Mengenai Saya

Foto saya
Shio : Macan. Tenaga Specialist Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar. Trainer Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar Negara Asing. Pengajar part time masalah Surveillance Detection, observation techniques, Area and building Analysis, Traveling Analysis, Hostile surveillance Detection analysis di beberapa Kedutaan besar negara Asing, Hotel, Perusahaan Security. Bersedia bekerja sama dalam pelatihan surveillance Detection Team.. Business Intelligence and Security Intelligence Indonesia Private Investigator and Indonesia Private Detective service.. Membuat beberapa buku pegangan tentang Surveilance Detection dan Buku Kamus Mini Sureveillance Detection Inggris-Indonesia. Indonesia - Inggris. Member of Indonesian Citizen Reporter Association.

Kamis, 02 Februari 2012

BIN Tengarai “Social Distrust”


02.02.2012 09:47

BIN Tengarai “Social Distrust”

Penulis : Editorial Sinar Harapan   

(foto:dok/ist)
Berbagai gangguan keamanan yang merebak di sejumlah daerah menjadi pokok pembicaraan dalam rapat dengar pendapat antara Komisi I DPR dan Badan Intelijen Negara (BIN), Selasa.
Latar belakang masalahnya sangat beragam, namun hampir seluruhnya melibatkan massa yang sangat banyak, menimbulkan korban, serta kerugian materiil yang cukup besar.
Pemerintah diminta mewaspadai dan mengambil langkah-langkah yang memadai agar kasus-kasus serupa tidak terulang di kemudian hari. Tantangan yang dihadapi sangat besar mengingat kecenderungan eskalasi politik yang akan terus meningkat menjelang Pemilu dan Pilpres 2014.
BIN dan DPR mencatat sekurang-kurangnya ada empat hal yang menjelma menjadi aksi massa dan mengganggu keamanan dalam negeri. Pertama, makin meluasnya gejala amuk massa.
Dari sisi geografis eskalasinya makin meningkat, terutama dari sisi mobilisasi massanya. "Ini faktor penyebabnya beragam. Nah yang terakhir mengemuka adalah isi-isu pertanahan," kata Ketua Komisi I Mahfudz Siddik.
Kedua, fenomena hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa gerakan massa.
Mereka bukan hanya tidak mempercayai lembaga-lembaga tersebut, melainkan berani melakukan perlawanan dan penyerangan, seperti yang terlihat pada aksi perusakan dan pembakaran sejumlah rumah pejabat dan gedung-gedung pemerintahan.
Ketiga, munculnya budaya kekerasan yang makin marak, dan informasinya dengan cepat menyebar luas melalui berbagai media. Kenyataan ini sangat mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat luas sehingga dikhawatirkan bisa menyebabkan berkembangnya sikap permisif terhadap tindakan kekerasan.
Keempat, efektivitas pemerintah dalam menangani berbagai problem masyarakat sangat lemah. Sering kali pemerintah pusat dan daerah sangat lamban mengantisipasi persoalan yang muncul, demikian pula pada penanganannya. Kasus kerusuhan di Bima, Nusa Tenggara Barat, menjadi contoh nyata soal ketidakefektifan ini.
Catatan BIN dan Komisi I DPR tersebut sebenarnya merupakan pembenaran atas berbagai sinyalemen dan penelitian beberapa lembaga survei belakangan ini.
Ketidakpuasan publik terhadap lembaga-lembaga negara terus merosot sehingga tidak seharusnya disikapi dengan pencitraan dan pembelaan diri. Politik pencitraan yang dikedepankan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) justru kontra produktif terhadap persepsi publik tersebut.
Rakyat melihat dengan mata telanjang cara penanganan masalah yang berbelit-belit dan tidak jelas ujung pangkalnya, misalnya pada skandal Bank Century, rekening gendut perwira tinggi Polri, mafia peradilan, korupsi di Kemenpora dan Kemenakertrans, dan berbagai kasus lainnya.
Rakyat melihat SBY tidak tegas memimpin gerakan antikorupsi seperti yang pernah ia janjikan beberapa tahun lalu. Rakyat justru melihat upaya cuci tangan dan pembelaan diri secara berlebihan sehingga menimbulkan tanda tanya, kebingungan, dan ketidakpercayaan.
Praktik penyimpangan di pemerintah pusat ditiru begitu saja oleh aparat di tingkat daerah, tak terkecuali lembaga peradilannya. Tingkah laku aparat Polri juga makin tidak terkendali, ringan tangan, dan tak segan menembak mati rakyatnya sendiri, seperti yang terjadi di Mesuji, Papua, dan Bima.
Tekanan yang bertubi-tubi itu menimbulkan keberanian dan tekad untuk melawan, sekalipun harus menabrak aturan dan rambu hukum.
Kenyataan ini bisa berdampak luas dan sangat merugikan. Demikian halnya dengan aksi-aksi buruh yang semakin berani menuntut hak dengan menggalang pemogokan. Dampaknya bukan sekadar kerugian materiil dan ekonomis, melainkan bisa politik.
Karena itu, analisis BIN dan Komisi I DPR perlu disikapi dengan jernih. SBY harus berlapang dada menerima kritik, mengambil langkah-langkah yang tepat dan proporsional untuk mengurai keadaan agar tidak bertambah rumit. Bila tidak, situasi akan mengarah pada ketidakpercayaan umum (social distrust), suatu keadaan yang sangat tidak kita kehendaki bersama.
Pengalaman kita pada 1998, yang juga diawali social distrust, terasa sangat pahit dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memulihkannya. Kita tidak boleh terperosok pada lubang yang sama. Ini tidak akan terjadi bila kita arif dan memahami demokratisasi telah mendorong rakyat berani memperjuangkan keadilan dan hak-hak politiknya.
sumber :http://www.sinarharapan.co.id/content/read/bin-tengarai-social-distrust/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar, masukan yang sifatnya membangun blog ini.

Cari Blog Ini