Dulu Cikeusik, Kini Sampang
Rabu, 04 Januari 2012 | 02:56 WIB
Untuk kesekian kalinya pemerintah
gagal menjamin kebebasan menjalankan agama. Penyerangan Pondok Pesantren
Islam Syiah di Sampang, Madura, seharusnya bisa dicegah bila kepolisian
dan pemerintah daerah peduli terhadap masalah penting ini. Negara mesti
melindungi rakyatnya, apa pun agama atau alirannya. Penyerangan pondok pesantren itu telah meluluhlantakkan musala, madrasah, dan rumah. Lebih dari seratus santri dan keluarganya di pondok penganut ajaran Syiah ini hingga kini masih mengungsi. Tindakan penyerangan itu mengingatkan kita akan tragedi Cikeusik, Banten, tahun lalu, yang telah menewaskan tiga anggota Ahmadiyah dan menyebabkan terbakarnya rumah ibadah mereka.
Sama seperti peristiwa Cikeusik pula, penyerangan itu dibiarkan oleh aparat. Polisi, yang telah ditelepon beberapa jam sebelum penyerbuan, tidak datang. Penegak hukum ini beralasan, mereka dihadang oleh massa penyerang beberapa ratus meter dari pondok pesantren. Sangatlah aneh pasukan keamanan itu justru menyerah kepada massa yang semestinya mereka halau itu.
Kepolisian dan pemerintah daerah Sampang seolah malah membiarkan kekerasan yang berkedok agama. Padahal sudah sejak 2004 pondok pesantren ini mendapat ancaman serangan. Pada 2007, sebanyak 500 orang bahkan telah mengepung pesantren ini. Bukannya melindungi kegiatan beribadah mereka, pemerintah daerah justru mendukung tuntutan pembekuan oleh massa yang mengatasnamakan kelompok Islam Sunni itu.
Lebih ironis lagi, Majelis Ulama Sampang kian menyudutkan posisi kelompok Syiah itu. MUI Sampang menyatakan kelompok Syiah sesat. Perkumpulan ulama Sampang ini seolah lupa bahwa majelis ulama pusat tak pernah mengeluarkan fatwa sesat terhadap aliran Syiah. Sunni dan Syiah bahkan dinilai sebagai dua mazhab besar Islam yang diakui dalam Konferensi Umat Islam di Mekah pada 2009. Keputusan konferensi itu menunjukkan bahwa sikap yang diambil MUI Sampang jelas keliru besar.
Para ulama Sampang dan massa yang mengklaim sebagai Sunni tersebut seperti tak paham bahwa aliran Syiah, sebagaimana Sunni, sudah ada sejak awal sejarah Islam. Keduanya sama-sama memiliki keimanan terhadap lima rukun Islam dan enam rukun iman. Keduanya juga percaya bahwa Muhammad adalah nabi akhir zaman. Perbedaan di antara keduanya terlihat hanya pada beberapa interpretasi cabang fikih dan ketidaksamaan sudut pandang atas persoalan khilafah atau imamah (otoritas kepemimpinan politik setelah Rasul wafat).
Dengan tetap percaya kepada Tuhan dan rasul yang sama, juga rukun Islam dan iman yang sama, seharusnya kedua mazhab itu tidak saling bermusuhan. Kedua mazhab yang masuk ke Indonesia berabad-abad lampau itu justru bisa tumbuh bersama-sama. Tak seharusnya penganut paham Sunni menjadikan penganut Syiah sebagai musuh. Begitu pula, musuh Syiah bukanlah Sunni.
Musuh Islam dan semua agama serta keyakinan justru adalah kezaliman, kemiskinan, dan kebodohan. Pemahaman mendasar ihwal musuh sebenarnya seluruh umat beragama inilah semestinya yang didakwahkan semua ulama di daerah-daerah
sumber : http://www.tempo.co/read/opiniKT/2012/01/05/1734/Dulu-Cikeusik-Kini-Sampang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar, masukan yang sifatnya membangun blog ini.