Mengenai Saya

Foto saya
Shio : Macan. Tenaga Specialist Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar. Trainer Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar Negara Asing. Pengajar part time masalah Surveillance Detection, observation techniques, Area and building Analysis, Traveling Analysis, Hostile surveillance Detection analysis di beberapa Kedutaan besar negara Asing, Hotel, Perusahaan Security. Bersedia bekerja sama dalam pelatihan surveillance Detection Team.. Business Intelligence and Security Intelligence Indonesia Private Investigator and Indonesia Private Detective service.. Membuat beberapa buku pegangan tentang Surveilance Detection dan Buku Kamus Mini Sureveillance Detection Inggris-Indonesia. Indonesia - Inggris. Member of Indonesian Citizen Reporter Association.

Rabu, 27 April 2011

Opini :Teologi Koalisi: Antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru



Oleh Adhie M. Massardi
Rabu, 20 April 2011 , 07:06:00 WIB

POLITIK kekuasaan di negeri kita makin menarik karena makin ajaib. Banyak perjanjian ditandatangani, tapi sebanyak itu pula yang diingkari. Dalam Koalisi, misalnya, ada Perjanjian Lama yang dianggap kurang mengikat sehingga melahirkan ancaman Hak Angket (Centurygate 2009 dan Mafia Pajak 2011).
Untuk mencegah munculnya kembali ancaman terhadap ketenteraman penguasa, diluncurkan Perjanjian Baru, yang konon sudah diparaf para anggotanya. Partai Golkar dan PKS, yang nyaris mengegolkan Hak Angket Pajak untuk membongkar mafia pajak di pusat kekuasaan, akhirnya juga bertekuk lutut di hadapan penguasa.
Kalau ada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, kata kawan saya yang pakar sosiologi korupsi dan beragama Nasrani, “harus ada penyaliban…!” Tentu saja kita semua tahu, siapa yang harus disalib secara politik.
Sementara yang sudah tampak depan mata adalah berubahnya gedung parlemen di Senayan menjadi “Tembok Ratapan”. Ratapan bagi rakyat Indonesia yang menyesali kenapa dalam pemilu kemarin memilih mereka…
Tembok Ratapan versi teologi (Yahudi) adalah sisa dinding kuil suci yang dibangun Raja Salomo (Nabi Sulaiman). Di dinding ini orang Yahudi meratapi dan menyesali pengingkarannya terhadap Tuhan.
Tapi kebanyakan umat Islam percaya, tembok di Yerusalem itu bagian dari dasar Masjidil Aqsa dan Masjidil Omar, serta diyakini sebagai gerbang tempat berangkatnya Nabi Muhammad saw dari Yerusalem ke surga (mi'raj) dengan mengendarai Buraq.
Apa hubungan cerita di atas dengan Koalisi?
Bagi para pengikutnya Koalisi memang diperlakukan seperti agama. Tepatnya, seperti sekte dalam sebuah agama. Maka barang siapa mengingkari aturannya, layak dapat hukuman. Misalnya, dikafirkan (dikeluarkan dari keanggotaan), atau pahalanya (jatah menteri dalam kabinet) dihapus, atau bisa juga dikurangi.
Sebagaimana sekte dalam terminologi agama, para anggota koalisi juga meyakini dan mengikuti ajaran ‘sang nabi’ yang jadi pemimpin mereka, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono alias Yudhoyono alias SBY alias Presiden RI.
Sebab yang taat dan patuh pada ‘sang nabi’ memang langsung diganjar surga dunia dalam politik kekuasaan nasional. Ada yang jadi menteri kabinet, ada pimpinan badan/lembaga negara, atau minimal komisaris di perusahaan-perusahaan milik rakyat Indonesia.
Menurut para ulama ketatanegaraan, Koalisi (Partai Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PKB dan PP) pimpinan Yudhoyono ini masuk dalam kategori aliran sesat. Sebab koalisi tidak dikenal dalam sistem pemerintahan presidensiil. Koalisi merupakan ‘sunah’ dalam konsep parlementer.
Apalagi, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru yang mereka tandatangani, tidak pernah diketahui oleh pemegang saham mayoritas (konstituen alias rakyat pemilih) partai-partai Koalisi.
Apakah dalam perjanjian itu ada kesepakatan untuk mengabaikan kesejahteraan rakyat? Apakah juga ada pasal kesepakan untuk saling menutupi pelanggaran hukum, wabil khusus tindak pidana korupsi, yang dilakukan anggota koalisi? Sebab kalau itu yang terjadi, namanya kan bukan koalisi, tapi konspirasi alias persekongkolan jahat.
Lebih celaka lagi kalau para anggota koalisi menganggap kursi presiden yang sedang diduduki SBY adalah ‘tahta suci’ yang harus diselamatkan, tak perduli mayoritas rakyat Indonesia hidup terlunta-lunta di negeri yang oleh Allah SWT diciptakan bak surgawi dan kaya raya untuk dinikmati oleh kita semua, bukan hanya untuk para pimpinan partai Koalisi.
Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah kerusakan sistem pemerintahan, demokrasi dan masa depan anak cucu kita? [***]
Sumber : RMOL./Rabu, 20 April 2011 , 07:06:00 WIB http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=24724


