Mengenai Saya

Foto saya
Shio : Macan. Tenaga Specialist Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar. Trainer Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar Negara Asing. Pengajar part time masalah Surveillance Detection, observation techniques, Area and building Analysis, Traveling Analysis, Hostile surveillance Detection analysis di beberapa Kedutaan besar negara Asing, Hotel, Perusahaan Security. Bersedia bekerja sama dalam pelatihan surveillance Detection Team.. Business Intelligence and Security Intelligence Indonesia Private Investigator and Indonesia Private Detective service.. Membuat beberapa buku pegangan tentang Surveilance Detection dan Buku Kamus Mini Sureveillance Detection Inggris-Indonesia. Indonesia - Inggris. Member of Indonesian Citizen Reporter Association.

Selasa, 12 Juli 2011

NII KW9 : Hikayat Komandemen Wilayah 9


Hikayat Komandemen Wilayah 9

Penulis: Sandro Gatra
nii

KOMPAS.com - Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah (NII KW) 9 menjadi sorotan publik akhir-akhir ini setelah masyarakat, terutama kalangan mahasiswa di berbagai kampus hilang. Kasus hilangnya mahasiswa itu lalu dikaitkan dengan aktivitas NII KW 9 lantaran rekam jejak NII KW 9 di Indonesia.
Sukanto, mantan anggota NII KW 9 yang kini menjadi Direktur NII Crisis Center, menjelaskan, NII KW 9 dibentuk oleh tokoh Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI TII), Adah Djaelani. Pembentukan itu hasil metamorfosis NII berkali-kali pasca diproklamasikan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo pada Agustus 1949. NII memiliki struktur komandemen dari pusat dan wilayah yang terdiri dari tujuh KW.
Tahun 1996 Adah menyerahkan posisi Imam kepada Abu Toto alias Abu Mariq alias Abu Marif alias Syamsul Adam alias Panji Gumilang. Pemindahan keimaman itu ditentang KW lain lantaran ajaran Panji dianggap salah. Untuk membedakan dengan KW lain, kelompok yang dipimpin Panji lalu disebut NII KW 9.
Saat dipegang Abu Toto, program NII KW 9 dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama (1996-1999), yakni program hujumat atau mempersiapkan warga agar paham akan fungsi dirinya sebagai mujahid. Tahap kedua (2000-2004), yakni program pendidikan dengan memberlakukan hukum Islam secara internal. Tahap ketiga (2005-2009), yakni mewujudkan hukum Islam yang berlaku secara de jure dan de facto di wilayah.
Dalam pelaksanaanya, tahapan itu memfokuskan pembangunan pada enam sektor yakni Hujumat Tabsyiriah (perekrutan anggota), Tarbiyah (pembangunan lembaga pendidikan Al Zaytun), Istisodiyah (perekonomian), Shihah (kesehatan), Difa (pertahanan dan keamanan), serta Maliyah (keuangan).
Tak jelas program lanjutan NII KW 9 pasca 2009. Panji disebut tak pernah lagi membicarakan kelanjutan program. "Hal ini memicu banyak kekecewaan di daerah. Melihat kondisi yang mulai resah, pada Muharam 1432 H semua KW mengadakan syuro untuk menentukan tujuan. Namun tetap tak dihasilkan. Yang ada keputusan strategis untuk memobilisasi sumber daya untuk merambah wilayah 'basah' yang belum tergarap," kata Dicky Cokro, aktivis NII Crisis Center.
Berdasarkan data dari Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI), struktur kepengurusan NII KW 9 terdiri dari Dewan Syuro (ketua dan wakil), Imam atau Presiden, Dewan Fatwa, Mahkamah Agung (ketua dan Sekjen), Majelis (15 kementrian), Sekretaris Jenderal (Sekretaris Negara dan tujuh kementrian), dan Gubernur (lima wilayah). Adapun pusat pemerintahan berada di Al Zaytun di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Pembangunan Al Zaytun

