Mengenai Saya

Foto saya
Shio : Macan. Tenaga Specialist Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar. Trainer Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar Negara Asing. Pengajar part time masalah Surveillance Detection, observation techniques, Area and building Analysis, Traveling Analysis, Hostile surveillance Detection analysis di beberapa Kedutaan besar negara Asing, Hotel, Perusahaan Security. Bersedia bekerja sama dalam pelatihan surveillance Detection Team.. Business Intelligence and Security Intelligence Indonesia Private Investigator and Indonesia Private Detective service.. Membuat beberapa buku pegangan tentang Surveilance Detection dan Buku Kamus Mini Sureveillance Detection Inggris-Indonesia. Indonesia - Inggris. Member of Indonesian Citizen Reporter Association.

Kamis, 10 Mei 2012

Agama : Epistemologi Keberanian Moral Irshad Manji


| Jodhi Yudono | Kamis, 10 Mei 2012 | 23:54 WIB

istimewa
Oleh GM Nur
"Tuhan tidak mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan dalam diri mereka sendiri" (Al Quran Surat Ar-Ra’d Ayat 11).
Ayat itu bagi feminis Islam asal Kanada, Irshad Manji adalah dasar pemikirannya mengenai agama global yang menurut dia, "Dinamika internalnya mempengaruhi begitu banyak kehidupan di luar agama itu sendiri" (Allah, Liberty and Love, hal. xxiv).
Dari penafsiran Manji atas ayat itulah garis pembeda yang tegas bisa ditarik antara ide-ide perempuan kelahiran Uganda 44 tahun lalu dengan pemikir Islam moderat seperti Abu A’la Mawdudi atau dengan persepsi Osama bin Laden tentang apa yang menyebabkan kemunduran Islam.
Jika Osama atau Mawdudi menyalahkan Barat, atas kapitalisme dan imperialisme, atas mundurnya Islam (relatif terhadap jaman kejayaan Islam masa Abbasyiah), maka Manji berkata sebaliknya.
Perempuan keturunan Mesir dan India itu menolak menyalahkan Barat atas relasi hegemoniknya dengan Islam, sebuah gagasan yang dikembangkan dengan canggih oleh pemikir Islam poskolonial seperti Edward Said atau Talal Asad. (Di Indonesia, alitan pemikiran ini diterapkan dengan sangat baik oleh Ahmad Baso dalam buku Islam Pascakolonial).
Jika aliran poskolonial Islam mencoba menarik garis genealogi hegemoni Barat atas Islam sampai pada masa penjajahan, maka Manji bersikeras bahwa persoalan dalam tubuh Muslim disebabkan dirinya sendiri tanpa harus menyalahkan Barat.
Ide bahwa Islam harus mengubah dirinya tanpa harus menyalahkan Barat inilah yang kembali disuarakan Irshad Manji dalam buku yang baru diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul "Allah, Liberty, and Love, Suatu Keberanian Mendamaikan Iman dan Kebebasan" oleh Meithya Rose Prasetya.
Manji dalam peluncuran bukunya beberapa waktu lalu (4/5) di Salihara, Jakarta Selatan bercerita bahwa buku ini ditulis berdasarkan pengalaman interaksinya dengan pembaca buku kontroversial pertama, "The Trouble With Islam Today: A Wake Up Call for Honesty and Change" (buku terjemahannya berjudul Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini).
Buku ini dipenuhi surat-surat dan percakapan antara Irshad Manji dan pembacanya.
Tujuh bab dalam buku setebal 338 halaman itu didahului oleh interaksi itu.
Dari percakapan dengan pembacanya itu Irshad Manji menyimpulkan bahwa prolem utama dalam tubuh Muslik tidak disebabkan oleh kapitalisme dan imperialisme ekonomi politik dan militer Barat sebagaimana sering diteriakkan dengan lantang oleh Islam garis keras dan kaum moderat.
Problem itu ada dalam tubuh muslim sendiri dan bernama ketakutan untuk menyuarakan apa yang diyakini. Absennya keberanian itu dapat dilihat dari surat-surat dan percakapan Manji dengan pembacanya.
Contohnya adalah sebuah tulisan dari seorang gadis Solo bernama Sakdiyah yang dikirim kepada Manji.
Di surat itu, Sakdiyah bercerita bahwa seminar-seminar tentang pluralisme yang dia selenggarakan sering dihentikan oleh kelompok Islam radikal di daerah tempat tinggalnya.
Bahkan Sakdiyah diancam oleh seorang kerabat yang merupakan imam lokal untuk menghentikan kegiatannya.
