Sebuah Pembelaan untuk Franz Magnis Suseno
Kamis, 30 Mei 2013 , 11:59:00 WIB
Laporan: Aldi Gultom
Franz Magnis, rohaniawan sepuh yang mempunyai pergaulan luas lintas agama dan sektoral, diserang habis melalui media massa dan jejaring sosial karena suratnya yang ditujukan ke The Appeal of Conscience Foundation (ACF), yang memberi penghargaan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas jasa memajukan toleransi beragama.
Patut dicatat, Romo Magnis dalam surat itu sama sekali tidak mengatasnamakan dirinya sebagai perwakilan bangsa Indonesia. Romo tegas menyebutkan di awal surat itu bahwa ia mengirimkan protes sebagai pribadi seorang Imam Katolik dan profesor filsafat di Jakarta.
Romo tajam mengkitik lembaga ACF, yang kabarnya didirikan Rabi Yahudi, sebagai lembaga yang tidak mengetahui apa persoalan sesungguhnya.
"Ini memalukan, memalukan bagi Anda. Ini akan mendiskreditkan klaim apapun yang mungkin akan Anda buat sebagai institusi dengan niat moral," tulis Romo.
Dalam suratnya, Romo juga mempertanyakan, bagaimana mungkin sebuah lembaga yang dianggap kredibel itu mengambil keputusan penghargaan kepada SBY tanpa sedikit pun bertanya kepada orang-orang terkait di Indonesia.
Dalam suratnya sebagai PRIBADI, Romo mengkritik pula ACF yang menutup mata atas beberapa fakta menyedihkan di Tanah Air. Tidak usah dibantah lagi bahwa semakin banyak orang-orang Kristen, Ahmadiyah dan Syiah yang kesulitan beribadah. Semakin meningkat penutupan rumah-rumah ibadah karena tekanan massa yang mengaku lebih paham akan kebenaran dan membela Tuhan atas penyesatan.
Juga semakin banyak perilaku tidak toleran pada tingkat akar rumput. Romo Magnis menyatakan dalam surat itu bahwa tentang hal tersebut pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono cenderung tidak mengambil tindakan apa pun dan tidak mengatakan apa pun untuk melindungi kaum yang teraniaya.
Franz Graf von Magnis atau nama lengkapnya Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis, walau bukan kelahiran dan tak berdarah Indonesia, mungkin saja lebih dulu mengenal Indonesia dan segala keragamannya daripada mereka yang belakangan ini menghujatnya di media massa (karena saat Magnis tiba di Tanah Air mereka belum lahir).
Franz Magnis pertama kali menginjakkan kakinya di Tanah Air pada 1961 di usia 25 tahun untuk mempelajari filsafat dan teologi di Yogyakarta. Diambil dari wikipedia, Romo ini meleburkan dirinya di dalam masyarakat dengan mempelajari bahasa Jawa untuk membantunya berkomunikasi dengan warga setempat.
Rela menjalani segala keruwetan birokrasi di Indonesia, ia berjuang keras untuk menjadi warga negara Indonesia selama sekitar tujuh tahun lamanya. Ia menjadi WNI bukan karena dilahirkan oleh orang tua WNI, tapi karena ia memilih. Setelah menjadi warganegara Indonesia pada 1977, Magnis menambahkan 'Suseno' di belakang namanya.
Bukunya yang bertajuk "Etika Politik" menjadi acuan pokok bagi mahasiswa filsafat dan politik. Magnis bergaul dengan kelas masyarakat manapun, seorang cendekiawan yang supel dan bersahaja. Dia juga dikenal dekat dengan tokoh-tokoh intelektual Islam seperti almarhum Nurcholish Madjid atau Cak Nur dan almarhum KH Abdurahman Wahid alias Gus Dur
Lalu, apa yang menyebabkan Romo Magnis dihujat? Dua orang pemerintah yang berbeda pandangan dengan Romo pun dipanggil Komnas HAM karena tulisannya di media sosial dinilai lari dari masalah dan menyentuh isu SARA.
Beberapa pengikut dari mereka yang membela habis SBY terkesan kebakaran jenggot. Magnis disebut telah memprovokasi, memperkeruh kehidupan berbangsa dan melecehkan Bhineka Tunggal Ika.