Ketua LPPI Amin Djamalludin menjelaskan, modal pembangunan Al Zaytun didapat dari bisnis minyak tanah yang dilakukan Adah Djaelani di dekat Kantor Bea Cukai Rawamangun, Jakarta Timur, sejak tahun 1962.
Awalnya, cerita Amin, Adah mengajak kerjasama seorang warga bernama Nana lantaran tempat tinggal Nana berada di pinggir jalan raya. Pangkalan minyak tanah lalu dibangun di rumah Nana. Di rumah salah satu anak Nana, Hasanudin, dijadikan tempat berkumpul tokoh-tokoh DI TII.
"Keuntungan dari minyak ini luar biasa banyak. Tukang dorong minyak waktu itu ratusan. Rupanya (hasil usaha) enggal mereka habiskan, ditabung lah sebagian (keuntungan)," kata pria yang pernah menjadi anggota DI TII dan berkumpul bersama tokoh-tokoh DI TII di rumah Hasanudin itu.
Kemudian, lanjut Amin, Adah menyerahkan keimamannya kepada Abu Toto. Saat itu, Adah berpesan agar segera membangun Madinah sesuai ajaran Kartosuwiryo. Menurut Amin, Kartosuwiryo mendoktrin pengikutnya bahwa Indonesia adalah Mekah, tempat orang-orang kafir, sehingga harus dibangun Madinah, tempat suci.
"Begitu diserahkan keimaman ke Abu Toto, ternyata mereka punya modal emas 1.500 kilo gram dari hasil minyak tadi. (Emas) diserahkan ke Abu Toto untuk bangun Al Zaytun. Waktu penyerahan itu harga emas masih Rp 15 ribu per gram. Terjadi resesi ekonomi naik menjadi Rp 90 ribu per gram. Dijual semua untuk bangun Madinah itu," papar dia.
Amin menambahkan, modal lain didapat dari merampok. Tanah seluas 1.200 hektare yang diatasnya dibangun kompleks Al Zaytun tahun 1996 sebagian besar berasal dari wakaf para anggota NII KW 9. Harga tanah saat itu hanya antara Rp 500 sampai Rp 700 per meter.
"Banyak juga tanah warga yang diserobot. Di pengadilan, pemilik tanah menang. Cuma karena letak tanah di tengah-tengah komplek, engga bisa berkutik juga. Gimana masuknya?" ucap dia.
Bagaimana penentuan lokasi Madinah di Indramayu? Menurut Amin, dari mulut ke mulut para pengikut Kartosuwiryo menyebar bahwa Kartosuwiryo dimakamkan di lokasi itu setelah dieksekusi tahun 1962. "Jadi semangat mereka bikin pesantren di situ," katanya.
Setelah Al Zaytun dibangun, lanjut Amin, Adah tinggal di Ponpes dan mengendalikan Panji Gumilang. Di Ponpes, Adah lalu merubah nama menjadi Nana. Perampungan pembangunan Ponpes lalu dikebut sebelum Pemilu tahun 2004. Padahal, modal penjualan emas sudah habis di tengah proses pembangunan.
"Mereka yakin betul pada pemilu 2004, cerita yang ada dalam Al Quran, yaitu Ratu Bulkis dan Nabi Sulaiman akan terulang di Indonesia. Ratu Bulkis itu Ibu Megawati dan Nabi Sulaeman itu Abu Toto. Jadi, menurut keyakinan mereka, Ibu Megawati (Soekarno Putri) akan ikhlas menyerahkan negara ini sama Abu Toto sehingga pindah lah ibu kota negara dari Jakarta ke Indramayu. Makanya luar biasa mereka untuk menyelesaikan pembangunan Al Zaytun," cerita Amin.
Percepatan pembangunan itu, kata Amin, awal mula munculnya modus menghalalkan segala cara untuk kepentingan pembangunan Madinah seperti dengan menipu, mencuri, memeras, merampas, hingga melacur. "Semua diatur oleh Abu Toto. Imam dapat empat persen dari seluruh hasil. Itu diatur di undang-undang yang dibuat Kartosuwiryo," ujar dia.

