Pidato Muzadi dan Intoleransi
Victor Silaen* | Rabu, 20 Juni 2012 - 14:03:07 WIB
Dibaca : 59
(dok/ist)Ini menunjukkan bahwa tingkat toleransi beragama masyarakat ternyata masih rendah.
Nama KH Hasyim Muzadi kerap
disebut-sebut dalam media-media sosial akhir-akhir ini. Pasalnya,
pidato mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini, akhir
Mei lalu, begitu tegas membantah tudingan tentang adanya intoleransi
agama di Indonesia.
Pidato yang disampaikan Muzadi di Sidang PBB di
Jenewa, dalam kapasitasnya sebagai Presiden World Coference on
Relegions for Peace (WCRP), itu antara lain menyinggung soal GKI
Yasmin dan menyebut Indonesia sebagai negara muslim.
“Selama berkeliling dunia, saya
belum menemukan negara muslim mana pun yang setoleran Indonesia.
Kalau yang dipakai ukuran adalah masalah Ahmadiyah, memang karena
Ahmadiyah menyimpang dari pokok ajaran Islam, namun selalu
menggunakan stempel Islam dan berorientasi politik Barat,” ujarnya.
Ia mengatakan, seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri, pasti
tidak akan dipersoalkan oleh umat Islam. “Kalau yang jadi ukuran
adalah GKI Taman Yasmin Bogor, saya berkali-kali ke sana, namun
tampaknya mereka tidak ingin selesai. Mereka lebih senang Yasmin
menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan lain daripada
masalahnya selesai,” kata Muzadi.
Saya ingin mengkritik beberapa hal
terkait pidato tersebut. Pertama, tepatkah mengatakan Indonesia
adalah “negara muslim”? Istilah ini sungguh absurd. Kalau
“muslim” berarti “orang-orang yang beragama Islam”, apakah
Indonesia merupakan negara untuk orang-orang yang beragama Islam
saja? Jelas tidak. Atas dasar itu ke depan, siapa pun hendaknya tak
lagi menyebut Indonesia sebagai “negara muslim”.
Tidakkah teramat
jelas bagi kita bahwa Indonesia bukanlah sebentuk negara agama,
melainkan negara berdasarkan Pancasila? Dalam Pancasila memang ada
sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun,
bukankah sila tersebut sama sekali tak menyebut agama tertentu?
Kedua, apa maksud Muzadi mengatakan
“... tampaknya mereka tidak ingin selesai. Mereka lebih senang
Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan lain
daripada masalahnya selesai”? Muzadi jelas harus bertanggung jawab
atas ucapannya itu.
Ini karena sepanjang yang saya ketahui langsung
dari jemaat maupun kuasa hukum GKI Yasmin, mereka justru ingin
mendapatkan penyelesaian atas masalah ini selekas mungkin.
Itu
sebabnya, meski pihak GKI Yasmin secara hukum sudah jelas “menang”
di tingkat Mahkamah Agung (MA), yang lalu diperkuat dengan
rekomendasi Ombudsman, mereka masih mau juga diajak memperbincangkan
masalah ini, entah itu dengan pihak Kementerian Dalam Negeri, DPR,
atau lainnya.
Bahkan kemudian, pihak GKI Yasmin bersedia diundang
oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang Hukum
dan HAM Albert Hasibuan—termasuk dengan pihak Dewan Ketahanan
Nasional (Wantanas)—untuk membahas masalah ini.
Ketika awal Mei
lalu akhirnya Wantimpres (bersama Wantanas) merekomendasikan solusi
atas kasus GKI Yasmin versus Pemkot Bogor ini adalah “membangun
masjid di samping gedung GKI Yasmin, sehingga dengan begitu ada
semacam simbol kerukunan beragama dan toleransi beragama”, pihak
GKI Yasmin pun dengan senang hati menerimanya.
Namun, kalau rekomendasi tersebut
ternyata tak juga diterima oleh Wali Kota Bogor, pantaskah pihak GKI
Yasmin yang dipersalahkan? Ataukah pihak GKI Yasmin hanya dapat
dibenarkan jika mereka “menerima tawaran untuk bersedia
direlokasi”—sebagaimana yang selalu dikatakan pihak Pemkot Bogor
dan Kemdagri sebagai solusi atas masalah ini? Tampaknya solusi
tersebut memang baik.
