LAPORAN DARI GRONINGEN (3)
Ketegasan Aparat Penegak Hukum Perlu untuk Berantas Aksi Kekerasan Atas Nama Agama
Kamis, 23 Desember 2010 , 07:30:00 WIB
Laporan: A. Supardi Adiwidjaya
RMOL. Pemerintah RI, melalui Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Agama, menggelar dialog antar-agama di Spanyol untuk memberikan penjelasan yang proporsional tentang kehidupan beragama dan kebebasan beragama di Indonesia secara konstitusional.
Demikian disampaikan Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama RI, Abdul Fatah, dalam bincang-bincang dengan
Rakyat Merdeka Online di waktu rehat diskusi panel antara sejumlah
prominent persons (tokoh di Indonesia dengan kalangan akademisi) berbagai elemen masyarakat di Belanda dengan tema
Democracy, National Identity and Multiculturalism.
Panel diskusi tersebut diselenggarakan oleh KBRI Den Haag bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI dan Perhimpunan Pelajar Indonesia Groningen di Nh Hotel, Groningen, Belanda (Jumat, 17/12)
Menurut Abdul Fatah, banyak negara-negara yang punya kerjasama bilateral dengan Indonesia itu agak kaget, ketika dijelaskan kehidupan beragama dan kebebasan beragama di Indonesia yang sesungguhnya terjadi.
Selama ini, lanjut Kepala PKUB Kemenag RI ini, informasi-informasi yang diterima melalui media-media massa ternyata ini informasi sporadis dan tidak integral, parsial, terutama yang sifatnya itu kasusistik. Meski memang tidak menutup kenyataan bahwa kasus-kasus ada. Tapi konstitusi kita dan kehidupan masyarakat sebagian besar di Indonesia tidak seperti kasus-kasus yang diungkap.
“Itulah sebabnya kami mempunyai kerjasama bilateral di bidang
interfaith, baik sebagai tuan rumah sering kita lakukan paling tidak dengan tiga atau empat negara. Lalu kita juga mengunjungi beberapa negara setiap tahun ke tiga atau empat negara,” terang Kepala PKUB Kemenag RI itu.
Lebih lanjut Abdul Fatah mengungkapkan, pertemuan
interfaith dialogue yang digelar pada tanggal 14-15 Desember 2010 di Madrid (Spanyol) itu oleh Kementerian Kehakiman Spanyol bekerjasama dengan KBRI Madrid. Dan ini sudah merupakan sebuah kegiatan yang diaransir sejak lama, tapi dengan Spanyol baru dilaksanakan pertama kalinya. Aransemennya memang dari Kemlu RI, kalau penyelenggaraannya adalah Kementerian Kehakiman Spanyol dan
Kementerian Agama RI bersama dengan
KBRI Madrid.
Pembicaraan yang paling menarik di sana, menurutnya, adalah beberapa pembicaraan itu menghasilkan kesepakatan-kesepakatan. Di mana kesepakatan kita adalah sebuah kerjasama di bidang penjaminan kebebasan beragama bagi masing-masing warganegara. Hal-hal yang dibicarakan itu yang menyangkut demokrasi, kebebasan beragama, menyangkut konstitusi kita didalam menjamin hak-hak dan kebebasan warganegaranya.
Hal itu sangat menarik, lanjutnya, karena kalau kita komparasi atau bandingkan, ternyata Indonesia lebih baik di dalam mengelola perbedaan-perbedaan agama ini. Karena agama yang berada di Indonesia itu memang yang dilayani pemerintah hanya enam. Tapi, ada agama yang selain enam agama itu juga ada agama yang tidak dilarang di Indonesia. Sementara etnis, sukubangsa di Indonesa berjumlah lebih 300. Nah, di Spanyol tidak sebanyak itu, tidak sekompleks itu,
variable-nya tidak banyak. Jadi mereka lebih tidak disibukkan oleh persoalan-persoalan, perbedaan-perbedaan, baik itu suku, agama, ras, maupun agama.
Tadi anda katakan ada enam agama yang dilayani pemerintah dan apa yang terjadi dengan Ahmadiyah?
Begini, kalau Ahmadiyah, itu sebenarnya bukan persoalan perbedaan agama. Ini menyangkut persoalan-persoalan internal agama Islam, di mana
mindset umat Islam di Indonesia itu berbeda dengan pemahaman Ahmadiyah, yang juga mengaku Islam. Nah, persoalan internal ini sudah pernah kita tawarkan kepada Ahmadiyah. Pemerintah sudah pernah berdialog dengan Ahmadiyah, silakan memilih mau tetap Islam, tetapi
mindset Islam mayoritas itu jangan dinodai. Atau anda melaksanakan keyakinan anda seperti ini, tapi jangan mengatas namakan Islam. Katakanlah agama Ahmadiyah. Pemerintah akan melindungi dan memberikan kebebasan kepada anda.
