raya bersama Pancasila, karena
Pancasila tidak bisa dan tidak boleh ditundukkan oleh satu atau dua
kelompok. Ini mensyaratkan, di masing-masing kelompok, ada kemauan yang
kuat untuk menerima yang baru yang lebih baik dengan tetap memelihara
hal lama yang baik, melakukan dinamisasi, sesuai dengan kebutuhan dan
tradisi masing-masing kelompok, untuk mengembangkan wawasan Pancasila.
Gus Dur sendiri melakukan ini dengan jalan melakukan dinamisasi Aswaja,
gerakan NU, dan kitab kuning agar bisa berinteraksi di tengah
kebangsaanm Indonesia.
Untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan Pancasila, menurut
Gus Dur tentu memiliki syarat-syarat yang tidak sederhana, dan
memerlukan kesanggupan semua warga bangsa untuk terlibat aktif dalam
mewujudkannya, yaitu:
- Masing-masing kelompok ikut mengembangkan wawasan Pancasila di dalam
melihat persoalan-persoalan kebangsaan, yang menuntut kelapangan dada
masing-masing untuk saling memberi dan menerima,[10]
tanpa harus mematikan kreativitas dan aspirasi masing-masing kelompok.
Keharusan ini dituntut karena Pancasila bukan ideologi yang ketat,
sebagaimana kita melihat komunisme, Kapitalisme, dan lain-lain ideologi.
Pancasila tidak memiliki tahapan-tahapan baku untuk mewujudkan
masyarakat Pancasila, sebagaimana tahapan-tahapan demikian ketika orang
belajar tentang komunisme, dan lain-lain. Oleh karena itu, proses
pembentukan masyarakat sebagaimana dicita-citakan Pancasila, hanya
mungkin bisa dilakukan bila masing-masing kelompok ikut bertangungjawab
mengembangkan wawasan Pancasila, dengan tetap memanfaatkan dan
menghidupkan tradisi masing-masing.
- Memperjuangkan demokrasi dengan jalan non-kekerasan, lewat
saluran-saluran demokrasi. Di dalam Pancasila menurut Gus Dur tidak
boleh ada kediktatoran[11]
sebagai anititesa dari demokrasi. Kediktatoran berarti pemerintahan
yang dikelola dengan cara militeristik bahkan meskipun pemerintahan itu
dikendalikan oleh sipil; pengambilan keputusan mengingkari proses
kehendak orang banyak, tidak pernah diuji secara terbuka, dan dicapai
melalui proses yang tertutup; dan kuatnya penolakan atas pluralitas
pandangan di dalam masyarakat. Di dalam negara Indonesia, menurut Gus
Dur tidak sepantasnya dikembangkan demikian itu, agar rakyat sendiri
yang memperoleh keuntungan. Gus Dur mengatakan: “Jika struktur kekuasaan
benar-benar diwakili oleh rakyat dan manusiawi serta demokratis, maka
semua rakyat di Indonesia akan diuntungkan.”[12]
Akan tetapi Gus Dur juga mengingatkan: “Bila Pancasila telah
memungkinkan semua rakyat Indonesia untuk bergabung dalam suatu negara
kesatuan yang nasionalis dan adil. Bukan Pancasila perse yang menjamin
demokrasi semata. Pancasila mensyaratkan toleransi sebagai dasar suatu
kenegaraan demokratis dan yang menegaskan bahwa pemungutan suara itu
diperbolehkan dan menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat dan hak-hak
asasi. Jika Pancasila dipakai pemerintah untuk membenarkan sistem yang
tidak demokratis, maka rezim itulah yang mengkhianati Pancasila.”[13]
- Perlu dikembangkan wawasan kemanusian yang beradab untuk membangun
bangsa, yang oleh setiap agama, dan Pancasila sendiri memberikan
penekanan yang kuat soal ini. Wawasan ini mengimplikasikan keragaman
pendapat dan pandangan sebagai hakekat kemanusiaan haruslah dihargai.
Dalam kerangka ini Gus Dur ikut andil dalam memperjuangkan HAM, dan
menurutnya di Indonesia tidak boleh ada pelanggaran HAM.[14]
Akan tetapi dalam penegakkan HAM, Gus Dur menginginkan sebuah
perspektif baru dalam menegakkannya. Perspektif baru ini melampaui
pendekatan liberalistis yang lebih menekanakan hak yuridis formal dari
perorangan; dan wawasan ekonomi yang lebih menekankan diri pada
pencarian sebab-sebab yang lebih mendasar dari terkikisnya hak tersebut.