Namun, tak pernahkah terpikir oleh Wali Kota
Bogor Diani Budiarto dan Mendagri Gamawan Fauzi (termasuk Presiden
Yudhoyono, yang pernah berjanji pada 16 Desember 2011, di rumahnya
sendiri di Cikeas, untuk turun tangan langsung menyelesaikan masalah
ini), bahwa solusi “relokasi” tersebut merupakan sebentuk
pelecehan terhadap putusan MA dan rekomendasi Ombudsman yang
memerintahkan Wali Kota Bogor untuk taat hukum?
Jadi, siapa sesungguhnya yang tak
ingin masalah ini selesai? Kalau Muzadi mengatakan “Mereka lebih
senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan
lain...”, mohon dijelaskan secara bertanggung jawab: siapa yang
lebih senang masalah ini tak selesai dan apa yang dimaksud
kepentingan lain itu?
Bagi pihak GKI Yasmin, apa untungnya beribadah
secara “gerilya”, kali ini di rumah warga dan kali lain di depan
Istana Merdeka—setelah sekian lama mereka beribadah di trotoar
dekat gereja tapi kemudian dihalau massa intoleran? Sungguh, demi
bertahan dalam kebenaranlah mereka rela berjerih-lelah hingga kini.
Ketiga, tentang
Indonesia yang toleran menurut Muzadi, saya kira kita harus terbuka
menerima hasil pelbagai survei selama ini: bahwa Indonesia memang
kian intoleran dari era ke era. Berita dari situs tempo.co
(5/6/2012), yang mengutip hasil survei lembaga studi Center of
Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan, toleransi
beragama orang Indonesia tergolong rendah.
“Masyarakat menerima
fakta bahwa mereka hidup di tengah keberagaman. Tapi, mereka
ragu-ragu menoleransi keberagaman,” kata Kepala Departemen Politik
dan Hubungan Internasional CSIS, Philips Vermonte, dalam diskusi
bertajuk “Demokrasi Minim Toleransi” di kantornya, 5 Juni lalu.
Philips mencontohkan, masyarakat menerima kenyataan hidup bertetangga
dengan orang yang berbeda agama. Namun, masyarakat relatif enggan
memberikan kesempatan kepada tetangganya untuk mendirikan rumah
ibadah.
Dalam survei tersebut, 59,5 persen
responden tak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain.
Namun sekitar 33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya. Penelitian
dilakukan pada Februari lalu di 23 provinsi dan melibatkan 2.213
responden. Saat ditanya soal pembangunan rumah ibadah agama lain di
lingkungannya, 68,2 persen responden menyatakan lebih baik hal itu
tidak dilakukan.
Hanya 22,1 persen yang tidak berkeberatan. Philips
mengatakan hasil survei itu bisa menggambarkan persoalan mengapa
begitu banyak kasus pelarangan pembangunan rumah ibadah seperti kasus
GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia. “Ini menunjukkan bahwa tingkat
toleransi beragama masyarakat ternyata masih rendah,” kata Philips.
Terkait itu, tak
heran jika Indonesia menjadi sorotan sejumlah negara dalam Sidang
Universal Periodical Review (UPR) 2nd Cycle di Jenewa, 23 Mei lalu.
Bukankah fakta bicara bahwa dari era ke era selalu ada saja gereja
yang dirusak/ditutup paksa?
Bahkan di era Yudhoyono (2004-2010), ada
sekitar 2.442 gereja yang mengalami gangguan berupa perusakan dan
penutupan paksa (Manado Post, 17/5/2012). Itu baru gereja, belum
termasuk rumah ibadah umat lainnya.
Jadi, lebih bijaklah jika kita dengan
rendah hati mengakui bahwa ada yang salah di negara ini terkait
meningkatnya intoleransi dewasa ini. Pertama, sikap pembiaran dari
pemerintah. Kedua, pendidikan nilai-nilai Pancasila yang gagal.
Untuk
yang pertama, tak bisa tidak, supremasi hukum harus ditegakkan. Untuk
yang kedua, bukan proyek sosialisasi miliaran rupiah yang harus
dilakukan, melainkan para pemimpin yang harus memberi keteladanan
konkret di dalam kehidupan sesehari.
*Penulis adalah dosen FISIP Universitas
Pelita Harapan.
(Sinar Harapan)