Nah, sehubungan dengan ini, Ahmadiyah membuat 12 butir pernyataan, bahwa dia sanggup tidak menyinggung perasaan umat Islam mayoritas di Indonesia dengan tidak mengutik-utik akidahnya. Namun demikian, setelah dua tahun berjalan kita evaluasi, masih belum ada perubahan. Tapi ini kan memang tidak bisa seketika. Kita tetap akan berupaya mendekatkan perbedaan itu secara internal, walaupun sebetulnya ini bukan domainnya pemerintah. Persoalan di dalam (intern) agama itu adalah domain umat beragama itu sendiri.
Tapi ketika nanti akan terjadi gangguan keamanan dan ketertiban, baik itu yang ditimbulkan oleh Ahmadiyah, maupun yang ditimbulkan oleh umat Islam yang lain, aturan pemerintahan akan kita tegakkan, sanksi akan kita lakukan. Dan itu sudah kita lakukan. Jadi kelompok yang berbuat anarkis dan mengganggu fasilitas umum, siapapun yang punya fasilitas-fasilitas umum itu, apakah itu milik Ahmadiyah atau milik siapa akan kita proses secara hukum.
Pada kenyataannya terdapat tindakan-tindakan yang boleh dibilang menjurus ke perbuatan kriminal dalam menangani atau mengatasi persoalan yang berkaitan dengan perbedaan agama. Ada kasus pembakaran, penyegelan. Bagaimana pendapat anda, usaha untuk menyelesaikannya?
Sebenarnya kalau untuk menyelesaikan itu gampang. Sepanjang kedua belah pihak menyadari posisi masing-masing. Artinya perbedaan intern kita sikapi, bahwa ini sebuah khasanah yang memang suatu keniscayaan perbedaan itu. Tapi persoalan sekarang perbedaan antara Amadiyah dengan Islam
mainstream di Indonesia ini sudah merupakan perbedaan-perbedaan pokok yang sudah tidak bisa disatukan.
Jadi kalau umat Islam menyatakan Nabi terakhir itu Nabi Muhammad, di mana Ahmadiyah menyatakan punya Nabi setelah itu. Kalau kitab sucinya Al Quran untuk umat Islam,
Ahmadiyah punya kitab suci yang lain selain Al Quran. Nah ini yang menjadikan persoalan. Jadi, menurut saya, sederhana sekali penyelesaiannya. Ahmadiyah kembali kepada ajaran bahwa Islam itu Nabi terakhirnya adalah Nabi Muhammad, kitab sucinya adalah Al Quran, silakan dia punya kitab suci yang lain, tetapi tidak sejajar dengan kitab suci Al Quran. Silakan dia mengkultuskan orang lain, tapi tidak disejajarkan dengan Nabi Muhammad. Atau, jika Ahmadiyah mau tetap mempunyai iman seperti itu, maka Ahmadiyah men-
declare saja, bahwa agama saya Ahmadiyah, bukan agama Islam. Maka akan selesai lah masalah itu.
Bagaimana, jika Ahmadiyah sepakat, apakah pemerintah akan mengakui keberadaan agama Ahmadiyah itu?
Di Indonesia, pemerintah itu tidak punya kewenangan mengakui atau melarang, hanya melayani. Enam agama, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu-chu itu tidak pernah diakui oleh pemerintah. Tapi karena amanat UU No.1 PNPS tahun 1965, pemerintah harus melayani enam agama ini dalam kepentingan administrasi, keagamaan, misalnya perkawinan dan lain sebagainya, dan dalam pendidikan agama. Agama-agama lain di Indonesia tidak dilarang. Di sana ada Tao (Taoisme), ada Shinto dan lain-lain dibiarkan saja, tidak dilarang, tapi tidak dilayani pemerintah. Selama penganut-penganut agama dimaksud tidak mengganggu ketertiban umum, selama tidak menodai agama lain yang dilayani pemerintah.
Mengenai tindakan kekerasan, dan siapapun yang bertindak menodai agama ada surat keputusan bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung yang isinya adalah peringatan keras bagi siapapun yang bertindak anarkis dan siapapun yang menodai agama, koridornya adalah KUH Pidana. Kalau tentang penodaan agama dipasang pasal 156 huruf (a) KUH Pidana agama, ancaman hukumannya 5 tahun. Tapi kalau kriminal itu menurut tingkatannya, kalau sampai pembunuhan tentu yang dipakai pasal mengenai pembunuhan. Kalau pengrusakan fasilitas umum pidana yang dijatuhkan berdasarkan pasal 408 KUHP maksimum hanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan.