Gus Dur dengan mengutip beberapa pakar mengusulkan pendekatan baru
dengan mempertimbangkan: aspek psikologis, tujuan pencapaian yang tidak
hanya berhenti di kebutuhan-kebutuhan politik dan ekonomis, dan Gus Dur
mengakui masih sulitnya mencari pendekatan yang pas untuk semuanya,
tetapi Gus Dur menyebutkan: “Masing-masing hanya akan berarti jika mampu
mengaitkan antara pendekatan liberal di bidang hak-hak yuridis dan
politis kepada pendekatan struktural untuk menjamin persamaan yang lebih
adil bagi semua warga masyarakat.”[15]
- Khusus dalam hubungan agama, Gus Dur mengatakan seperti dikutip di
atas: “kita menolak teokrasi dan sekularisme, dengan mengajukan
alternatif ketiga berupa Pancasila.” Di sini, Gus Dur melihat Negara
Pancasila dengan paradigm diferensial, dengan keharusan adanya pembagian
peran agama (masyarakat agama) dan negara. Gus Dur mengatakan: “pertama,
campur tangan pemerintah dalam kehidupan beragama harus dibatasi
jangkauannya, bahkan kalau mungkin dipersempit. Organisasi-organisasi
keagamaan yang dibuat oleh kelompok-kelompok yang turut duduk dalam
pemerintahan harus didorong untuk menjadi independen dari pemerintah.
Politisasi gerakan keagamaan harus dihindari sedapat mungkin. Kedua,
pembinaan kehidupan beragama sebaiknya mengambil bentuk dengan peranan
pihak pemerintah bersifat tidak langsung, bukannya seperti sekarang.
Hanya dalam hal-hal esensial saja pemerintah langsung melakukan kegiatan
keagamaan, seperti penyelenggaraan ibadah haji dan peradilan agama.
Hal-hal yang bersifat rutin dapat diserahan kepada organisasi-organisasi
dan lembaga-lembaga keagamaan yang telah ada. Ketiga, segenap
kegiatan pemerintah di bidang keagamaan haruslah diarahkan ke pemantapan
integrasi nasional kita, bukannya memperkuat status kecenderungan
segregasi agama yang masih ada sisa-sisanya dalam kehidupan sebagai
bangsa saat ini.”[16]
- Rekonsiliasi harus dilakukan, karena dasar kita adalah persatuan,
dan negara bukan untuk golongan tertentu. Gus Dur mengatakan: “Karenanya
kita harus memiliki kelapangan dada untuk menerima pihak-pihak lain
yang tidak sepaham dengan kita. Termasuk di dalamnya mantan Napol dan
Tapol PKI. Karena itulah penulis tidak pernah menganggap mantan anggota
PKI atau NII/TII sebagai lawan yang harus diwaspadai. Penulis justru
beranggapan bahwa mantan anggota PKI itu, sekarang sedang mencari Tuhan
dalam kehidupan mereka, karena apa yang saat ini mereka anggap sebagai
kezaliman-kezaliman, justru pernah mereka jalani saat berkuasa. Yang
kita perlukan adalah rekonsiliasi nasional bagi semua pihak. Pengertian
rekonsiliasi yang benar adalah terlebih dulu: perlu ada pemeriksaan
tuntas oleh pengadilan, kalau bukti-bukti yang jelas masih bisa dicari.
Di sinilah keadilan harus ditegakkan di bumi nusantara.”[17]
- Harus ada gerakan masyarakat yang kuat, untuk menjamin berjalannya
demokrasi dan diperhatikannya aspek-aspek kerakyatan yang dinaungi oleh
hikmah dan kebijaksanaan publik, dan ini mensyaratkan: pertama,
harus ada pemisahan, antara wilayah negara dan masyarakat. Gus Dur
menyatakan bahwa hal ini tidak ada dalam Orde Baru yang menganut visi
integralistis-militeristik yang dikeramatkan oleh ABRI berupa suatu
totalitas negara organis berbasis tentara dengan dwi fungsinya. Kedua,
harus ada pemisahan antara masyarakat sipil dengan pemerintah.
Pemisahan ini menurut Gus Dur berarti harus ada otonomi masyarakat sipil
dan memerlukan kebebasan dasar, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat,
berserikat, dan bergerak. Akhirnya Gus Dur menegaskan bahwa “pemisahan
kekuasaan di dalam pemerintah itu penting untuk menciptakan demokrasi
yang sejati, harus ada suatu sistem check and balance di dalam
pemerintahan. Gus Dur menegaskan bahwa kebijakan-kebijakan Orde Baru itu
dipengaruhi oleh militer tentang sekularisme integralistis; yaitu Orde
Baru secara politis adalah sekular, tetapi caranya tidak demokratis,
sehingga tidak membedakan antara wilayah negara dan masyarakat.
Sementara sekularisme demokratis memerlukan pemisahan antara kekuasaan
pemerintahan dan pembedaan yang jelas antara negara dan masyarakat
sipil.”[18]
- Di dalam negara Pancasila, Gus Dur juga menginginkan adanya keadilan
sosial dan kemakmuran bisa diciptakan, bahkan di tingkat dunia dimana
Indonesia harus berperanan di tengah globalisasi. Gus Dur mengatakan:
“Globalisasi ekonomi saat ini sering diartikan sebagai persaingan
bebas, ketundukan mutlak kepada penerimaan atas kebenaran tata niaga
internasional yang diwakili WTO. Globalisasi ekonomi juga dimaksudkan
untuk membenarkan dominasi perusahaan-perusahaan besar atas perekonomian
negara-nergara berkembang… Tidak dibenarkan adanya perkembangan pasar
tanpa campur tangan pemerintah, minimal untuk mencegah adanya
eksploitasi. Di sinilah peranan negara menjadi penting, yaitu menjamin
agar tidak ada manusia yang terhimpit oleh transaksi ekonomi. Prinsip
non-eksploitasi dalam sebuah transaksi ekonomi, menghendaki adanya
penolakan atas dominasi atas sebuah negara/perusahaan atas
negara/perusahaan lain. Globalisasi harus diubah dengan pengertian baru
yang lebih menekankan keseimbangan antara pemakai dan penghasil.
