18.02.2012 11:55
Penulis : Junaidi Hanafiah/Deytri Aritonang/Saiful Rizal/Fransisca Ria Susanti/Sihar Ramse
[ 2 Komentar ]
Bayangan bahwa Aceh tidak bersahabat dengan masyarakat
nonmuslim ternyata salah besar. Provinsi yang dikenal sebagai wilayah
yang ketat memberlakukan syariat Islam ini ternyata menyimpan toleransi
yang luar biasa.
Efendi, pria asal Jakarta, mengaminkan itu. Selesai bekerja
di kantor, Efendi sering duduk di warung kopi untuk melepas lelah atau
bercengkrama dengan teman-temannya.
Kebiasaan duduk di warung kopi telah dilakoni Efendi sejak
delapan tahun lalu, setelah perusahaan tempat dirinya bekerja
mengirimkan dirinya ke Banda. Ia sebelumnya dirinya bekerja di Medan,
Sumatera Utara, dan sejak 2003 dikirim ke Aceh.
Teman-teman Efendi di warung kopi sebagian besar adalah
orang Aceh, agamanya pun berbeda dengan dirinya. Sebagian besar
teman-temannya beragama Islam, sementara dirinya beragama Kristen.
"Sedikit pun tidak ada kendala saat bergaul dengan orang
Aceh. Di Aceh, khususnya di Banda Aceh, masyarakat yang berbeda agama
saling menghormati," kata Efendi ketika ditemui
SH di salah satu warung kopi di Banda Aceh, Kamis (16/2) sore.
Bagi Efendi, hidup di Aceh sangat berbeda dengan di daerah
lain, karena di Aceh, meskipun diberlakukan syariat Islam, penganut
agama lain tetap bisa menjalankan ibadah dengan nyaman. Selain itu,
warga Aceh juga sangat menghargai penganut agama lain.
Menurutnya, meski penganut agama lain selain agama Islam
jumlahnya sangat kecil di Aceh, masyarakat minoritas tersebut tidak
pernah diperlakukan sewenang-wenang atau tidak adil oleh warga Aceh.
"Anak-anak saya yang sudah SMA dan SD tidak pernah mengeluh
atau melapor kepada saya kalau mereka dilecehkan anak-anak lain. Bahkan
teman-teman anak saya sering ke rumah untuk mengerjakan tugas sekolah.
Orang tua mereka juga tidak pernah melarang, padahal keluarga saya
beragama Kristen," ia bercerita.
Efendi menyebutkan, tempat ibadah umat Katholik dan umat
Islam di Banda Aceh letaknya juga tidak berjauhan. Jaraknya hanya
sekitar 150 meter dan hanya dipisahkan sungai.
Namun hal tersebut tidak pernah dipertentangkan. "Gereja
Hati Kudus dan Masjid Baiturrahman letaknya sangat berdekatan, tetapi
tidak pernah ada masalah saat beribadah. Letaknya juga sama-sama di
tengah kota," ujarnya.
Desi Susanti, penganut Kristen lainnya, menuturkan,
meskipun dirinya sekolah di SMA 1 Banda Aceh yang siswanya mayoritas
Islam, dirinya tidak pernah mendapatkan perlakuan yang tidak
menyenangkan dari teman-temannya.
"Teman-teman saya sangat menghargai agama yang saya anut.
Mereka juga tidak segan-segan menolong saya saat saya butuh
pertolongan," kata siswa kelas dua SMA 1 Banda Aceh ini.
Menurutnya, semua guru di sekolah tempat dirinya menuntut
ilmu juga tidak pernah berlaku tidak adil terhadap dirinya. "Sejak SD
hingga SMA saya sekolah di sekolah umum yang mayoritas siswanya beragama
Islam, namun saya tidak sekali pun diperlakukan tidak adil atau
diganggu karena agama saya berbeda," katanya.