Opini Politik Terkait :
Share |

Antara Cikeusik dan Cikeas
Oleh Adhie M. Massardi
Kamis, 10 Februari 2011 , 09:01:00 WIB

ILUSTRASI/IST
  
CIKEUSIK dan Cikeas adalah nama dua tempat berbeda yang kalau disebutkan akan mengingatkan kita pada “harapan dan kenyataan” yang berbeda, dalam konteks yang juga berbeda, tapi muaranya ternyata bisa sama.
Cikeas, seperti sudah sama-sama kita ketahui, adalah sebuah desa di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Salah satu rumah di Cikeas merupakan kediaman resmi Presiden Yudhoyono. Dalam sejarah politik modern, Yudhoyono tercatat sebagai Presiden RI pertama yang dipilih langsung. Karena itu, harapan bisa menyejahterakan rakyat tertumpu kepadanya.
Pada periode pertama (2004-2009), saat berpasangan dengan M Jusuf Kalla, harapan rakyat memang belum kunjung terjadi. Tapi dipilih kembali untuk periode berikutnya (2009-2014) karena diduga pada episode terakhir Pak Beye akan all out bekerja demi bangsa dan negaranya.
Akan tetapi, sialnya, sejak hari pertama, tokoh utama Partai Demokrat yang berganti pasangan dengan Boediono ini, sudah didera berbagai isu negatif. Mulai dari skandal rekayasa IT KPU hingga rekayasa bailout Bank Century yang merugikan keuangan negara hingga Rp 6,7 triliun.
Sejak itu, pemerintah seperti tersandera oleh dua kasus besar itu. Akibatnya, segala tindak-tanduknya dalam pemerintahan harus terus-menerus berkompromi dengan kekuatan politik yang menyanderanya. Tentu saja hal ini membuat nasib rakyat jadi terbengkalai. Sehingga tak bisa mendeteksi dan merasakan nasib rakyat yang kian megap-megap.
Mungkin sampai sekarang juga tidak tahu enam anggota keluarga Jamhamid, yang tinggal di Desa Jebol, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, meninggal dunia akibat keracunan makanan tiwul yang terbuat dari bahan ketela pohon (singkong). Keluarga yang termiskinkan oleh berbagai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat ini, terpaksa mengganti makanan pokoknya dari nasi (beras) ke tiwul (singkong) yang jauh lebih murah, tapi resikonya keracunan kalau dikonsumsi berlebihan.
Sementara Cikeusik (arti harfiahnya Kali Pasir), adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Pandeglang, Banten. Di kawasan ini ada Kampung Peundeuy (artinya pete), di Desa Umbulan. Di situlah tempat warga Ahmadiyah tinggal. Semula mereka aman dan tenteram hidup menyatu dengan warga setempat. Sampai kemudian, Ahad pekan lalu (6/2), semuanya berubah menjadi horor yang mengejutkan.
Ratusan orang dari luar kawasan, datang menyerang tempat mangkal warga Ahmadiyah itu. Pemukulan, penganiyaan hingga pembunuhan keji menimpa warga Ahmadiyah. Aparat keamanan yang biasanya sensitif terhadap kerumunan massa yang menentang pemerintahan Yudhoyono, kali ini seperti tertidur. Hanya satu dua orang yang tampak. Dalam video yang dipancarluaskan melalui jaringan You Tube, dunia pun menyaksikan video horor yang keji itu.
Penyerangan brutal terhadap pangikut Ahmadiyah mencerminkan kegagalan pemerintah,” komentar Donna Guest, Deputi Direktur Amnesti Internasional untuk kawasan Asia Pasifik.
Pandangan serupa juga muncul dari sejumlah tokoh nasional. Tak heran bila headline surat-surat kabar bunyinya kurang lebih seragam: Negara Gagal Lindungi Warga…!
Tragedi Cikeusik, yang (sehari) kemudian disusul peristiwa kerusuhan SARA di Temanggung, Jawa Tengah, memang sangat mengejutkan. Bukan hanya peristiwanya, tapi juga reaksi publik atas semua kejadian itu.
Ternyata sekarang kejadian yang berbau suku, agama, ras dan antargolongan itu, tidak serta merta ditanggapi dengan emosi. Tapi dengan akal dan kecerdasan yang mengagumkan. Makanya, meskipun pemberitaannya lumayan gencar, tapi masyarakat tak melupakan kasus-kasus sebelumnya.
Publik tetap masih ingat “kebohongan pemerintahan Yudhoyono” yang dilontarkan para tokoh lintas agama, kemiskinan yang makin nyata dirasakan, dan ancaman kelangkaan pangan yang mencemaskan.
Terbukti sudah, kekuatan isu ternyata tak bisa mengalihkan apa yang sedang kita rasakan! [**]
Sumber : RMOL./Kamis, 10 Febr, 2011.
http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=17785
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar, masukan yang sifatnya membangun blog ini.

Cari Blog Ini