Penyesuaan antara pihak prosdusen dan konsumen, tentu menjadi titik
penyesuaian antara kepentingan berbagai negara satu sama lain di bidang
ekonomi dan perdangan.”[19]
Dalam bagian-bagian lain, Gus Dur menginginkan perlu dikembangkan
ekonomi kerakyatan, yang menurutnya adalah ekonomi yang berorientasi
kepada rakyat dan bangsa, dengan meminimalisir adanya tekanan
non-eksploitasi dalam transaksi ekonomi,[20] agar kemakmuran bisa diwujudkan, dan hal ini menjadi tujuan penting dalam penyelenggaraan negara.
- Pelaksanaan politik internasional yang berbasiskan pada kesejajaran
bangsa-bangsa untuk ikut menciptakan perdamaian, dengan tetap menghargai
kedaulatan dan kemandirian bangsa-bangsa yang ada dengan berbasiskan
pada kebajikan universal. Gus Dur menyebutkan bahwa diperlukan sebuah
etika global dimana keadilan harus menjadi pertimbangan mendasarnya; dan
harus adanya pemerintahan yang baik di masing-masing negara. Gus Dur
mengkritik adanya sikap dominasi dengan melupakan dan menihilkan
keadilan dan etika global, dari kelompok negara adikuasi kepada
negara-negara lain. Hal ini diperlukan karena di dunia saat ini, menurut
Gus Dur “merajalela sinisme yang dibawa oleh pertimbangan-pertimbangan
politik, dan menjadi satu-satunya alat pertimbangan global. Pertimbangan
itu akan melahirkan kepentingan negara-negara adikuasa saja, yang
akibatnya melumpuhkan negara-negara bukan adikuasa.”[21]
- Harus dikembangkan kebudayaan[22]
yang memperkuat nilai-niali keindonesia, yang menurut Gus Dur adalah:
“Pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa
memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau.” Ada tiga pilar
penting yang menjadi ciri nilai-nilai keindoneisaan ini, yaitu:
solidaritas sosial yang harus dipupuk dan dikembangkan; nilai yang
menampilkan kosmopolitanisme di mana warga Indonesia harus menjadi
bagian dari warga dunia untuk bisa hidup damai dan rukun; dan kesediaan
untuk mencoba gagasan-gagasan pengaturan masyarakat berlingkup luas,
tetapi berhadapan di sisi lain dengan rendah hati yang timbul dari
kekuatan dasar masyarakat tradisi untuk mempertahankan diri berhadapan
dengan tantangan dramatis kehidupan mereka. Pengembangan kebudayaan yang
relevan di dalam Negara Pancasila adalah, dengan 3 cara: pertama, mendesentralisasi pengembangan pola kehidupan yang seragam; kedua, dijaminnya hak dasar setiap warga untuk menampilkan kreasi tradisi dan budaya dalam arti seluas-luasnya; ketiga
pengembangan kreativitas budaya yang mengacu pada peningkatan rasa
kebersamaan sebagai bangsa dan persamaan kedudukan warga masyarakat di
muka UU.
Tentu saja, ada gagasan-gagasan lain yang banyak dalam pandangan dan
pemikiran Gus Dur. Hanya saja 9 hal itu, menurut penulis telah mewakili
aspek-aspek penting dalam kehidupan bernegara yang ingin dicita-citakan
Gus Dur dalam mengembangkan negara Pancasila. Dalam pelaksanaan atas
gagasan-gagasannya, juga dalam interaksi-interaksi antara gagasan dan
implementasi dalam gerakan yang dilakukan Gus Dur, dia pernah
berkesempatan mewujudkannya di dalam dua ranah: di kalangan NU ketika ia
menjadi ketua umum PBNU (1984-1989, 1989-1994, dan 1994-1999), yang
kemudian membawanya untuk berkiprah dalam gerakan proemokrasi melawan
ketidakadilan; dan ketika dia menjadi presiden (1999-2001), dengan
segala dinamika dan gejolaknya.
Gerakan Rakyat
Pandangan yang kita bicarakan ini, muncul dari seorang Gus Dur yang
lahir pada 7 September 1940 (tetapi di catatan sipil ditulis 4 Agustus).
Ayahnya adalah KH. Abdul Wahid Hasyim, salah seorang pendiri bangsa ini
yang terlibat dalam perumusan Piagam Jakarta, dan kemudian menyetujui
hasil-hasil PPKI yang menetapkan Pancasila sebagai dasar negara.