Jadi peringatan itu sudah diberikan kepada pengikut Ahmadiyah pada tahun 2008, dan sejak itu sampai saat ini, alhamdulillah, agak berkurang walaupun belum sepenuhnya hilang. Tapi ada manfaatnya peringatan itu dibuat oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung.
Tampaknya sejauh ini tindakan dari aparat keamanan dalam menangani tindakan kekerasan, yang berkaitan dengan konflik antara umat beragama itu, katakanlah, masih jauh dari harapan masyarakat.
Kalau itu, saya kira, bukan masalah yang mendasar. Ini bisa kita lihat pertama, jumlah aparat keamanan. Yang kedua, kegamangan aparat keamanan di era reformasi dalam bertindak. Karena kalau aparat keamanan ringan tangan untuk bertindak itu pasti urusannya berkaitan dengan perundang-undangan.
Jadi di sini ini perlu terobosan-terobosan untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas jumlah aparat keamanan, dan
confidence (kepercayaan diri) aparat itu, bahwa dia bersikap ketika sudah berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan itu tidak perlu takut, begitu saja.
Ketika kita berbicara dalam forum-forum interfaith dialogue menawarkan sebagai contoh kerukunan umat beragama, menghormati pluralisme dalam masyarakat, tapi apa yang terjadi di Indonesia, misalnya, cukup banyak terjadi berbagai tindakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan yang timbul tentang perbedaan agama itu. Bagaimana, menurut anda, cara penyelesaiannya, agar di masyarakat kita terdapat benar-benar terlihat dalam praktek keharmonisan sesungguhnya?
Jadi kita harus kembali kepada
law enforcement. Jadi penegakan hukumlah yang bisa menyelesaikan persoalan-persoalan itu. Kalau pemahaman-pemahaman keagamaan, saya kira, agama apapun juga pasti ada yang kelompok radikal dan liberal. Apa saja agamanya, tidak hanya Islam, juga Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu-chu. Tapi kalau ini sekedar pemahaman keagamaan untuk kepentingan keberagamaan dia, ini kan tidak bisa diganggu gugat. Ini adalah hak asasi seseorang untuk mengekspresikan dan meyakini kepercayaannya.
Tetapi kalau sudah masuk pada ruang publik yang bisa mengganggu keamanan dan ketertiban, ini apapun dalihnya mau soal agama, mau soal politik, mau soal ekonomi, kesenjangan sosial, itu sudah perbuatan kriminal yang ada sanksi hukumnya.
Nah satu-satunya jalan adalah ya
law enforcement, penegakan hukum. Kalau orang berkeyakinan agama sekeras apa pun silakan saja, sah-sah saja, sepanjang dia tidak mengganggu orang lain yang punya keyakinan beda. Atau orang itu mempunyai keyakinan yang sangat liberal, bahwa agama itu atau kitab suci itu bisa dirubah sekalipun, silakan saja kalau itu hanya untuk dirinya sendiri. Tetapi jangan menganjurkan ini ke masyarakat yang bisa mengganggu keamanan dan ketertiban. Itu sudah menodai agama.
Tapi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang terhadap orang-orang Ahmadiyah, atau penyegelan beberapa rumah yang digunakan untuk tempat ibadah agama Kristen, tampaknya kok dibiarkan saja atau tampaknya ada pembiaran oleh aparat keamanan. Komentar anda?
Kalau dibilang pembiaran, itu keliru. Saya kira, bukan pembiaran. Saya kira, opini yang diciptakan oleh media-media memang ada kepentingan-kepentingan tertentu untuk mengopinikan seperti itu. Itulah sebabnya, harus kita kaji lebih lanjut adakah gerakan-gerakan keagamaan itu berdasarkan kepentingan agama, atau berdasarkan kepentingan non-agama.
Nah inilah yang yang harus kita kaji lebih lanjut. Sebab kalau berdasarkan kepentingan agama, tidak mungkin agamanya menganjurkan orang untuk merugikan orang lain.
Selama ini kita tidak pernah secara cerdas dan arif menyikapi dan memandang peristiwa-peristiwa itu, kasus-kasus itu. Saya yakin, semua agama yang terdapat di dunia ini tidak ada agama yang menganjurkan umatnya untuk berbuat anarkis, apalagi merugikan atau bahkan sampai menyakiti orang lain.
Persoalannya, jika aparat keamanan itu bertindak sesuai dengan tugasnya untuk penegakan hukum, bisa dipastikan setidaknya bisa mencegah perbuatan anarkis atau tindakan kekerasan dari orang atau sekelompok orang terhadap orang lain. Bukankah demikian?
