Catatan A. Umar Said
Dalam kesempatan untuk mengenang kembali Supersemar, yang selama 32
tahun Orde Baru telah dipamerkan oleh pendukung-pendukung rejim militer
Orde Baru sebagai peristiwa besejarah untuk “menyelamatkan negara dan
bangsa Indonesia”, berbagai orang telah mengemukakan pendapat dan
perasaan mereka.
Di antara mereka itu terdapat tokoh-tokoh korban peristiwa 65 dan
eks-tapol seperti Ibrahim Isa (dari Nederland), Gutav Dupe (dari
Jakarta) , Utomo S (pimpinan LPR-KROB). Sejarawan Asvi Warman Adam
membuat tulisan yang amat menarik sekali yang berjudul « Supersemar dan
kudeta merangkak MPRS », yang mengurai berbagai persoalan dan mengajukan
bahan-bahan baru untuk renungan kita bersama. Harian Kompas dan Sinar
Harapan juga menyiarkan tulisan-tulisan yang menarik mengenai masalah
ini.
SUPERSEMAR MENCELAKAKAN BANGSA DAN NEGARA
Dari tulisan-tulisan yang baru-baru ini dapat dibaca, jelaslah
kiranya bahwa Suharto dkk (artinya : Angkatan Darat dengan dukungan
berbagai golongan reaksioner dalamnegeri dan luarnegeri) telah
menjadikan Surat Perintah Sebelas Maret sebagai puncak pembangkangan,
pemboikotan dan pengkhianatan terhadap presiden Sukarno.
Pembangkangan, pemboikotan dan pengkhianatan terhadap presiden
Sukarno ini didahului dengan pembunuhan besar-besaran terhadap 3 juta
anggota dan simpatisan PKI, dan penahanan sewenang-wenang terhadap
sekitar 2 juta orang tidak bersalah apa-apa, serta penyebaran terror di
seluruh negeri. Ini semua dilakukan oleh golongan militer (terutama
Angkatan Darat), tanpa persetujuan presiden Sukarno.
Sesudah peristiwa Supersemar (11 Maret 1966) pembangkangan dan
pengkhianatan terhadap presiden Sukarno ini dilanjutkan dengan
langkah-langkah Suharto dkk lainnya, dengan « membersihkan » MPRS dan
DPR-GR dari golongan pro-PKI dan pro-Bung Karno, sehingga MPRS bisa
sepenuhnya dikuasai dan dimanipulasi oleh Suharto dkk. MPRS yang sudah
dikebiri atau dibikin loyo oleh Angkatan Darat inilah yang kemudian bisa
didesak untuk mencabut kedudukan Bung Karno sebagai presiden/panglima
tertinggi ABRI/pemimpin besar revolusi/mendataris MPRS.
Seperti sudah sama-sama kita saksikan sendiri, dengan diangkatnya
Suharto sebagai presiden dalam tahun 1968 oleh MPRS, maka negara dan
bangsa Indonesia telah dijerumuskan oleh Angkatan Darat yang dipimpin
Suharto dalam masa gelap selama puluhan tahun yang penuh dengan
pelanggaran HAM, kebejatan moral, kerusakan perikemunusiaan, kehancuran
kehidupan demokratis, dan hancurnya persatuan bangsa. Dari segi ini
dapatlah kiranya kita katakan dengan tegas bahwa Supersemar telah
mencelakakan bangsa dan negara.
ANGKATAN DARAT MENGKHIANATI BUNG KARNO DAN REVOLUSI
Berbagai tulisan yang sudah disiarkan di Indonesia dan di luarnegeri
menunjukkan dengan jelas tentang pengkhianatan golongan Angkatan Darat
yang dipimpin Suharto ini terhadap presiden Sukarno, terutama sekali
dengan menyalahgunakan Supersemar. Kejahatan Angkatan Darat ini tidak
saja karena pembantaian besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan
PKI dan simpatisan Bung Karno, melainkan karena telah meneruskan
berbagai kejahatan dan pelanggaran HAM selama lebih dari 30 tahun.