Kakeknya dari pihak ayah adalah KH. Hasyim Asya`ri, Rais Akbar, dan
pendiri NU, guru dari para ulama di Jawa dan sekitarnya; dan dari pihak
ibu adalah KH. Bishri Syansuri, pendiri NU dan menjadi Raim Am PBNU
(1971-1980). Pendidikan kecilnya dihabiskan di lingkungan pesantren,
karena tinggal di rumah kakeknya dari pihak ibu. Pada tahun 1950-an di
juga nyantri di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, kemudian kepada KH.
Khudori di Magelang. Di Yogyakarta dia sudah membaca buku-buku besar,
seperti
Das Kapital,
What Is to Be Done, dan lain-lain.
Pada tahun 1963 dia belajar ke Mesir, dan kemudian melanjutkan ke
Baghdad, dan melakukan kunjungan ke bebarap negara Timur Tengah dan
Eropa.
[23]
Sekembalinya di Jawa pada 4 Mei 1971, untuk sementara Gus Dur tinggal
dan mengajar di Jombang. Sejak tahun 1972 dia berceramah, berkeliling
Jawa, mengajar, dan yang terpenting menulis kolom dan artikel di banyak
media terkenal; dan kemudian menjadi penasehat tentang pesantren di
LP3ES, dan sering menghadiri seminar dalam lingkaran kiri internasional,
seperti dengan Randy David, Jomo K. Sundaram, Martin Khor, Surichai,
Suthi Prasechat, dan Sayed Husain Ali.
[24]
Dia ikut menyaksikan peristiwa Malari 1974 yang mengkritisi rezim
Soeharto dari Jombang. Pada tahun 1979 dia mulai berkiprah di NU sebagai
sekretaris Syuriyah PBNU, dan hal yang mengesankan pernah ke Maroko,
karena ikut membentuk fondasi pemikirannya.
[25]
Dia sudah pindah ke Jakarta, dan telah menyaksikan para pendukung
rezim, menyadari kekeliruan-kekeliruan rezim sehingga pada 9 Mei 1980
muncul Petisi 50, yang di dalamnya juga ada para eksponen Orde Baru
yang sadar.
[26]
Untuk menakut-nakuti para pengkritik rezim dan masyarakat agar tertib
di bawah kendalinya, sepanjang tahun 1983-1985 Soeharto menggunakan
jalan pintas melakukan Petrus (penembak misterius) terhadap orang yang
dicurigai preman, dengan tidak kurang 5000 orang terbunuh tanpa
pengadilan. Di tengah situasi ini pada tahun 1984 Gus Dur diangkat
sebagai ketua umum PBNU dalam Muktamar di Situbondo, dan setahun
sebelumnya sukses menjadi ketua panitia Munas Alim Ulama untuk
membicarakan asas Pancasila, dan NU menerimanya. Pada saat menjadi ketua
umum PBNU, ketika itu Orde Baru membuat proyek pembangun menyasar dalam
kasus Kedungombo, dan Gus Dur terlibat dalam gerakan para aktivis yang
memprotes, dengan menulis surat kepada Bank Dunia atas
penyelewenagan-penyelewengan dan ketidakadilan di Kedungombo. Langkah
ini membuat Soeharto yang baru saja senang karena NU kembali ke Khittah
dan menerima asas tunggal Pancasila, jadi sangat marah.
Setelah Muktamar NU tahun 1989, Gus Dur dipilih kembali sebagai ketua
umum PBNU, dan menandakan semakin kuatnya dukungan NU terhadap Gus Dur.
Pada saat yang sama dukungan terhadap Soeharto semakin kuat, baik dari
Golkar, ABRI, maupun kalangan sipil. Gus Dur kemudian mulai berdikusi
dengan anak-anak muda di kampus-kampus dan kepada orang-orang dekatnya
untuk mencermati 3 hal: politik presiden yang sudah terlanjur kuat;
politik ABRI yang dikokohkan dengan Dwi Fungsi; dan politik sectarian
yang tengah muncul. Di dalam internal NU, dia mulai mengampanyekan
dialog kesenjangan sosial akibat pembanguan yang tidak merata. Setelah
itu, dia sudah mulai menyindir pengganti pak Harto dengan cara
mengembalikan kepada Pak Harto sendiri, yang dimuat berbagai media
massa. Katanya: “Belum ada calon yang layak menggantikan Pak Harto?”
Lalu: “Mungkin saja Pak Harto masih sanggup sekali lagi”. Masak iya Gus,
tanya wartawan. Jawabnya: “Lha kalau Pak Harto sendiri mau, kita mau
apa.”
[27]
Pada pertengah September 1989 Soeharto membuat pernyataan bahwa
“siapa saja yang bertindak tidak konstitusional, tidak peduli jenderl,
walaupun politisi, akan saya gebuk,”
[28]
untuk memperingatkan kelompok kritis dan rakyat. Berbagai kalangan
Islam memberikan legitimasi dan dukungan kepada Soeharto dalam Petisi 21
pada 30 September 1989: tokoh-tokoh Ormas mendukung kebulatan tekad
memilih Soeharto untuk melanjutkan kepemimpinan setelah pemilu 1992, dan
beberap tokoh NU juga terlibat di situ. Ketika semu banyak orang
mendukung Soeharto, justru Gus Dur berkomentar dan dikutip berbagai
media: “Kebulatan tekad bukan urusan NU,”
[29] yang berarti benar-benar dianggap menantang Soeharto.