Perekrutan

Sukanto mengatakan, pengkaderan NII KW 9 paling banyak dilakukan di pinggiran Jakarta. Di daerah Jakarta Selatan, perekrutan paling banyak di daerah Ciputat, Lebak Bulus, Pamulang, Pasar Minggu. Di Jakarta Timur di paling banyak di daerah Jatiwaringin dan Jati Bening. Adapun di Jakarta Barat di daerah Meruya.
Penyebab jaringan NII KW 9 tumbuh subur di pinggiran Jakarta, kata Sukanto, karena banyak berdiri perumahan dan indekos yang pola hidup penghuninya tidak terlalu saling peduli. Dengan demikian, mobilisasi kader mudah dilakukan.
Berdasarkan data NII Crisis Center, banyak cara untuk menggalang calon anggota yang dilakukan jamaah NII KW 9. Di banding buruh, pendatang dari desa, dan pekerja kantoran, mereka lebih memilih pelajar SLTA atau mahasiswa baru sebagai target. Pasalnya, pada usia tersebut seseorang mudah untuk menerima sesuatu yang baru. Mereka akan menghindari anak polisi atau TNI lantaran berbahaya.
"Tahun 1996 NII mulai (mengincar) ke mahasiswa. Saat itu, polanya satu lawan satu (satu target dihadapi satu anggota NII). Tapi cara ini tidak berhasil. Jika tidak berhasil menarik masuk, (calon korban) akan cerita ke orang lain dan si pemain ini akan dikenali sebagai NII. Pola lalu berubah, satu target paling tidak dihadapi tiga sampai empat pemain. Jadi seolah dikepung," jelas Sukanto.
Tahap awal, perekrut melakukan seleksi awal lewat dialog tentang gerakan sesat untuk mengukur pengetahuan calon jamaah tentang NII. Jika calon mengetahui tentang sepak terjang NII, perekrut akan melepaskan. Begitu pula sebaliknya.
Berbagai alasan dapat digunakan perekrut untuk lebih dekat dengan target seperti mengajak ke tempat makan atau mall, menemui teman yang baru tiba dari timur tengah atau yang mendapat pencerahan lewat seminar tentang bangkitnya Islam.
Perekrut harus terus mengawal calon jemaah hingga tahap hijrah. Cara mengawal bahkan hingga menginap di rumah calon jamaah. Proses perekrutan akan berakhir di malja atau markas NII KW 9. Calon akan dibawa ke malja dengan mata tertutup agar lokasi tak diketahui. Malja biasanya rumah kontrakan bulanan maupun tahunan yang dapat menampung sekitar 150 orang.
Ciri-ciri malja seperti tertutup, lesehan, keluar masuk anggota tidak bersama-sama, dan selalu terlihat sepi. Lokasi malja akan dipindah jika diketahui masyarakat. “Biasanya paling lama tiga bulan mereka disitu lalu cari tempat lain biar enggak ketahuan,” kata Amin.
Di salah satu ruangan tertutup di malja proses doktrinisasi dilakukan oleh mas'ul atau pimpinan desa kepada calon jamaah. Berbagai tahapan dilakukan seperti Tilawah atau penyampaian dakwah yang tidak sesuai dengan aqidah. Tahap lain yakni Aftis atau persiapan untuk hijrah. Pada tahap ini calon diminta mengorbankan harta untuk menegakkan syariat Islam.
Setelah itu, dilakukan tahap Musyahadatul Hijrah atau proses pelepasan kewarganegaraan Indonesia menjadi warga NII. Dalam tahap itu, calon jamaah dibaiat dengan mengucapkan tujuh janji setia. Setelah melewati tahap itu, jamaah baru akan diberikan nama baru.
Tahap selanjutnya yakni pembinaan untuk merekrut anggota baru dan mencari dana. Setiap jamaah diberi target menjaring 10 tilawah atau anggota baru setiap bulan. Umumnya, jamaah baru akan mengajak teman sekolah, kuliah, atau rekan kerja. Jika jamaah tidak bertilawah hingga setengah bulan, jiwanya dianggap terganggu sehingga harus segera diberikan solusi.

