Buruh Desak Pemakzulan SBY
Saiful Rizal | Senin, 04 Maret 2013 - 13:20:25 WIB
: 138
(dok/antara)
Buruh adalah elemen masyarakat yang paling dirugikan dengan adanya UU BPJS.
JAKARTA – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai terbukti
menindas rakyat dengan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 12
Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan dan Peraturan Pemerintah (PP)
tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Melalui dua aturan itu, pemerintah hanya membayar premi jaminan
kesehatan sekitar 96,4 juta rakyat, sedangkan mayoritas lainnya
diwajibkan untuk membayar iuran sendiri. Sejauh ini, ada tiga usulan
besar PBI. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengusulkan Rp 15.483,
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Rp 22.201, dan Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN) Rp 27.000.
Untuk buruh dikenakan kewajiban pembayaran iuran melalui persentase gaji. Aturan ini mengubah aturan sebelumnya, di mana pengusaha membayar jaminan kesehatan buruh secara keseluruhan, sedangkan buruh tidak dipungut iuran sama sekali.
Oleh karena itu, serikat buruh yang tergabung dalam Front Nasional Tolak
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) saat ini terus
menyosialisasikan kepada seluruh buruh di Tanah Air agar menolak
keberadaan UU BPJS. UU itu mencederai perjuangan buruh selama ini.
"Kami terus melakukan konsolidasi antarkelompok-kelompok buruh dan seluruh buruh di Indonesia. Tujuan kami adalah terus mendesak Presiden SBY agar mengeluarkan Perppu (Peraturan Pengganti Undang-Undang) BPJS," kata Sekjen Front Nasional Tolak BPJS Joko Heriyono saat dihubungi SH, Senin (4/3).
Joko mengatakan, untuk memenuhi tuntutan besar mereka itu, buruh mempunyai dua senjata besar, yakni siap menarik dana Jaminan Hari Tua (JHT) di PT Jamsostek yang jumlahnya sekitar Rp 100 triliun. Selain itu, buruh juga akan mendesak DPR agar memakzulkan Presiden SBY. Menurutnya, semua itu akan diputuskan setelah peringatan Hari Buruh Sedunia pada 1 Mei mendatang.
Isi dalam pasal di UU BPJS tersebut banyak yang dianggap dapat merugikan buruh dan sangat mendiskriminasi buruh. UU itu bukan jaminan sosial yang diinginkan buruh, sebaliknya, menjadi alat asuransi sosial karena buruh dan masyarakat diwajibkan membayar iuran.
Dia menambahkan, buruh adalah elemen masyarakat yang paling dirugikan dengan adanya UU BPJS ini. Ini karena selama ini, dalam UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, iuran Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) sepenuhnya ditanggung pengusaha dengan besaran iuran 3 persen dari upah sebulan untuk buruh lajang dan 6 persen dari upah sebulan bagi buruh berkeluarga.
"Tapi dengan berlakunya UU BPJS. Lalu di mana tanggung jawab negara yang berkewajiban menyejahterakan rakyatnya?" kata dia.
Sesuai dengan UU, sistem jaminan sosial nasional yang dikelola BPJS akan berjalan pada 1 Januari 2014. Pemerintah akan melakukan percobaan di tiga kota, yakni Jawa Barat, Gorontalo, dan Aceh pada pertengahan tahun ini.
Namun, di sisi lain, distribusi Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) yang saat ini dirasakan manfaatnya oleh rakyat kacau. Di
sejumlah daerah ditemui fakta, orang miskin tidak mendapatkan Jamkesmas.
Bahkan, ada juga pasien miskin yang kini masih dalam perawatan sudah
tidak lagi mendapatkan Jamkesmas.
Dirjen Bina Upaya Kesehatan (BUK) Akmal Taher saat menemui anggota Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) dari berbagai provinsi mengatakan, untuk mengatasi persoalan itu, Kemenkes memperpanjang masa berlaku Jamkesmas yang lama selama satu bulan ke depan. Kemenkes juga akan meningkatkan sarana dan prasarana kesehatan hingga lima tahun ke depan. (Tutut Herlina)
Sumber : Sinar Harapan
http://www.shnews.co/detile-15811-buruh-desak-pemakzulan-sby.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar, masukan yang sifatnya membangun blog ini.