Tidak takut dengan ancamanSoeharto itu, pada 1990 kemudian Gus Dur
menemui Moerdiono, sebagai Sekneg, ketika kesenjangan sosial semakin
jelas dan lebar. Gus Dur membicarakan pentingnya pengusaha-pengusaha
besar untuk membantu dan berbicara dengan para pengusaha kecil, karena
kalau dibiarkan akan membahayakan. Gus Dur mengusulkan dialog nasional
tentang kesenjangan sosial di tingkat yang lebih luas, yang berarti
dengan menemui Sekneg, menurut rezim, dia sudah berani menyerang
kekuasaan.
Perjuangan Gus Dur tidak hanya melawan kekuasaan yang dzalim, tetapi
juga dalam membela kebebasan pers. Pada tahun 1990 terjadi kasus
Monitor, dan Gus Dur membela Arswendo ketika pada edisi 15 Oktober 1990
redaksinya memut judul berita yang menghebohkan: “Ini Dia 50 Tokoh yang
Dikagumi Pembaca”. Dalam urutan satu bertengger presiden Soeharto, dan
seterusnya sampai nama Nabi Muhmmad ada di urutan No. 11. Publik muslim
menjadi gempar, dan Gus Dur membela dalam hal kebebasan persnya, karena
sudah terjadi penyerangn terhadap kantor Monitor, dicabut SIUPP-nya,
atau izin penerbitannya. Oposisiny terhadap Soeharto diteruskan sampi
muncul ICMI (7 Desember 1990) yang dibekingi Soeharto, dan dia
mengkritik para pejabat termasuk presiden, karena mendukung aspirasi
Islam sektarian semacam ICMI. Di sini Soeharto sadar sudah mulai
mendapat perlawanan keras dari rakyat, dan berlindung kepada sebagian
umat Islam di balik dukungannya atas ICMI.
Melihat perkembangan ini Gus Dur kemudian mendirikan Fordem bersama
45 orang pada tanggal 16-17 Maret 1991, dan dia menjadi ketuanya.
Tujuannya untuk mendiskusikan dan memperjuangkan demokrasi di Indonesia.
Kiprahnya jadi semakin tidak disenangi penguasa Orde Baru. Langsung
saja panggung politik nasional gempar, dan Fordem dituduh sebagai
akal-akalan untuk menggoyang kepemimpinan nasional menjelang Pemilu 1992
dan SU MPR setelah itu. Untuk menandinginya, rezim mengorganisir
dukungan kalangan Islam dalam Doa Bersama dan Ikrar kesetiaan mendukung
Soeharto, yang disebut kelompok 37 ormas, agar tetap terpilih dan bisa
melanjutkan kepemimpinan Orde baru 1993-1998.
[30]
Untuk menggusurnya, pada Muktamar NU di Cipasung tahun 1994, Gus Dur
harus berhadapan dengan kekuatan rezim yang memanfaatkan orang-orang NU
prorezim, yang di antaranya adalah Abu Hasan. Gus Dur memenangkan
pertarungan yang melelahkan, meskipun akhirnya NU terbelah dua: KPPNU
dan PBNU.
[31]
KPPNU akhirnya mati sendiri karena dukungan terhadap Gus Dur dan PBNU
yang syah tetap kuat dan semakin besar. Sampai muncul gerakan reformasi
Gus Dur tetap konsisten menjadi oposan demokratik, dan ketika reformasi
pada tahun 1998 bergulir dia mash menjadi ketua umum PBNU dengan
peran-peran kritis yang dimainkan, meskipun beberapa kali dia harus
masuk rumah sakit. Pada tahun 1999 dia kemudian dipilih sebagai
presiden, menggantikan Habibie pasca Pemilu demokratis di masa
reformasi.