Sembilan pos keuangan

Bagaimana dengan beban keuangan? Setiap jamaah diwajibkan memenuhi sembilan pos keuangan setiap bulan sesuai target. Sembilan pos itu diantaranya Nafaqoh Daulah (infaq dan tazkiyatun nafs), Harakah Qirodh, Harakah Idikhor, Harakah Idikhor, Harakah Ramadhan, Harakah Qurban, Shadaqah Khos.
Berbagai modus diajarkan untuk memenuhi pos-pos keuangan itu seperti menggunakan semua uang yang dimiliki (uang kuliah, tabungan, gaji), menjual barang berharga milik pribadi, mencuri barang milik orang lain, menipu orang tua dengan berbagai alasan (hilangkan laptop/HP/barang milik teman, menabrak mobil teman, dll), hutang kepada orang lain dan tidak dibayar.
Modus lain membuat surat palsu dengan mengatasnamakan kampus atau lembaga untuk meminta uang, menyebar proposal pencarian dana dengan mengatasnamakan yayasan yatim piatu atau fakir miskin. "Ada Bupati (NII) yang sudah sadar. Dia cerita, dia sampai suruh istrinya melacur. Dia bilang saya antar istri (melacur), saya jemput demi setoran," kata Amin.
Pembayaran kewajiban itu dicatat dalam buku tabungan khusus yang dipegang setiap anggota. Bentuk buku itu sama dengan buku tabungan bank-bank di Indonesia. Pada bagian depan tertulis lima angka yakni kode pemilik buku, umur, dan berbagai tulisan Arab. Di bagian dalam, terdapat kolom-kolom pos keuangan dengan tulisan Arab.
Dalam buku tabungan berwarna hijau telor itu terdapat 18 lembar. Setiap dua lembar untuk diisi setoran selama satu bulan. Tanggal setoran ditulis di kolom paling kanan. Di kolom paling bawah terdapat kolom penjumlahan dana yang disetor selama sebulan. Tanggal maupun nilai setoran ditulis tangan.

Lumbung keuangan

Data NII Crisis Center, Jakarta menjadi lumbung dana dan perekrutan. Dana harokah idhikhor, infaq, dan harokah ramadhan yang berhasil dikumpulkan di wilayah Jabotabek dan Banten tahun 2007 mencapai Rp 30 miliar.
Lumbung dana lain yakni di wilayah Jawa Tengah. Data Januari 2010, jumlah jamaah aktif di Jateng mencapai 1.900 personil dan mampu menyetor dana hingga Rp 1,86 miliar per bulan. Di Jateng, jaringan paling banyak berada di Semarang, Yogyakarta, dan Purwokerto.
Imam Supriyanto, pria yang mengaku mantan Menteri Peningkatan Produksi Pangan NII mengatakan, dana yang terkumpul jaringan NII KW 9 sejak tahun 1992 hingga saat ini mencapai Rp 350 miliar. Sebagian dana itu digunakan untuk membiayai pendidikan 2.500 santri di Al Zaytun. Setiap santri hanya dikenakan biaya sekitar 3.500 dollar AS selama enam tahun belajar.
"Dipermukaan bilangnya subsidi dari yayasan. Dari mana uang yayasan? Itu 80 persen kegiatan Ponpes dibiayai NII," kata pendiri Yayasan Pesantren Indonesia yang menaungi Ponpes Al Zaytun itu.
Mantan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) AM Hendropriyono juga mensiyalir dana pembangunan Ponpes mewah itu berasal dari hasil kegiatan NII. "Disinyalir uangnya dari hasil mempengaruhi anak-anak untuk masuk menjadi anggota NII. Disuruh nyumbang untuk bikin pesantren ini," kata Hendro.
Mengutip Kompas, Panji membantah jika dirinya dan Al Zaytun dikaitkan dengan NII KW 9. Panji mengatakan, NII yang diributkan akhir-akhir ini sudah mati. "Dalam sejarahnya memang ada NII yang diproklamasikan tahun 1945 dan diperjuangkan sampai 1962. Setelah itu NII selesai. Bahkan, pendirinya sudah menganjurkan pengikutnya kembali ke bumi pertiwi Indonesia. Kalau NII sudah tidak ada, kenapa saya dikait-kaitkan dengan NII. Saya terkait dengan apa kalau begitu," kata dia.
"Tidak dulu dan tidak sekarang, NII itu sudah usai. Saya ini pendidik dan ingin mengindonesiakan anak-anak ini. Tidak ada niatan cuci otak. Kalau ada tuduhan semacam itu, saya pikir itu omong kosong dan berlebihan. Saya sehari-hari di sini, bagaimana bisa cuci otak. Saya tidak paham," tambah Panji.

