: 276
(dok/ist)
Kelompok militan makin agresif. Terjadi 264 kasus kekerasan agama dalam setahun.
JAKARTA - Pemerintah Indonesia di bawah
kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dinilai gagal melindungi kaum
minoritas dari kekerasan dan intoleransi atas nama agama.
Ini
terbukti makin agresifnya serangan gerombolan militan dan intimidasi
yang mereka lakukan terhadap kelompok minoritas penganut agama,
seperti Ahmadiyah, Muslim Syiah, dan kelompok Kristen.
Laporan Human Right Watch (HRW) yang
dirilis di Jakarta, Kamis (28/2), mengungkapkan hal tersebut.
Direktur HRW
di Asia, Brad Adams mengatakan, Presiden Yudhoyono harus tegas dan
minta zero tolerance terhadap siapa pun yang main hakim sendiri atas
nama agama.
“Kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengambil sikap
dan melindungi kaum minoritas dari intimidasi dan kekerasan tentu
saja merupakan olok-olok terhadap klaim bahwa Indonesia adalah negara
demokratis yang melindungi hak asasi manusia,” ungkapnya di
Jakarta, Kamis.
HRW melakukan riset di 10 provinsi di
Jawa, Madura, Sumatera, dan Timor, serta mewawancarai lebih dari 115
orang dari berbagai kepercayaan. Mereka termasuk 71 korban kekerasan
dan pelanggaran, maupun ulama, polisi, jaksa, milisi, pengacara, dan
aktivis masyarakat sipil.
Hasilnya, sebuah laporan sepanjang 120
halaman berjudul “Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas
Agama di Indonesia,” yang merekam kegagalan pemerintah Indonesia
dalam mengatasi gerombolan-gerombolan militan, yang melakukan
intimidasi dan serangan terhadap rumah-rumah ibadah serta anggota
minoritas agama.
Temuan HRW menyebut gerombolan militan
ini makin lama makin agresif. Sasaran mereka termasuk Ahmadiyah,
Kristen, maupun Muslim Syiah. Satu lembaga pemantau kekerasan
mencatat 264 kasus kekerasan terjadi tahun lalu.
Menurut Adams, faktor
kepemimpinan nasional sangat esensial. Presiden Yudhoyono,
menurutnya, perlu tegas dalam hal penegakan hukum. “Ia harus
mengumumkan bahwa setiap pelaku kekerasan akan diadili, serta
menjelaskan strategi untuk memerangi kekerasan atas nama agama,”
ungkap Adams.
Salahkan Minoritas
Yang menarik dari
temuan HRW, pejabat daerah sering menyikapi
pembakaran atau kekerasan justru dengan menyalahkan korban minoritas.
Para pelaku menerima hukuman ringan atau sama sekali tak dihukum.
Dalam dua kasus, pejabat daerah menolak menjalankan keputusan
Mahkamah Agung yang memberikan hak kepada dua jemaat minoritas untuk
membangun rumah ibadah mereka. Pejabat pusat sering membela kebebasan
beragama, namun ada juga—termasuk Menteri Agama Suryadharma Ali—
yang justru mengeluarkan pernyataan diskriminatif.
Presiden Yudhoyono juga gagal
menggunakan kekuasaannya guna membela warga negara Indonesia dari
kaum minoritas agama, serta tak pernah secara efektif mendisiplinkan
anggota-anggota kabinet yang bandel menganjurkan pelanggaran.
Dalam suatu pidato pada Maret 2011,
misalnya, Menteri Agama mengatakan, “Saya memilih Ahmadiyah
dibubarkan. Jelas Ahmadiyah menentang Islam.” Pada September 2012,
dia mengusulkan warga Syiah pindah ke Islam Sunni. Namun atas
sikapnya tersebut, Suryadharma Ali tak menerima sanksi apa pun.
HRW juga menemukan organisasi militan
yang membawa bendera Islam, termasuk Forum Umat Islam dan Front
Pembela Islam, sering dilaporkan terlibat dalam penyerangan dan
penutupan rumah ibadah maupun rumah pribadi.
Mereka memberikan
pembenaran terhadap penggunaan kekerasan dengan memakai tafsir Islam
Sunni, yang memberi label “kafir” kepada kalangan non-muslim,
serta “sesat” kepada kalangan muslim yang tak sama dengan mereka.