Dalam Pemerintahan
Gus Dur menjadi presiden selama 21 bulan (20 Oktober 1999-23 Juli
2001), dalam situasi yang sulit, terjadi ancaman kemerdekaan di papua,
Aceh, Riau, kerusuhan dan pemboman di mana-mana, dan masih banyaknya
unsure Orde Baru di birokrasi dan partai politik. Dalam kurun waktu
pendek ini, Gus Dur harus melakukan perombakan kabinet sampai dua kali,
karena kesulitan-kesulitan yang harus didera kabinetnya. Meski begitu,
ada beberapa hal yang diperbuat yang patut dicatat dalam mengembangkan
Pancasila dan UUD 45 sebagaimana yang ia pahami dan cita-citakan:
- Meletakkan dasar-dasar agar demokratisasi dan penguatan masyarakiat
sipil, dengan cara memberikan akses kepada masyarakat seluas-luasnya
untuk memperoleh informasi publik yang dibutuhkan, tidak boleh ada
sensor dan tidak boleh dimonopoli pemerintah. Untuk hal ini Gus Dur
membubarkan Deppen (Departemen Penerangan), yang di masa lalu menjadi
alat untuk mengakumulasi sumber-sumber informasi oleh pemerintah Orde
Baru, dengan gaya stalinis; dan adanya kebiasaan memeras uang dari
penerbit media.[32]
Karyawannya dijanjikan akan disalurkan ke instansi lain. Kebijakan ini
disambut antusias oleh pers, tetapi ditanggapi dengan demonstrasi oleh
para karyawan Deppen dan Depsos sampai mengadu ke DPR. Meskipun hal
seperti itu dalam konstitusi sebagai hak prerogratif presiden, tetapi
lawan-lawan politiknya di DPR kemudian menjadikannya sebagai bagian dari
amunisi penting untuk mengkritisi, sehingga ketika terjadi dialog
dengan DPR, ada sebagain yang emosional, dan dari sini Gus Dur
mengibaratkan DPR seperti TK (Taman Kanak-Kanak), yang kemudian menambah
geram sebagian anggota DPR.
- Melakukan reformasi di tubuh TNI, dengan cara menempatkan tentara
dan polri sesuai dengan fungsi asal dari sebuah tentara di dalam negara
demokrasi: tentara mengurus dan menjaga pertahanan; Polri menjaga
keamanan dalam negeri. Kebijakan yang dilakukan Gus Dur adalah
memisahkan Polri dan TNI yang sebelumnya disatukan dalam satu komando;
dan memberikan kontrol sipil atas tentara, dengan menempatkan orang
sipil di Departemen Pertahanan, yang sejak Orde Baru menjadi wilayah
militer.[33]
Pada saat yang sama Gus Dur juga tidak ingin melihat masyarakat
melecehkan militer sebagai institusi, akibat kebijakan-kebijakan yang
salah di masa lalu. Kebijakan mereformasi tentara untuk kembali ke
barak, tentu saja berimplikasi luas bagi institussi tentara sendiri,
kehidupan masyarakat, dan elit-elit tentara. Sudah sejak lama, tentara
memperoleh keuntungan dari peran politiknya dan peran bisnis-bisnis yang
dikelola mereka ke dalam berbagai yayasan. Dengan kebijakan itu, mau
tidak mau tentara harus menjadi profesional dan kembali ke barak, tetapi
hal ini, tentu tidak sederhana dan menimbulkan gejolak.
- Kehidupan demokrasi juga mensyaratkan adanya jaminan untuk bisa
berkiprah secara fair, bebas, dan tidak boleh ada ketakutan-ketakutan.
Hal ini, menjadi nihil pada zaman Orde baru, karena ada institusi yang
bernama Bakortanas Kepres No. 29 tahun 1988), Litsus (Kepres No. 16
tahun 1990), dan Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Penegakan Hukum
(zaman Habibi). Keduanya (Bakortanas dan Litsus) menjadi simbol penguasa
melakukan pengedalian secara militeristik untuk meneror lawan-lawan
politik rezim.[34]
Institusi ini akan menyeleksi pihak-pihak yang dianggap mengancam
rezim. Litsus akan mengancam siapa saja untuk diteliti riwayatnya apakah
termasuk anggota partai terlarang, membahayakan, dan seterusnya. Gus
Dur mencabut Bakortanas dan Litsus dengan Kepres No. 38 tahun 2000.
Kebijakan ini disambut secara baik oleh pegiat demokrasi, dan meskipun
dari kalangan militer tidak menentangnya, tentu saja, penghapusan itu
menjadikan sebagian militer melihat “terlalu banyak yang dilakukan Gus
Dur” dalam mengembalikan tentara ke barak, kalau bukan sebuah kemarahan
terpendam.
- Karena konsen dengan pandangan bahwa negara harus berada di atas
semua golongan, dan tidak boleh dimanfaatkan oleh hanya golongan
tertentu, dan negara harus menjamin tegaknya kemanusiaan yang adil dan
beradab, Gus Dur melihat Tap MPRS XXV/1966 telah melewati batas-batas
kemanusiaan yang adil dan beradab itu. Gus Dur mengusulkan agar Tap ini
dicabut, karena baginya, secara organisasi bisa saja PKI dilarang kalau
memang melanggar hukum, tetapi sebagai ajaran, Marxisme-leninisme boleh
dipelajari agar bangsa Indonesia mengetahui kelemahan komunisme itu
sendiri dan kelemahan-kelemahan dari kapitalisme; dan pelarangan sebuah
organisasi, tidak haru garis linier berarti semua anggota, simpatisan,
dan anak cucunya tidak boleh berpolitik. Gus Dur melihat penerapan atas
Tap ini di luar batas-batas kemanusiaan yang adil dan beradab, karena
bukan hanya pada PKI-nya sebagai organisasi, tetapi juga pada anak-anak
cucu dari PKI dan simpatisannya diperlakukan kurang manusiawi. Usulan
Gus Dur soal ini didukung para pegiat demokrasi, tetapi ditolak oleh
sebagian umat Islam dan para politisi senayan, sehingga tidak berhasil.[35]
Tentu saja Gus Dur sadar, bahwa sangat sulit mencabutnya di tengah peta
kekuatan politik MPR pada zamannya, akan tetapi dia menunjukkan sebagai
pemimpin haruslah seorang negarawan, meskipun dikutuk dan ditolak oleh
sebagian besar masyarat yang menentang, termasuk dari kalangan NU
sendiri.