Sakdiyah mengatakan bahwa keluarganya adalah kelompok konservatif sehingga dia tidak berani menceritakan keyakinannya pada orang tua.
Irshad Manji, yang membaca surat tersebut secara khusus di Salihara, kemudian menyarankan pada Sakdiyah untuk menceritakan keyakinannya pada keluarga dengan segala resikonya.
Akhirnya, Manji mengatakan bahwa dua hari sebelum dia berbicara di Jakarta, Sakdiyah mengirim surat yang di dalamnya tertulis orang tua Sakdiyah sudah mengetahui keyakinannya dan menerima.
Keberanian dan integritas Sakdiyah untuk menyuarakan keyakinan dan pendapatnya itulah yang hendak dikhutbahkan Irshad Manji pada kaum muslim di seluruh dunia. Dia menyebut keberanian itu sebagai ’moral courage’.
"Saya tidak meminta anda setuju dengan penafsiran saya terhadap Islam di buku The Trouble With Islam Today. Namun yang saya tuntut adalah keberanian moral dan integritas untuk menyatakan pendapat tentang kebenaran kepada siapapun, termasuk kepada keluarga anda," kata dia di Jakarta.
Keberanian moral inilah yang dia demonstrasikan secara langsung dalam kunjungannya di Indonesia kali kedua ini.
Di Salihara, dia menunjukkan bahwa seorang Irshad Manji yang perempuan, dan warga negara asing, tidak takut terhadap tekanan dari kelompok Islam radikal yang mengancam akan membubarkan secara paksa ceramahnya.
Dan keberanian moral ini juga yang menurut Irshad Manji absen di tubuh muslim moderat dan intelektual Barat.
Muslim moderat menurut Irshad Manji lebih peduli pada rasa takut dianggap bukan merupakan bagian dari Islam dibanding kepedulian untuk menyatakan pendapat mereka tentang kebenaran.
Ini membuat Manji menulis bab khusus dengan judul yang provokatif, "Atas Nama Krisis Moral, Tinggalkan Sikap Moderat".
Intelektual Barat dalam pandangan Irshad Manji juga lebih takut pada anggapan tidak mengindahkan nilai-nilai multikulturalisme dan mencampuri urusan internal agama lain dibanding mengkritik secara langsung Islam demi kebenaran (Lihat Bab "Budaya Itu Tidak Sakral).
Dari keberanian moral inilah Manji meyakini bahwa akan muncul sebuah budaya yang akan "mengubah dunia untuk selamanya".
Budaya yang menurut dia tidak hanya perlu bagi kaum muslim tapi juga non muslim.
Budaya tersebut adalah "ijtihad", sebuah perjuangan untuk memahami dunia dengan pikiran. Perjuangan yang menurut Manji berimplikasi pada "penggunaan kebebasan untuk mengajukan pertanyaan yang terkadang terasa begitu tidak nyaman".
"Buanglah sekat-sekat kebenaran politik dan berdiskusilah, berdebatlah, tentanglah, dan belajarlah," tulis dia.
Manji sepertinya memang tidak mempedulikan bagaimana konvensi (kesepakatan umum) dibangun, melainkan lebih pada munculnya suara-suara individu yang mempunyai integritas dan sekali lagi, keberanian moral.
Bahkan di satu bagian, dia mengkritik masyarakat pluralius (memiliki toleransi terhadap berbagai perspektif) dapat berpotensi menjadi relativis (membenarkan semua hal lantaran tidak mempunyai pendirian).
Hal itu mungkin nampak seperti sebuah suara ulang dari filsafat Nietzche tentang kecenderungan konformisme masyarakat Barat dan pentingnya menjadi ’superman’.
Meskipun dalam tulisan ini buku Manji akan tampak seperti khutbah yang membosankan, namun penerima "chutzpah award" dari Oprah Winfrey itu dengan cerdas membuat ajaran moral menjadi sangat personal melalui cerita-cerita interaksi dia dengan pembacanya.
Hanya saja dalam pandangan penulis, penerjemahan yang sepertinya tergesa-gesa membuat intensitas pengalaman Manji yang tertuang dalam bukunya tersebut menjadi tidak terasa.
Sebuah hal yang disinggung Goenawan Mohammad dalam sambutannya tentang buku ini di mana dia mengatakan bahwa "menerjemahkan bukanlah hal mudah memang".
Namun usaha penerjemahan ini patut dihargai di tengah kemandulan kaum moderat Islam, yang mengaku sebagai arus utama, dalam menangkal kekerasan agama.
 Sumber : http://oase.kompas.com/read/2012/05/10/23544189/Epistemologi.Keberanian.Moral.Irshad.Manji

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar, masukan yang sifatnya membangun blog ini.

Cari Blog Ini