Al-Zaytun tak sebarkan ideologi NII

Menurut Imam, 15 pengurus Al Zaytun adalah pejabat aktif di NII KW 9. Meski demikian, kata dia, orang tua tidak perlu khawatir menitipkan anaknya di Al Zaytun lantaran tak ada ajaran tentang NII kepada santri. Pengurus Ponpes tak akan secara terbuka menyebarkan ideologi NII agar tidak terbongkar sepak terjang NII di Al Zaytun.
Pernyataan Imam itu senada dengan pernyataan Hendro, Amin, dan Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Boy Rafli Amar. Hendro mengatakan, hasil penyelidikan intelejen bersama Kementerian Agama, Kementrian Dalam Negeri, Kepolisian, dan Kejaksaan tidak ditemukan ideologi NII dalam sistem pengajaran di Al Zaytun.
"Kita lihat apel bendera (nyanyi) Indonesia Raya. Kita lihat ada Pancasila di ruangan kelas. Diselidiki oleh Kementerian Agama tentang pendidikan Islamnya, tidak ada yang aneh. Dari pendidikan, tidak ada kurikulum yang ekstrem. Mereka diajari wawasan kebangsaan. Saya seperti melihat anak Taruna Nusantara aja," ucap Hendro.
Sumber :http://lipsus.kompas.com/nii

Mereka Direnggut dari Keluarga

Penulis: Icha Rastika
nii

Selama kurang lebih sepuluh tahun, Nani (nama samaran) tidak lagi melihat wajah ketiga putrinya, Nuni Juhardini, Neni Mindayani, dan Lela. Di awal tahun 2001 mereka meninggalkan rumah tanpa alasan jelas. Hanya sebuah surat yang menjelaskan kepergian Nuni dan Neni. Sedang, Lela pergi tanpa pesan.
Berikut petikan surat tulisan tangan Nuni dan Neni yang dikirim untuk Ibunya.
"Mama, Neni dan Nuni enggak akan pulang lagi. Jadi, enggak usah lagi pikirin dan khawatir sama kita, atau sampai nangis segala. Karena itu hanya nyusahin Mama saja. Neni dan Nuni sudah dewasa, sudah bisa menilai mana yang benar dan mana yang salah. Kita berdua yakin ini lah jalan yang benar karena mengikuti Allah dan Rasul-Nya. Apa yang kita lakukan semuanya tanggungjawab kita karena setiap diri bertanggungjawab atas dirinya. Dan kita pun berbuat ini bukan mengikuti hawa nafsu atau kata guru, tapi semata-mata mengikuti ayat Allah. Juga karena takut kita kepada Allah lebih besar dari pada yang lain. Masalah rejeki, Neni dan Nuni yakin akan Allah kasih. Kalau Mama mau ikut jalan yang sama dengan kita yaitu ikuti ayat Allah, insya Allah kita bisa berkumpul kembali seperti dulu. Semua itu atas petunjuk Allah."
Membaca surat dari kedua putrinya itu, Nani semakin mengkhawatirkan kondisi buah hatinya. Rasa rindu bercampur cemas tak lagi mampu dibendungnya. Ia lantas melaporkan kehilangan dua putrinya itu ke Polsek Kebun Jeruk, Jakarta Barat pada Januari 2001. Namun, hingga kini ketiga putrinya tak kunjung pulang ke pelukan.
Kemalangan serupa sempat dialami pasangan Rostina dan Abdul Muntholib, warga Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Pasangan suami istri itu sempat kehilangan anaknya, Mahathir Rizki (19) yang menjadi mahasiswa Universitas Muhamadiyah Malang (UMM). Mahasiswa semester dua Fakultas Teknik Jurusan Teknologi Informasi tersebut hilang sejak 25 Maret 2011. Untungnya, Pada 26 April, Rizki kembali ke rumahnya.
Rizki adalah salah satu dari 10 mahasiswa UMM yang diduga merupakan korban cuci otak. Selama menghilang, kepada kedua orangtuanya, Rizki sempat menyampaikan pesan serupa dengan Nuni dan Neni. Saat menghubungi orangtuanya melalui telepon pada 19 April, Rizki mengaku hidup tenang di suatu tempat dan enggan pulang ke rumah ataupun kembali berkuliah. Belakangan diketahui, ia telah bergabung dalam kelompok Negara Islam Indonesia (NII). Selama menghilang, Rizki mengaku berada di sebuah daerah di Semarang, Jawa Tengah.

