Mengenai Saya

Foto saya
Shio : Macan. Tenaga Specialist Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar. Trainer Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar Negara Asing. Pengajar part time masalah Surveillance Detection, observation techniques, Area and building Analysis, Traveling Analysis, Hostile surveillance Detection analysis di beberapa Kedutaan besar negara Asing, Hotel, Perusahaan Security. Bersedia bekerja sama dalam pelatihan surveillance Detection Team.. Business Intelligence and Security Intelligence Indonesia Private Investigator and Indonesia Private Detective service.. Membuat beberapa buku pegangan tentang Surveilance Detection dan Buku Kamus Mini Sureveillance Detection Inggris-Indonesia. Indonesia - Inggris. Member of Indonesian Citizen Reporter Association.

Selasa, 03 Januari 2012

Multikulturalisme yang Masih Asing di Madura

Penulis : Achmad Faizal   

(foto:dok/ist)
Tajul Muluk berusaha santai menanggapi pertanyaan awak media massa di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, Senin (2/1) siang. Dia terlihat berusaha keras menyimpan beban yang terlihat jelas dari sorot matanya.
Siang itu, Tajul Muluk dengan didampingi tim kuasa hukum ahlulbait Indonesia dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya, memberikan keterangan pers perihal kronologi penyerangan dan pembakaran pesantren Misbahul Huda yang dipimpinnya oleh kelompok aliran Ahlusunnah wal Jamaah (Sunni).
Tajul mengaku ia dan ratusan warga yang mengikuti ajarannya hanyalah korban fitnah.
Beberapa ritual aliran agama yang diyakininya memang berbeda dengan ritual aliran yang dianut kebanyakan warga di Dusun Nangkrenang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben. Sayangnya, perbedaan itu justru dimanfaatkan pihak lain untuk memprovokasi bahwa aliran agama yang mereka anut adalah aliran sesat.
Kami difitnah bisa tukar-menukar istri, bunyi azan yang berbeda, tidak mewajibkan salat Jumat, Selasa menghadap kiblat ke timur dan salat Jumat ke barat, dan sebagainya. Padahal, itu semua tidak benar,“ katanya.
Ketegangan antara pengikut alirannya dengan warga sekitar sebenarnya sudah terjadi mulai 2004.
Sejak saat itu ia dan pengikut ajarannya kerap memperoleh tekanan dari penduduk sekitar khususnya yang mengaku sebagai penganut aliran Sunni. Puncaknya pada 2006, Tajul sempat didemo supaya segera pindah dari kampung halamannya itu oleh sekitar 5.000 orang dari tiga kecamatan di sekitarnya.
Dia juga dipaksa menandatangani berbagai perjanjian yang terpaksa dia tanda tangani demi alasan keamanan para pengikutnya. “Salah satunya adalah perjanjian bahwa saya diasingkan sementara di Malang,“ ujarnya.
Menurutnya, Kapolsek Omben pada 2006 pernah meminta pengikut Syiah agar bertobat kembali kepada keyakinan umat mayoritas Ahlusunnah wal Jamaah. "Saya protes tidak setuju dan keberatan. Wong MUI (Majelis Ulama Indonesia) Pusat saja tidak menyatakan Syiah itu ajaran sesat," ia menambahkan.
Ternyata pengasingannya tidak membuat suasana berubah. Kelompok Sunni tetap saja melakukan tekanan dan ancaman kepada pengikutnya.
Bahkan, pada 17 Desember 2011 sebelum insiden penyerangan, tokoh masyarakat setempat dengan disaksikan Muspida menandatangani pernyataan yang di antaranya berisi menjaga kamtibmas dan tidak mengerahkan massa untuk urusan perbedaan aliran Sunni-Syiah. Namun, pernyataan di atas meterai ternyata tidak cukup kuat untuk melindungi pengikutnya dari tekanan kelompok Sunni.
Kamis (29/12), kemarahan kelompok Sunni karena provokasi para tokohnya seakan memuncak. Sekitar 500 orang bersenjata tajam menyerang dan membakar kompleks pesantren Misbahul Huda yang didirikan Tajul Muluk.
Enam bangunan yang dihuni sekitar 150 santri dirusak rata dengan tanah, di antaranya berupa ruang belajar madrasah, dapur, rumah, dan bangunan tempat ibadah.
Sebenarnya, menurut Tajul, rencana penyerangan itu telah diketahuinya dari saudaranya yang bernama Iklal Milal. “Kami juga sudah menghubungi polisi, namun polisi seakan meremehkan dan membiarkan aksi itu,“ katanya.
Buntutnya, pascapenyerangan, sekitar 253 pengikut aliran Syiah diungsikan ke Gedung Olahraga Sampang untuk menghindari amuk massa yang lebih banyak, karena massa mengancam akan membakar pengikut Syiah jika berani kembali ke Desa Karanggayam.