Kalau kita membaca lagi utuh surat Romo, di manakah letak provokasi dan penghujatan terhadap kebhinekaan masyarakat Nusantara ini yang dituduhkan kepada Romo Magnis?
Pertanyaan selanjutnya, sebenarnya siapakah yang hendak memprovokasi dan mengalihkan substansi masalah dan fakta bahwa keragaman di Tanah Air terancam oleh sekelompok warga negara yang merasa dirinya benar dan memaksakan kebenaran itu kelompok yang berbeda, lalu negara yang seharusnya punya legalitas untuk melindungi hak warga negara (bukan keyakinannya) untuk berkeyakinan dan beribadah tidak bisa berbuat apa-apa?
Lupakah kita pada surat bertanggal 15 Maret 2011, yang dikirimkan 27 anggota Kongres Amerika Serikat, kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono? Surat itu disebarkan melalui surat elektronik oleh Human Right Watch yang berkantor di Washington DC dan dilanjutkan oleh LSM-LSM pegiat penegakan HAM di Indonesia.
Pada bagian isi surat itu, mereka secara eksplisit menentang penerbitan Peraturan Daerah seperti di Jawa Barat dan Jawa Timur yang membatasi kegiatan Jamaah Ahmadiyah. Menurut Anggota Kongres AS, Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Jaksa Agung yang ditandatangani Juni 2008 adalah sumber merebaknya konflik antara masyarakat dengan Jamaah Ahmadiyah.
Para anggota Kongres juga menyoroti insiden Cikeusik pada 6 Februari 2011, di mana ratusan warga Pandeglang Banten menyerbu sekitar 25 orang pengikut Ahmadiyah.
Ke-27 anggota Kongres itu juga mengingatkan bahwa sejak 2008 SKB melarang aktivitas Ahmadiyah, jumlah kekerasan terhadap penganut agama minoritas juga meningkat drastis. Peraturan yang melarang kegiatan Ahamdiyah tidak hanya bertentangan dengan hukum HAM internasional, tapi memberanikan para ekstrimis dan memperparah kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah.
Romo Magnis sendiri pernah menyatakan, dia sendiri tak mempersoalkan jika SBY mendapat penghargaan. Namun, yang jadi soal adalah penghargaan itu dilatarbelakangi sebuah "keberhasilan" menjaga kerukunan beragama.
Pihak Istana diwakili Seskab Dipo Alam dan Staf Khusus Presiden Andi Arief dan para pengikutnya begitu kasar menggertak Romo. Apa dasarnya? Tidak ada lagikah hak Romo sebagai pribadi untuk mengutarakan sikap pribadinya kepada ACF.
Siapakah ACF sehingga Istana dan para pengikutnya begitu hebat membela keputusannya? Atau pembelaan itu hanya untuk mengamankan jabatan politik dan semakin mengkilapkan prestasi loyalitas sebagai antek?
Sekali lagi, dalam surat tersebut Romo Magnis tidak sama sekali mengatasnamakan dirinya sebagai perwakilan bangsa Indonesia atau umat tertentu, melainkan sebuah pribadi yang berhak mengutarakan sikap, pandangan dan intelektualitasnya. Dan, yang dikritiknya pun bukan SBY sebagai pribadi, namun lembaga yang disebutnya membuat keputusan tak berdasar pada realitas.
Lalu mengapa sekelompok orang tiba-tiba mengamuk dan mencaci maki Romo Magnis dengan sebutan provokator dan berpikir dangkal? Lebih parah lagi, ada di antara mereka yang menyebut surat Romo itu melukai hati umat Katolik di Indonesia. Siapa dia yang begitu hebat bisa mewakili perasaan umat Katolik se-Indonesia?
Kalau begini, silakan masyarakat yang sedari awalnya plural ini akan menilai. Mana yang dangkal, mana yang intelektual. Mana yang menjilat, mana yang tulus. [ald]http://polhukam.rmol.co/read/2013/05/30/112584/Sebuah-Pembelaan-untuk-Franz-Magnis-Suseno-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar, masukan yang sifatnya membangun blog ini.