Salah seorang pemimpin pesantren tradisional di Aceh Besar,
Teungku Idris Umar, menyebutkan, karakter orang Aceh berbeda dengan
masyarakat Indonesia lainnya. "Orang Aceh sangat toleran dengan
masyarakat yang beragama lain selama mereka tidak mengganggu atau
merusak tatanan hidup masyarakat Aceh, baik itu agama atau adat
istiadatnya," katanya.
Menurutnya, masyarakat Aceh meyakini masyarakat agama lain
yang hidup berdampingan dengan orang Aceh, selama mereka tidak
mengganggu, harus dilindungi.
Isi Renungan Natal
Lain lagi cerita di Klaten, Jawa Tengah (Jateng). Udi
Prasojo, seorang muslim warga Pluneng, Kecamatan Kebonarum, Klaten, Jawa
Tengah pada misa Natal 24 Desember tahun lalu pernah didaulat Romo
Kirjito Pr mengisi sepenggal renungan mengenai kebersihan lingkungan di
wilayah tersebut.
Pada saat itu Udi menjadi salah satu warga yang turut
mengamankan jalannya ibadah misa Natal. Sontak saja dia terkejut saat
Romo Kirjito memanggilnya. Udi kaget karena diminta berbicara di hadapan
sekitar 2.000 umat di Gereja Katolik Paroki Roh Kudus Kebonarum.
Pada kesempatan tersebut, Udi diminta menceritakan
pengalamannya menyelamatkan kebersihan sungai dan saluran irigasi dari
serbuan sampah rumah tangga setempat.
"Rumah saya berada tepat di samping saluran irigasi. Oleh
karena itu, saya otomatis setiap hari melihat sampah-sampah memenuhi
saluran tersebut. Akhirnya saya dan warga berinisiatif membersihkannya.
Tentu saja saat membersihkan sampah tersebut saya menggerutu. Tetapi
lama-lama saya berpikir untuk apa menggerutu? Saya lebih baik
berzikir,'' tuturnya.
Saat menuturkan pengalamannya tersebut, Udi pun mengucap
bacaan zikir itu. "Subhanallah... subhanallah... Itu yang selalu saya
ucapkan sebagai pengganti kata makian dan gerutuan yang sering kali
keluar dari mulut saat menyingkirkan sampah-sampah tersebut," katanya
seperti dikutip
Antara.
Ribuan umat di gereja tersebut langsung bertepuk tangan
mendengar penuturan Udi. Tidak hanya Udi yang didaulat menuturkan
pengalaman dan perjuangannya membersihkan sungai dan saluran irigasi di
sekitar gereja, ada dua orang lagi yang menyampaikan hal serupa.
Toleransi juga muncul di Kabupaten Semenep, sekitar 100 km
dari Sampang, Madura, Jawa Timur. Gambar nyata kerukunan di kabupaten
berusia 741 tahun tersebut tampak di Desa Pabean, Kecamatan Kota.
Di Jalan Slamet Riadi, desa itu berdiri teguh dan menjadi
lambang toleransi rumah ibadah tiga agama. Ketiganya terletak
berdekatan, berdampingan. Berdiri di sisi paling Barat, Masjid Baitul
Arham. Masjid itu berdiri tepat di pinggir kali dan butuh sarana
jembatan untuk menempuhnya.
Di seberang kali dan jalan raya, sekitar 50 meter ke arah
timur masjid itu, terdapat Gereja Katholik Maria Gunung Karmel. Meski
gereja tampak tertutup, tidak tampak jejak intimidasi terhadap jemaat
gereja pada bangunan gerejanya. Tepat di samping gereja, berdiri
kompleks Sekolah Sang Timur yang merupakan milik sebuah Yayasan Katolik.
Lia (27), warga Desa Pabean yang juga jemaat gereja Maria
Gunung Karmel mengakui, meski merupakan warga minoritas di daerah itu,
tidak pernah ada intimidasi dari kaum mayoritas terhadap kaumnya.