Tak ada habisnya

Laporan orang hilang yang diduga terkait dengan NII seolah tidak ada habisnya. Sejak awal tahun ini hingga Mei misalnya, Kepolisian Daerah Metro Jaya memperoleh satu laporan orang hilang yang diduga terkait dengan jaringan NII. Kepala bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes (Pol) Baharudin Djafar, Selasa (10/5/2011) menyampaikan, laporan orang hilang terkait NII diterima Polda pada 2 Mei. Pelapor adalah Syarifah Fauziah, warga Pamulang, Tangerang Selatan. Syarifah mengaku, anaknya, R bersama menantunya, C terlibat dalam jaringan NII. R diketahui bergabung dengan NII sejak 2005. Sementara C yang dikabarkan menjadi bupati NII, bergabung sejak 1997.
"Keduanya masih bisa berkomunikasi dengan keluarga, tetapi keluarga tidak suka anaknya masuk ke dalam NII. Syarifah ini juga mengaku menantunya jadi bupati, kita coba buktikan pengakuan ini," kata Baharudin.
Laporan serupa juga diterima NII Crisis Center, organisasi yang memberi bantuan konseling kepada mereka yang merasa menjadi korban gerakan NII. Ketua Tim Rehabilitasi NII Crisis Center, Sutanto mengungkapkan, dalam dua bulan terakhir, pihaknya menerima 80 laporan orang hilang. Namun, hanya 34 di antaranya yang terbukti berkaitan dengan NII. "setelah kita konfirmasi baru 34 orang yang hilang dan riil berkaitan dengan NII," kata Sutanto kepada Kompas.com, Rabu (11/5/2011). Sejak 2007 hingga kini, lanjut Sutanto, NII Crisis Center berhasil mengeluarkan 300 orang dari kelompok NII. Jaringan ini, menurutnya, banyak menyasar kalangan mahasiswa untuk direkrut sebagai anggota baru. Para korban perekrutan, kata Sutanto, umumnya menghilang dari rumah demi menjalani program-program NII. Sepak terjang kelompok ini dinilainya menimbulkan kerugian baik bagi si korban sendiri, keluarga, maupun orang di sekitar korban.

Berantakan

Kekacauan hidup dialami Rika (nama samaran) setelah anaknya Dino (nama samaran) bergabung dengan geraka ini. Kuliah Dino berantakan. Dino yang sempat bergabung selama setahun yakni 2007-2008 itu terpaksa pindah kampus demi menghindari anggota-anggota NII yang terus mengejarnya meskipun Dino memutuskan untuk keluar. "Kuliahnya keluar, ini juga yang bikin saya dendam, masa depan anak saya rusak," tutur Rika.
Ia kemudian menceritakan bagaimana awal mulanya pihak keluarga mengetahui keikutsertaan Dino dalam NII. Menurut Rika, ia curiga anaknya bergabung dalam NII setelah Dino tiba-tiba berubah sikap. Dino yang dulu perhatian terhadap keluarga berubah menjadi jauh dari keluarga. Anaknya itu, kata Rika, kerap pulang malam dan sering mengurung diri di kamar.
"Jadi jarang di rumah, pulang malam, enggak pernah ngumpul sama keluarga, diajak acara keluarga yang biasanya mau, sekarang enggak. Lebih sering di kamar, mengurung diri," paparnya. Anehnya lagi, lanjut Rika, putranya tampak sangat lengket dengan ponsel. Dino seolah enggan melepas ponsel dari genggamannya sedikitpun.
"Pas ke toilet dibawa, pas tidur, itu hp (handphone) ditaruh di perutnya. Dia enggak akan membiarkan handphone itu dilihat orang. Ternyata, kegiatannya 24 jam dipantau terus sama jaringannya. Saya kalau ingat itu, rasanya emosi," ungkap Rika.
Bukan hanya berubah sikap, menurut Rika, putranya itu juga kerap meminta sejumlah uang kepadanya. Berbagai alas an digunakan Dino untuk mengorek kantong orangtuanya. Mulai dari untuk membayar keperluan kuliah hingga untuk menggantikan laptop temannya yang hilang.
"Katanya, ngilangin laptop temannya seharga Rp 25 juta, jadi harus ganti. Ya sudah, dikasih 25 juta untuk mengganti. Setelah itu, pokoknya urusannya duit terus. Untuk kuliah, praktik, beli buku," ujar Rika. Selama setahun, tuturnya, keluarga sudah mengeluarkan uang lebih dari Rp 100 juta untuk memenuhi permintaan Dino. Sampai akhirnya, Rika nekat melaporkan Dino ke polisi karena sudah tidak tahan menghadapi ulah putranya itu. Dino dilaporkan karena mencuri laptop Rika.
"Karena katanya orang NII itu takut kalau sudah sampai ke polisi. Saya ingin kasih pelajaran ke anak saya. Ini tahun 2008. Saya minta polisi memeriksa sampai dia ngaku NII, beberapa hari lah dia di kantor polisi, tapi enggak di sel. Hanya di ruangan untuk diperiksa. Sampai akhirnya dia ngaku," ungkap Rika.
Akhirnya, upaya Rika berhasil. Dino mengaku telah bergabung dengan NII kemudian berhasil dikeluarkan dari jeratan NII atas arahan NII Crisis Center.