Kalau tindakan tegas aparat keamanan, lalu diproses secara hukum memang tidak menyelesaikan akar persoalannya. Karena akar persoalannya sudah bukan dalam koridor hukum, bisa koridor agama, koridor politik atau koridor-koridor yang lain. Tapi paling tidak, kalau diselesaikan secara hukum dengan aparat keamanan, maka orang akan menjadi berfikir, ketika dia akan melanggar hukum. Bukan melanggar keyakinannya. Nah, oleh sebab itulah, maka sekarang ini kita selalu menggalakkan sebuah kegiatan-kegiatan moderasi untuk pemahaman agama di Indonesia, apapun agamanya. Dan saya tahu persis seperti itu, karena apa, karena saya tahu, bahwa kelompok-kelompok agama yang lain pun ada yang radikal. Walaupun tidak muncul di permukaan.
Nah oleh karena itu, pengembangan wawasan multi kultural menjadi sebuah program yang tidak bisa ditunda lagi, yang sekarang dilakukan oleh Kementerian Agama melalui Pusat Kerukunan Umat Beragama, di mana pengembangan wawasan multikultural dalam konteks wawasan kebangsaan, kita selalu menjunjung tinggi toleransi, dan memahami perbedaan-perbedaan yang ada. Itulah yang sekarang ini perlu kita kembangkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ini secara mendasar. Pada hekekatnya kasus-kasus yang terjadi itu adalah mengeksplorasi perbedaan untuk dijadikan sebuah tindakan. Nah, bagaimana sekarang kita bisa me-
manage perbedaan itu bukan untuk dieksplorasi menjadi kasus, tetapi dieksploirasi menjadi sebuah potensi.
Sekaitan seringnya melakukan tindakan kekerasan yang pada hakekatnya adalah perbuatan atau tindakan pelanggaran hukum, ada suara-suara apakah tidak sebaiknya organisasi semacam FPI itu dibubarkan saja?
Indonesia mempunyai UU tentang keormasan. Yaitu UU Keormasan No.18 tahun 1986 di mana untuk membubarkan organisasi massa itu ada tahapan-tahapan. Jadi kalau kita mau membubarkan FPI apa alasannya. Karena apa? Karena kan kalau toh ada kasus-kasus yang melibatkan oknum-oknum FPI dengan bendera FPI, kita harus lihat apakah kebijakan organisasinya seperti itu. Kan jika kebijakan organisasinya tidak seperti itu, kita tidak bisa membubarkan organisasinya. Dan sama juga kasus-kasus organisasi yang lain, misalnya, kalau ada oknum-oknumnya sebagian atau sebagian kecil yang melanggar undang-undang, kita kan tidak bisa begitu saja membubarkan organisasi itu tanpa melihat AD dan ART-nya. Sepanjang AD dan ART-nya tidak bertentangan dengan kebijakan organisasi itu, kita tidak bisa membubarkan organisasi itu.
Jadi oleh karena itu, begini, memang ketegasan aparat penegak hukum ini perlu untuk memberantas aksi-aksi kekerasan yang mengatas namakan agama. Oleh sebab itu kita membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sampai ke tingkat kabupaten kota. Seluruh kabupaten kota di Indonesia sekarang ini sudah ada 410 FKUB untuk mendeteksi, salah satunya, hal-hal seperti itu.
Ketika terjadi aksi-aksi oleh sekelompok orang yang mengatas namakan agama yang pada hakekanya menodai agama, segera FKUB lapor kepada aparat keamanan atau penegak hukum. Nah, aksi-aksi kekerasan yang mengatas namakan agama tersebut dengan demikian semakin berkurang. Satu-dua memang masih ada, tetapi kecenderungan kekerasan dimaksud sejak tahun 2006 ke sini itu sudah jauh berkurang, dibanding sebelum tahun 2006.
[yan]
Sumber : rakyatmerdeka.co.id. 23 Desember 2010.
MINTA PERLINDUNGAN
Anggota DPR dari PDIP Gayus Lumbun (kiri) didampingi Sukur Nababan (kanan) saat menerima pengaduan Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP) Betania Rancaekek Bandung, di Gedung DPR (Selasa 21/12). HKBP mengadu terkait penyerangan terhadap rumah Ibadah di Betania Rancaekek Bandung, serta meminta agar pemerintah memberi perlindungan terhadap HKBP Betania Rancaekek Bandung menjelang Natal 25 Desember mendatang.
WAHYU DWI NUGROHO/RM
Sumber :rakyatmerdeka.co.id.