Dia mengatakan, tidak pernah ada kekhawatiran dan ketakutan
yang merasukinya dalam menjalankan ibadah. "Puji Tuhan, toleransi
beragama di sini (Sumenep) cukup kuat," katanya.
Di Bojonegoro, Bupati Suyoto mengaku kehidupan antarumat
beragamanya di daerahnya sangat moderat dan lebih longgar. Ia, sebagai
aktivis Muhammadiyah, bahkan kadang diundang untuk mengisi khotbah di
gereja. Ia juga sering berkunjung ke kelenteng.
Soal kebebasan mendirikan tempat ibadah, menurut Suyoto,
memang ada kasus sebuah gereja yang belum mendapat izin berdiri di
daerahnya. Ini karena yayasan tersebut awalnya mendirikan perkantoran
dan kemudian hendak mendirikan gereja di perkantoran tersebut.
Suyoto secara pribadi tidak ada masalah, tetapi karena gaya
berkomunikasi sejumlah orang di yayasan tersebut kurang bisa diterima
masyarakat sekitar, masih terjadi penolakan. “Ini soal
trust building. Jadi harus dibangun silaturahmi terus menerus,” katanya, saat berkunjung ke kantor redaksi
SH baru-baru ini.
Hal sama juga terjadi saat Suyoto harus membatalkan izin
sebuah ormas Islam Majelis Tafsir Alquran yang hendak menggelar tablig
akbar di alun-alun karena penolakan dari Nahdlatul Ulama. “Soal prosedur
tidak ada masalah, tetapi sosialnya yang tak bisa,” ujarnya.
Lain lagi di Depok, Jawa Barat. Di sana terdapat rumah
ibadah yang letaknya berdampingan di sekitar wilayah Jalan Kerinci Raya,
Depok Timur. Hal ini telah menjadikan wilayah ini bagaikan miniatur
Indonesia dengan falsafah Bhineka Tunggal Ika-annya.
Selain masjid yang ada di sekitar Jalan Kerinci, di situ
terdapat Gereja Katholik Santo Markus Depok II Timur, Huria Kristen
Batak Protestan (HKBP) Depok II Timur, dan Pura Tri Bhuana Agung.
Letaknya berdampingan, berhadapan, ataupun tak jauh dari setiap rumah
ibadah pemeluk umat agama yang berbeda ini.
Rumah-rumah ibadah yang sudah berdiri sejak 1980-an itu
telah lama berinteraksi dengan para warga. Di depan HKBP saja, ada yang
membuka warung kopi, menjual bakso, hingga tempat juru parkir. Apalagi,
di sampingnya, ada kantor pos yang sudah tiga puluh tahun berdiri.
Mereka semua adalah bagian dari warga di Jalan Kerinci.
Tidak jarang, baik yang akan beribadah di pura mau pun yang
menunggu kebaktian di HKBP atau gereja Katholik, mampir membeli rokok
ataupun teh botol dan minuman ringan di warung tepat di samping pura.
Kadang terlihat juga anak-anak ataupun orang tua jemaat dari gereja
singgah dan mampir ke halaman di depan pura untuk menyaksikan pepohonan
di taman yang terlihat asri itu.
Ibadah Berdampingan
Secuil keharmonisan yang terjaga lebih dari setengah abad,
dalam bentuk dua tempat ibadah umat agama berbeda yang berdampingan,
tampak di Jalan Enggano, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Gereja Masehi
Injil Sangihe Talaud Mahanaim dan Masjid Al-Muqarrabien berdiri
berdampingan di sana.
Dua tempat ibadah tersebut sudah berdiri berdampingan,
hanya dipisahkan tembok sebagai pembatas kedua bangunan tersebut. Meski
berbeda keyakinan, kedua tempat ibadah itu seperti tampak serasi dengan
warna dominan putih dan merah.