- Dalam kehidupan beragama, Gus Dur menerbitkan kepres No. 6 tahun
2000 yang mencabut Inpres No 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan,
dan adat istiadat China. Dalam kepres itu Gus Dur mengakui hak-hak sipil
kalangan Konghucu, sehingga mereka kemudian bisa merayakan Imlek dan
beribadah di tempat ibadah mereka. Gus Dur melihat, zaman Orde baru
terjadi penindasan eksistensi penganut Konghucu: jangankan untuk
menjalankan agamanya, untuk merayakan imlek saja tidak bisa, termasuk
melestarikan tradisi barongsai, dan memakai nama-nama Thioghoa pun tabu.
Sebagai demokrat dan mempercayai Pancasila sebagai penuntut bernegara,
Gus Dur tidak mau tinggal diam. Dengan kebijakan itu, Gus Dur
menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus berani mengambil sikap untuk
menjalankan prinsip-prinsip bernegara yang menjamin kebebasan beragama,
meskipun harus bertentangan dengan pemerintahan sebelumnya.
- Di bidang otonomi dan gejolak daerah, seperti di Aceh dan Papua, Gus
Dur menunjukkan sikap yang tidak konfrontatif-militeristik,
mengedepankan cara-cara dialogis dan damai. Orang Papua mengenang Gus
Dur dengan kenangan yang manis, karena di dalam pemerintahannyalah, nama
Irian Jaya diganti dengan Papua, dan pendekatan yang dilakukan
mengedepankan non-militeristik.[36]
Di Aceh, Gus Dur berhasil menambah jeda kemanusian selama 3 bulan di
tengan tuntutan keras referendum dan keinginan militer garis keras untuk
tetap melanjutkan operasi militer; dan disyahkan pula UU otonomi khusus
Aceh, yaitu UU No. 18 tahun 2001, terlepas dari sisi
kelemahan-kelemahan dalam UU itu. Gus Dur sadar betul bahwa gejolak di
dua daerah ini memiliki kekhasan dan sejarah panjang, sehingga harus
diberi perhatian serius, karena di kedua daerah itu aspirasi kemerdekaan
cukup keras, dan Aceh sudah meminta referendum; dan pada saat yang
sama Gus Dur melihat dan meyakini Indonesia harus dijaga keutuhan,
kedaulatan, dan teritorialnya.
- Gus Dur juga ingin terlibat menegakkan HAM, meskipun tidak seluruh
kasus HAM bisa dipecahkan dan ditangani di dalam pemerintahannya, karena
begitu sulit dalam menegakkannya. Ini yang juga membuat kritik dari
para pendekar HAM tentang pemerintahan Gus Dur. Akan tetapi yang patut
dicatat, Gus Dur menyetujui dibentuknya KPP HAM (Komite Penyelidik
Pelanggaran HAM) untuk kasus Timor Timur, yang berarti ada upaya tetap
mengadili para jenderal yang dianggap diduga melanaggar HAM di Timtim,
dituntut dengan UU nasional, bukan pengadilan internasional. Pemerintah
Gus Dur tidak setuju mereka dibawa ke pengadilan internasional. Meski
begitu, persetujuan atas KPP HAM sangat tidak sederhana, karena ia harus
berhadapan dengan para petinggi militer dan mantan jenderal, khususnya
Wiranto.
- Gus Dur juga berkeinginan menegakkan perdamaian di dunia sebagai
amanah dalam pembukaan UUD 45 dan Pancasila. Dia mengarahkan politik
luar negerinya dengan tiga prinsip: menjaga jarak sama dengan semua
negara, hidup bertetangga baik, dan mewujudkan ”kebajikan universal”.
Dengan ketiganya perdamaian akan terwujud dengan basis yang kokoh.