Ancaman dan tekanan tidak lantas membuat Tajul Muluk menghentikan aktivitas aliran agamanya. Bagi dia, peristiwa itu hanya karena masyarakat Madura tidak terbiasa atau merasa asing dengan yang namanya keberagaman.
“Sesuatu yang baru yang dianggap tidak sama dengan kebiasaannya dianggap salah, dan itu justru diamini tokoh agama dan tokoh masyarakatnya,“ kata Tajul.
Bersama ratusan pengikutnya, dia hanya berharap pemerintah lebih memperhatikan hak-hak masyarakat minoritas seperti dirinya. Bagaimanapun, hak untuk berkeyakinan dan berekspresi warga negara seharusnya dilindungi dan dihormati.
Komitmen Negara
Koordinator Badan Pekerja Kontras Surabaya, Andy Irfan, menilai aksi melanggar HAM itu tidak terjadi jika negara memiliki komitmen untuk melindungi kaum minoritas seperti Syiah.
“Dalam kasus ini nyaris tidak ada perlindungan dari negara, sebaliknya negara memberikan peluang bagi aktor-aktor untuk memberikan provokasi menghilangkan golongan minoritas secara sistemik,“ katanya.
Pihaknya dalam melakukan advokasi belum akan menempuh jalur hukum. Langkah penekanan dan pendekatan secara politik masih akan terus dilakukan agar warga Syiah kembali mendapatkan haknya untuk hidup tenang dan berekspresi sesuai dengan keyakinan yang dianutnya.
Dalam peristiwa tersebut, polisi mengaku telah menahan seorang tersangka bernama Muslika, dan memburu dua tersangka lainnya, Mukhlis dan Saniwan. Namun, pengakuan polisi ini dibantah Koordinator Advokasi Kasus Sampang dari Ahlul Bait Indonesia (ABI) Muhammad Hadun Hadar.
Menurut dia, tidak ada di Desa Karanggayam seseorang yang bernama Muslika, polisi hanya ingin menenangkan suasana dengan mengumumkan penangkapan tersangka.
Sebaliknya, kata dia, justru dua tersangka lainnya, Mukhlis dan Saniwan, masih leluasa berkeliaran di tempat kejadian perkara (TKP). Tujuh orang, menurut korban, yang memiliki peran penting dalam aksi itu justru masih dibiarkan berkeliaran oleh polisi.
Humas Polda Jatim Kombes Rahmad Mulyana menegaskan, “Muslika saat ini ditahan di Polres. Kami tidak ngarang-ngarang, tidak memberikan kebohongan publik. Kalau yang dua orang lainnya memang masih DPO (masuk daftar pencarian orang-red).”
Menyangkut penilaian bahwa dalam kasus ini polisi tidak bertindak cepat, Rahmad mengatakan, “Itu penafsiran keliru, kami sudah cepat. Kasus ini tidak sesederhana yang diduga orang. Ini masalah pelik karena menyangkut agama dan keyakinan.”
Menurutnya, kejadian ini sudah diantisipasi, namun membesar karena ada penolakan warga terhadap sebuah aliran, lantaran kawin tanpa wali atau penghulu dan salat hanya tiga waktu diperbolehkan.
Rahmad menjelaskan, selama ini polisi sudah mengupayakan mediasi dua kelompok, yakni Syiah dan Sunni, bahkan Komnas HAM sudah datang pada April 2011.
Kemudian ada kesepakatan damai antara dua kelompok tersebut bahwa masing-masing akan berjalan di aliran masing-masing. Tetapi ternyata kemudian Tajul Muluk (pemilik tempat ibadah yang dirusak massa-red) melakukan syiar ke kawasan lain, sehingga menimbulkan kemarahan warga.
Direktur Ahlusunnah wal Jamaah (Aswaja) PCNU Kabupaten Sampang, Faidlol Mubarak, mengaku prihatin dengan aksi pembakaran itu, karena telah merusak dan mencederai kehidupan sosial dan kehidupan keberagamaan di Sampang.
Dia juga mengeluhkan pemberitaan di media massa yang sebenarnya justru bernada provokasi, sehingga penyelesaian konflik kelompok Islam Syiah-Sunni di Kabupaten Sampang sulit dikendalikan.
Ia mencontohkan, pemberitaan di salah satu media cetak lokal JawaTimur yang memuat berita desakan dan pencopotan Kapolres Sampang dan Kapolda Jatim, yang justru membuat organisasi kemasyarakatan (ormas) dan tokoh masyarakat menjadi canggung dalam melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian dalam meredam konflik.
”Biarkanlah polisi berkerja tanpa tekanan. Dengan pemberitaan yang kurang efektif semacam itu, kami yang ada di lapangan menjadi sulit berkoordinasi,” tuturnya.
sumber : http://www.sinarharapan.co.id/content/read/multikulturalisme-yang-masih-asing-di-madura/

1 komentar:

  1. Kita adalah satu Bangsa..Bangsa Indonesia, mengapa harus anarkis..? Di mana hati nuranimu hai saudara ku..? Bertobatlah..! Mari bersatu, saling mengasihi dan mencintai sesama.....

    BalasHapus

Silahkan memberikan komentar, masukan yang sifatnya membangun blog ini.

Cari Blog Ini