"Kalau berdiri sendiri-sendiri, tanpa ada bangunan di
sebelahnya, gereja tidak ada masjid, atau sebaliknya, terlihat kurang
bagus," kata Dikson Bawuna, Wakil Ketua Jemaat Gereja Mahanaim, saat
berbincang dengan SH
di ruang pengurus Gereja Mahanaim, Jakarta Utara, Kamis (16/2).
Dikson menceritakan bahwa bukan hanya bangunannya yang
berdampingan, namun jemaat dan jemaah masing-masing tempat ibadah itu
pun akrab menjalin kebersamaan.
"Saat tragedi Tanjung Priok pada 1984, mereka (jemaah
masjid) yang menjaga gereja ini. Mereka sempat bilang kepada puluhan
orang yang mau bakar gereja ini, kalau mereka mau bakar gereja, bakar
masjid dulu, langkahin mereka dulu. Jadi, mereka yang sebenarnya
berjuang pada waktu peristiwa Tanjung Priok dulu. Di sini aman karena
mereka yang jaga,” tuturnya.
Suasana saling menjaga masih terlihat hingga kini,
khususnya setiap Natal dan Tahun Baru. Umat muslim dari masjid maupun
warga sekitar pasti ikut membantu menjaga keamanan gereja.
Ketua Jemaat Gereja Mahanaim, Tatalede Barakati,
menambahkan, sejak awal dibangunnya gereja tersebut pada 1957 dan masjid
pada 1959, kegiatan ibadah di dua tempat tersebut tidak pernah saling
mengganggu dan terganggu. Dicontohkan perempuan yang akrab disapa "oma"
ini adalah dihadapkannya pengeras suara masjid ke arah barat. Gereja itu
berada di sisi timur masjid.
Gereja Mahanaim dan Masjid Al-Muqarrabien, Oma menambahkan,
memang seperti saudara sekandung. Dengan letaknya yang berdempetan,
menggunakan satu tembok penghubung, tidak pernah terjadi masalah apa pun
dari dua pengurus tempat ibadah itu.
Layaknya saudara, nilai toleransi antara keduanya
benar-benar ditanamkan, bukan hanya antarpemimpin kedua tempat ibadah,
tetapi juga ditularkan kepada para jemaat gereja dan jemaah masjid. Satu
bentuk toleransi yang tinggi, yang terjadi antara keduanya terlihat
ketika pihak gereja membatalkan jadwal kebaktian pada Minggu pagi karena
bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri.
Begitu juga dengan pihak Masjid Al Muqarrabien, yang juga
selalu menanamkan nilai-nilai toleransi dalam setiap kegiatan pengajian
maupun ceramah-ceramah agama lainnya.
"Masjid ini dibangun dengan fondasi kebersamaan yang sangat
kokoh, dan nilai-nilai itu harus tetap dijaga sampai kapan pun," kata
Haji Tawakal (38), Ketua Masjid Al Muqaarabien, saat berbincang dengan
SH, Kamis (16/2).
Menurutnya, berbagai cara dilakukan demi menjaga kerukunan
antara dua umat beragama, muslim dan Kristen. Karenanya, saat berada di
lingkungan Gereja Mahanaim dan Masjid Al-Muqarrabien terasa sejuk.
Gereja dan masjid berdampingan, berbagi tembok penghubung. Nyanyian
gereja dan azan bisa saling bersahutan tanpa seteru.
Menurutnya, pihak gereja tidak segan membantu ketika pihak
masjid melakukan khitanan massal. Begitu juga dengan kegiatan-kegiatan
masjid lainnya, pihak gereja dengan cepat dan kepedulian yang besar,
membantu pihak masjid.
Dia mengatakan, itu seperti arti kata Al-Muqarrabien, yang
mengandung arti saling menghormati, menjaga kesatuan dan persatuan.
Dengan begitu, para jemaah di masjid itu, kata Tawakkal, dapat terus
hidup berdampingan tanpa ada masalah apa pun.
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/content/read/wajah-plural-indonesia/