Kalau dihitung jumlah orang yang jadi korban pembunuhan, dan yang
ditahan sewenang-wenang, dan orang-orang dari berbagai kalangan yang
menjadi korban peristiwa 65, ditambah dengan kejahatan-kejahatan lainnya
selama Orde Baru, maka tidak salahlah kalau ada orang-orang yang
mengatakan bahwa Angkatan Darat di bawah pimpinan Suharto merupakan
golongan bangsa yang telah mendatangkan malapetaka dan kesengsaraan bagi
rakyatnya sendiri.
Sejarah dan praktek-praktek Orde Baru menunjukkan dengan jelas bagi
banyak orang bahwa dengan menyalahgunakan Supersemar, Angkatan Darat di
bawah pimpinan Suharto bukan saja telah mengkhianati Bung Karno, tetapi
juga merusak cita-cita revolusi rakyat Indonesia. Angkatan Darat di
bawah pimpinan Suharto bukan saja telah menghancurkan PKI dan kekuatan
kiri lainnya, tetapi juga merusak secara serius dan besar-besaran banyak
tatanan demokratis dari kehidupan politik.
Singkatnya, di bawah pimpinan Suharto, Angkatan Darat telah merusak
Republik Indonesia, yang akibat parahnya masih kita saksikan sampai
sekarang di berbagai bidang kehidupan bangsa. Kerusakan yang disebabkan
berbagai kejahatan ini sudah demikian banyaknya dan juga demikian
besarnya sehingga sulit untuk diperbaiki dalam jangka dekat dan waktu
singkat. Banyak dari masalah-masalah parah dan rumit yang kita saksikan
dewasa ini adalah warisan atau akibat dari rejim militer Orde Baru, yang
dibangun oleh Angkatan Darat di bawah pimpinan Suharto.
TNI TELAH DIRUSAK OLEH SUHARTO
Peran busuk dan khianat yang sudah dimainkan oleh Angkatan Darat di
bawah pimpinan Suharto yang menyalahgunakan Supersemar untuk
menggulingkan presiden Sukarno dan kemudian mendirikan Orde Baru telah
berakhir (secara resminya !!!) dengan jatuhnya Orde Baru. Tadinya,
banyak orang mengira atau berharap bahwa TNI bisa mengubah dirinya, dan
tidak berjiwa dan bertindak lagi seperti selama rejim militer Orde Baru,
setelah Suharto tidak lagi menjadi presiden dan panglima tertinggi.
Tetapi, kerusakan di kalangan militer (terutama Angkatan Darat) yang
disebabkan pimpinan Suharto sudah sedemikian parahnya dan pembusukan
sudah sedemikian jauhnya, sehingga hanya sedikit sekali (kalau ada!)
perubahan dalam sikap mental atau moral mereka. Selama 32 tahun Suharto
telah memanjakan golongan militer, dan menjadikan mereka sebagai “kelas
istimewa” dalam kehidupan bangsa, yang berada di atas segala golongan
lainnya dalam masyarakat.
Perlakuan istimewa Suharto terhadap golongan militer ini adalah untuk
“membeli” kepatuhan atau kesetiaan mereka kepadanya. Oleh karena itu,
walaupun terjadi banyak kesalahan atau pelanggaran yang dibuat oleh
kalangan militer selama Orde Baru , Suharto tidak (atau jarang sekali !)
bertindak. Asal mereka patuh kepadanya. Itu sebabnya, maka banyak
pelanggaran HAM atau penyalahgunaan kekuasaan atau korupsi, yang banyak
dilakukan oleh pimpinan militer dari berbagai tingkatan dibiarkan saja
dan tidak ditindak.
Sekarang, ketika resminya Orde Baru sudah gulung tikar, dan Suharto
sudah dipaksa turun, maka adanya pimpinan militer seperti yang
dipertontonkan panglima Kodam Jaya,Mayjen TNI Agustadi Sasongko Purnomo,
adalah pertanda bahwa pada pokoknya TNI-AD masih belum mengadakan
perubahan seperti yang dituntut oleh gerakan reformasi.
Menurut Detikcom 7 Maret yang lalu, “ia meminta masyarakat waspada
bangkitnya kembali gerakan komunisme. Hal itu bisa dilihat dari kegiatan
mereka yang belakangan ini makin nyata. Kegiatan seperti pameran budaya
di TIM yang digelar korban stigma Partai Komunis Indonesia (PKI) pada
22 Februari lalu dan bedah buku sejarah BTI dan PKI karangan Pramoedya
Ananta Toer, dinilainya sebagai bentuk konsolidasi partai berlambang
palu dan arit itu.