Perubahan Sikap

Pengalaman senada dialami Yati (nama samaran). Putrinya yang bernama Ratih (nama samaran) bergabung dengan NII selama setahun. "Saat baru masuk kuliah, sekarang sudah selesai kuliah, kejadiannya pada 2007," katanya.
Yati yang adalah anggota Kepolisian mencurigai putrinya menjadi korban NII setelah melihat perubahan sikap Ratih. Sama halnya dengan Dino, Ratih sering pulang malam dan mengunci diri di kamar. "Dia berubah, jadi enggak mau gabung dengan keluarga. Biasanya enggak pulang malem, jadi pulang malem. Entah ke mana. Sampai rumah, mengunci diri di kamar. enggak tahu ngapain," kata Yati.
Selain itu, lanjutnya, Ratih juga sering meminta sejumlah uang kepada Yati dengan berbagai alasan, termasuk untuk mengganti laptop temannya yang hilang. "Saya bilang (ke dia), kalau hilang di kampus, lapor polisi, biar digeledah polisi. Akhirnya (dia) enggak jadi (minta),” ujarnya.
Putrinya itu, lanjut Yati, juga pernah meminta uang dengan alasan untuk membantu biaya pengobatan ibu temannya hingga untuk membantu temannya membayar rumah yang akan disita. "Tapi enggak saya kasih," tuturnya Yati.
Sampai pada akhirnya, Yati terpaksa mengeluarkan uang Rp 2,5 juta ketika seseorang yang mengaku teman Ratih meminta pertangungjawabanya untuk mengganti laptop orang itu yang katanya telah dihilangkan Ratih.
"Saya bilang, lapor polisi, tapi enggak mau juga. Ya sudah, akhirnya janji ketemuan di sebuah mall di Jakarta Selatan. Dia minta ganti 8 juta. Minta ketemunya malam. Dan minta harus lunas, karena katanya buat pengobatan ibunya. Pas ketemu, saya kaget, kok anaknya enggak kayak anak kost yang biasanya sederhana. Rambut dicat, saya enggak nyangka anak saya punya teman kayak gitu. Akhirnya, saya kasih 2,5 juta," papar Yati.
Selanjutnya, kata Yati, putrinya itu masih terus berupaya meminta uang dengan berbagi alasan seperti untuk biaya perkuliahan. Bahkan, katanya, Ratih tega membohongi orangtuanya. "Untuk (bayar) lab Rp 900 ribu padahal cuma Rp 90 ribu. Saya tanya ke kampusnya dan akhirnya saya tahu, anak saya bohong,” tuturnya.
Meskipun demikian, Yati merasa bersyukur bahwa sekarang putrinya lepas dari jeratan NII. Berkat upaya keluarga dan bantuan NII Crisis Center, menurut Yati, putrinya berhasil lulus kuliah dan bekerja. Ia lantas mengimbau kepada setiap orangtua agar mulai waspada terhadap bahaya NII. Menurutnya, selain merugikan secara materi, ajaran NII merusak masa depan putra-putri bangsa.
“Saya sebagai orangtua, selain materi ya, batin, karena anak saya terancam masa depannya. Kita harus waspada, biasakan tahu aktivitas anak, kenali perubahannya,” kata Yati.

© 2011 - KOMPAS.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar, masukan yang sifatnya membangun blog ini.

Cari Blog Ini