Sebelumnya, Setara Institute, lembaga
yang memantau kebebasan beragama di Indonesia, pernah melaporkan
naiknya kekerasan pada minoritas agama, dari 244 pada 2011 jadi 264
pada 2012. Wahid Institute, kelompok sipil lain yang juga berbasis di
Jakarta, mendokumentasikan 92 pelanggaran kebebasan beragama dan 184
peristiwa intoleransi agama pada 2011, naik dari 64 pelanggaran dan
134 peristiwa intoleransi pada 2010.
Dihubungi SH, Kamis,
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos mengatakan
tingginya angka kekerasan yang terjadi pada kelompok minoritas akibat
ketidaktegasan pemerintah dalam menindak pelaku-pelaku kekerasan
tersebut.
Padahal, ketegasan oleh pemerintah sangat perlu dilakukan
sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam menjalankan amanat
konstitusi, yaitu menjamin kebebasan beragama rakyat Indonesia.
"Selain itu, ketegasan pemerintah diperlukan untuk menimbulkan
efek jera pada kelompok-kelompok intoleran lainnya agar tidak
melakukan perbuatan pemaksaan kehendak pada kelompok lain,"
ungkapnya.
Pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah kepada
kelompok-kelompok intoleran, yang terjadi selama ini, menurutnya,
seperti telah memberi angin kepada pihak-pihak intoleran tersebut
untuk memperluas aksinya. “Awalnya kasus tersebut hanya terjadi di
satu daerah, tapi kini banyak daerah terjadi tindakan intoleransi
tersebut,” ungkapnya.
Akibat ketidakberanian pemerintah
tersebut, Bonar menuding bahwa pemerintah tidak menganggap penting
masalah-masalah kekerasan pada kelompok minoritas. Padahal di satu
sisi pemerintah terlihat sangat gagah dalam memerangi terorisme.
Namun di sisi lain pemerintah tidak berani menindak para pelaku
kekerasan pada kelompok minoritas.
HRW menilai sejumlah lembaga negara
yang berperan dalam pelanggaran kebebasan beragama, termasuk
Kementerian Agama, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan
Masyarakat (Bakor Pakem) yang menginduk pada Kejaksaan Agung, serta
lembaga semi-pemerintah Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang
menggerogoti kebebasan beragama dengan mengeluarkan fatwa terhadap
anggota-anggota agama minoritas, sekaligus memanfaatkan kedudukan
mereka untuk mendesak kriminalisasi terhadap “penoda agama”.
Naiknya kekerasan terhadap minoritas
agama—dan kegagalan pemerintah bersikap tegas—melanggar UUD 1945
yang menjamin kebebasan beragama, maupun hukum internasional.
Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi Indonesia
pada 2005, menetapkan, “Orang-orang yang tergolong dalam kelompok
minoritas tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama
anggota kelompok lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk
menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri.”
Penyiksaan dan Diskriminasi
Dalam laporannya, HRW mengungkap
pengakuan Ahmad Masihuddin (25), warga Ahmadiyah, korban luka berat
dalam serangan massa di Cikeusik, Banten, pada 6 Februari 2011,
setelah polisi di lokasi kejadian membiarkan serangan. Tiga kawannya
tewas dibunuh.
“Mereka menyeret saya dari sungai. Mereka pegang
tangan saya dan melepas sabuk saya dengan parang. Mereka lepas kaos,
celana dan kaos dalam saya. Saya hanya pakai celana dalam. Mereka
ambil uang Rp 2,5 juta dan BlackBerry saya. Mereka lepaskan celana
dalam saya dan mau memotong alat kelamin. Saya terbaring posisi bayi.
Saya hanya berusaha melindungi muka saya, tapi mata kiri saya
ditikam. Kemudian saya dengar mereka teriak, ‘Sudah mati, sudah
mati’,” kisahnya.
Ada juga pengakuan
Dewi Kanti (36), penulis dan seniman Sunda Wiwidan dari Cigugur, Jawa
Barat, yang mengalami diskriminasi karena Indonesia hanya mengakui
enam agama dan meminggirkan ratusan kepercayaan lokal, seperti
dirinya sebagai “keyakinan mistik” yang membuat para penganutnya
kesulitan menikah, mengajukan akta kelahiran, dan mendapatkan
pelayanan lain.(Saiful Rizal)
Sumber : Sinar Harapan
http://www.shnews.co/detile-15632-pemerintah-lembek-hadapi-%E2%80%9Cpreman-berjubah%E2%80%9D.html
http://www.shnews.co/detile-15632-pemerintah-lembek-hadapi-%E2%80%9Cpreman-berjubah%E2%80%9D.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar, masukan yang sifatnya membangun blog ini.