Hanya saja, ketiganya ini, tidak sederhana dan mudah diwujudkan, karena
harus berhadapan dengan sikap ketidakadilan di dunia dan adikuasa dunia
yang sering memaksakan kehendaknya. Tujuan ini hanya mungkin dicapai
kalau peran Indonesai besar, dan peran itu hanya mungkin muncul manakala
nama baik Indonesia bisa dipulihkan terlebih dulu di dunia
internasional akibat krisis dan kasus Timor Timur. Gus Dur memulainya
dengan berkunjung ke berbagai negara, dengan cara diplomasi bilateral,
bukan multilateral. Diplomasi ini tentu harus mengunjungi negara-negara,
dan ini dijadikan alasan oleh lawan-lawan politiknya, bahwa Gus Dur
terlalu sering berkunjung ke luar negeri. Ada tiga hal penting yang
diperjuangkan Gus Dur dalam kunjungan-kunjungan itu: untuk memastikan
apakah dunia internasional mendukung kemerdekaan Papua dan Aceh, dan
agar negara-negara itu mendukung kedaulatan Indonesia meskipun ada
berbagai tuntutan kemerdekaan, karena Aceh sudah meminta referendum dan
tuntutan kemerdekaan menguat di Papua; hubungan bilateral perdagangan
agar ditingkatkan, seperti dengan Brazil yang langsung membicarakan soal
kedelai, yang sebelumnya untuk impoir kedelai harus lewat Amerika
Serikat; dan upaya menggalang negara-negara berkembang untuk
memperjuangkan penghapusan utang terhadap negara-negara maju, karena
utang-utang itu telah membangkrutkan negara-negera berkembang. Dalam
kerangka itu, Gus Dur ingin ada kekuatan-kekeuatan yang bisa jadi
alternatif menggerakkan kesimbangan dunia: menggagas Poros
Jakarta-Beijing-India; lalu mengusulkan dibentuk poros ekonomi
Singapura-China-Jepang-India; dan menggagas Forum Pasifik Barat yang
terdiri dari Indonesia, Timor Timur, Papua Niugini, Australia, dan
Selandia Baru. Sebelum semua terwujud, Gus Dur keburu dikritik
bertubi-tubi karena terlalu banyak melakukan lawatan ke luar negeri,
yang sebenarnya adalah kunjungan dalam kerangka diplomasi bilateral
tadi; dan keburu dijatuhkan SI MPR.
- Di bidang ekonomi, Gus Dur tidak sepenuhnya pro pasar total, tetapi
lebih menginginkan ekonomi kerakyatan agar bisa lebih dekat pada
keadilan sosial dan memperhatikan aspek kemanusiaan, dengan mengangkat
Menko Ekuin di luar garis Kelompok Berkely (yang menata desain Orde Baru
dan membangkrutkan bangsa Indonesia, tetapi mantra-mantranya selalu
dipelajari di setiap kampus Indonesia). Gus Dur mengangkat Kwik Kian Gie
dan kemudian diganti Rizal Ramli, yang dua orang ini dikenal kritis
terhadap garis ekonomi Kelompok Berkely. Untuk menenangkan kalangan yang
sudah terlanjur terbius oleh kelompok Barkely, Gus Dur memberikan
tempat mereka di DEN (Dewan Ekonomi Nasional) sebagai penasehat yang
dibentuk pada 28 Oktober 1999, diketuai oleh Emil Salim, dibantu
Subiyakto Cakrawerdaya (wakil), Sri Mulyani Indrawati (sekretaris),
Anggito Abimanyu, Sri Adiningsih, dan Bambang Subianto (ketiganya
anggota). Tentu saja capaian-capain tim ekonominya bagi keadilan sosial,
pengurangan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan, dan lain-lain bisa
diperdebatakan, dan ini adalah soal lain.[37]
Bahwa Gus Dur mengangkat mereka yang ada di luar garis Kelompok
Barkeley saja, sudah merupakan keberanian yang luar biasa di tengah
aurus kuat cetak biru ekonomi unsur-unsur Orde Baru pro kelompok
Barkeley.
Hal-hal lain mungkin masih bisa didaftar dan bisa didiskusikan,
tetapi sembilan pokok itu merupakan bagian penting di mana garis
pemerintahan Gus Dur bisa dilihat, dicermati, dan dikaji lebih lanjut.
Dalam umur pendek, pemerintah Gus Dur berani melakukan hal-hal penting
di tengah situasi yang kacau dan ancaman kemerdekaan di berbagai daerah
menguat; dan ketidakkompakan kabinet karena hasil dari kompromi politik.
Terobosan dan kebijakan-kebijakannya itu tidak berumur lama, karena Gus
Dur sendiri dilengserkan oleh SI MPR dengan alas an negara dalam
keadaan bahaya.
[38] Akan tetapi Gus Dur sendiri tidak datang di acara SI MPR karena dia sendiri mengeluarkan dekrit presiden.
[39]
Hanya saja, yang penting, bahwa Gus Dur menerima real politik dan
tidak melakukan pengonsolidasian melawan lawan-lawannya dengan
kekerasan, meskipun tetap MPR dan DPR dianggap melanggar UUD 45. Dia pun
kembali ke masyarakat sebagai bagian dari pengerak masyarakat yang
kritis dengan ketidakadilan, dan terus berkomitmen untuk menjaga
Pancasila dan UUD 45, sebagai oposan demokratik. Dia akhirnya meninggal
pada 30 Desember 2009 dan di makamkan di pemakaman pesanrten Tebuireng
Jombang, diiringi ribuan penta’ziyah dan penghormatan masyarakat di
penjuru Indonesia. []
*) Nur Khalik Ridwan, pegiat GusDurian, dan penulis buku Gus Dur dan negara Pancasila.
sumber: http://gusdurian.net/pancasila-dan-gus-dur/#respond