“Konsolidasi PKI itu dalam rangka menyusun kekuatan dan memulihkan
nama baik sebagai persiapan menghadapi Pemilu 2009. Targetnya, PKI bisa
masuk dalam percaturan politik Indonesia. Karena itu, imbuhnya, semua
pihak harus waspada dengan kemungkinan bangkitnya komunisme yang makin
intensif melakukan kegiatan, baik terbuka maupun tertutup.
“Selain pameran budaya dan bedah buku, indikasi bangkitnya PKI bisa
dilihat dari banyaknya aksi demo yang dilakukan para buruh tani dan
sejumlah aktivis mahasiswa dari kelompok kiri yang intinya minta
pencabutan Tap MPR 25/1966 tentang Pembubaran PKI, menghidupkan kembali
organisasi komunis dan membubarkan koter. Kodam Jaya dalam hal ini
intelijen tetap melakukan pemantauan terhadap aktivitas
kelompok-kelompok yang dianggap garis kiri. » (kutipan selesai).
Gaya dan isi pidato Mayjen Agustadi itu mengingatkan kita kepada
berbagai pernyataan dan pidato yang sering diucapkan tokoh-tokoh militer
selama 32 tahun Orde Baru. Dengan terus-menerus menyebarkan racun
anti-komunisme dan menjadikan PKI sebagai momok, rejim militer telah
melakukan terror untuk memberantas perlawanan dan membungkam oposisi
terhadap berbagai politik dan praktek mereka yang merugikan rakyat dan
demokrasi.
PERINGATAN BUNG KARNO KEPADA SUHARTO
Pidato Mayjen Agustadi seperti tersebut di atas menunjukkan juga
bahwa TNI-AD yang sekarang masih banyak dipengaruhi garis politik, jiwa
atau semangat TNI di bawah pimpinan Suharto, yang melakukan
pengkhianatan terhadap presiden Sukarno, panglima tertinggi ABRI pada
waktu itu.
Dalam kaitan ini, adalah menarik untuk menyimak kembali amanat
presiden Sukarno dalam upacara pelantikan Mayor Jenderal Suharto (pada
waktu itu) menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara pada
tanggal 16 Oktober 1965 (jadi, 15 hari sesudah peristwa G30S).
Dokumen yang berisi amanat presiden Sukarno ini tidak banyak
dipublikasikan dan bahkan sengaja “disembunyikan” oleh rejim militer
Orde Baru. Teks lengkapnya, yang cukup panjang, dapat dibaca dalam buku
“Revolusi Belum Selesai”, yang berisi kumpulan pidato-pidato presiden
Sukarno sesudah peristiwa G30S. Berikut di bawah ini adalah sedikit
cuplikan dari amanat yang panjang itu.
“Mayor Jenderal Soeharto,
Saya angkat Saudara menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat. Saudara bersedia mengucapkan sumpah atau janji?
Sumpah.
(Jawab Mayjen Soeharto-red)
Menurut ajaran agama?
Islam.
(Jawab Mayjen Soeharto-red)
Ikuti perkataan-perkataan saya.
(Sumpah diucapkan-red .)
(Sumpah selesai diucapkan –red.)
Syukur alhamdulillah, sumpah Menteri telah Saudara ucapkan.
(Kemudian presiden Sukarno bicara panjang lebar tentang revolusi
Indonesia, tentang G3OS, tentang peran nekolim yang mau mengganggu
jalannya revolusi rakyat Indonesia. Teks lengkapnya dapat dibaca pada
halaman 21 sampai 26 buku tersebut. Dalam amanatnya itu presiden Sukarno
memberi pesan kepada Mayor Jenderal Suharto sebagai berikut: )
“Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan
Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu
Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada
Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi,
yang sama sekali berdiri diatas Trisakti, yang sama sekali berdiri
diatas Nasakom, yang sama sekali berdiri diatas prinsip Berdikari, yang
sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.
“Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi
sebagai haluan negara Republik Indonesa. Dan oleh karena Manipol-USDEK
ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus
dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan
Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya
jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita
semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
“Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam
kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan
kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita
dan beserta engkau!.” (kutipan selesai)
Jadi, peristiwa ini menunjukkan bahwa Mayor Jendral Suharto sudah
mengucapkan sumpah di hadapan presiden Sukarno, yang berarti bahwa
sebagai Menteri dan Panglima Angkatan Darat ia seharusnya patuh kepada
presiden Sukarno yang juga panglima tertinggi Angkatan Bersenjata, dan
bahwa Suharto seharusnya menjalankan Panca Azimat revolusi, dan
menjunjung tinggi Manipol-USDEK yang menjadi haluan negara.
Kita semua tahu bahwa justru sumpah inilah yang telah dilanggar
secara khianat oleh Suharto, dan kemudian melanjutkan pengkhianatannya
dengan menyalahgunakan Supersemar selama 32 tahun dalam melaksanakan
politik busuk Orde Baru. Kita sekarang juga mengetahui bahwa perintah
presiden Sukarno telah dikentuti saja oleh Suharto. Yaitu perintah
presiden Sukarno kepada Suharto yang berbunyi “ buatlah Angkatan Darat
ini satu angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata
daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat
Revolusi, yang sama sekali berdiri diatas Trisakti, yang sama sekali
berdiri diatas Nasakom, yang sama sekali berdiri diatas prinsip
Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK”.
Suharto, dengan mendapat dukungan penuh dari Angkatan Darat, Golkar,
dan berbagai kalangan reaksioner dalamnegeri (dan kekuatan nekolim
luarnegeri !!!), telah membuat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
menjadi sasaran kebencian rakyat. Suharto juga membikin Orde Baru
mencampakkan Panca Azimat Revolusi, melecehkan Trisakti, membuang
Nasakom, mengingkari prinsip Berdikari, dan memusuhi Manipol-USDEK.
BANYAK YANG HARUS DIROBAH DAN DIBETULKAN
Mengingat banyaknya berbagai kejahatan dan pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh golongan militer (terutama Angkatan Darat) di bawah
pimpinan Suharto selama Orde Baru, maka sewajarnyalah (bahkan seharusnya
!!!) bahwa teks dalam buku-buku sejarah yang dipakai untuk pelajaran di
sekolah dasar, lanjutan dan perguruan tinggi yang bersangkutan dengan
Suharto, Supersemar, Orde Baru dan juga Angkatan Darat perlu dirobah
atau dibetulkan, menurut kebenaran sejarah.
Demikian juga segala teks dalam dokumen-dokumen negara yang masih
secara tidak benar tetap memuji-muji Supersemar, dan menyanjung-nyanjung
Suharto dan Orde Baru harus dibetulkan menurut kenyataan yang sudah
terjadi. Begitu juga halnya dengan segala monumen atau museum atau tugu
peringatan yang secara tidak benar menyajikan Suharto sebagai pemimpin
Angkatan Darat yang berjasa untuk negara dan bangsa. Sebab,
kenyataannya, Suharto dengan Angkatan Darat yang dipimpinnya, telah
menimbulkan kerusakan-kerusakan yang parah terhadap negara dan juga
menimbulkan berbagai penderitaan bagi rakyat.
Mengingat itu semua, maka perlulah kiranya kita semua sadar dan yakin
bahwa, untuk selanjutnya di kemudian hari, Angkatan bersenjata Republik
Indonesia harus sepenuhnya menjadi alat negara di bawah supremasi
sipil, seperti kebanyakan negara demokratis lainnya di seluruh dunia.
Seluruh kekuatan demokratis di Indonesia harus mencegah atau melawan
bersama-sama kembalinya Dwifungsi ABRI dalam bentuknya yang bagaimanapun
juga.
Kita semua (termasuk golongan-golongan yang demokratis dalam kalangan
militer sendiri) harus mencegah terulangnya masa gelap Orde Baru,
ketika golongan militer yang jumlahnya tidak melebihi 500.000 orang
telah mengangkangi negara – secara otoriter atau despotik – dan ratusan
juta rakyat (yang sekarang berjumlah lebih dari 230 juta orang), selama
lebih dari 32 tahun! Pengalaman pahit bangsa ini tidak boleh berulang
lagi, dalam bentuknya yang bagaimana pun juga!
Paris, 14 Maret 2006
sumber : http://merdeka7.wordpress.com/2007/05/16/supersemar-dan-pengkhianatan-suharto-dan-tni-ad/
About these ads