Mengenai Saya

Foto saya
Shio : Macan. Tenaga Specialist Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar. Trainer Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar Negara Asing. Pengajar part time masalah Surveillance Detection, observation techniques, Area and building Analysis, Traveling Analysis, Hostile surveillance Detection analysis di beberapa Kedutaan besar negara Asing, Hotel, Perusahaan Security. Bersedia bekerja sama dalam pelatihan surveillance Detection Team.. Business Intelligence and Security Intelligence Indonesia Private Investigator and Indonesia Private Detective service.. Membuat beberapa buku pegangan tentang Surveilance Detection dan Buku Kamus Mini Sureveillance Detection Inggris-Indonesia. Indonesia - Inggris. Member of Indonesian Citizen Reporter Association.

Senin, 25 April 2011

KH Hasyim Muzadi: Paksakan Jadi Negara Agama Indonesia Pasti Terpecah

WAWANCARA
KH Hasyim Muzadi: Paksakan Jadi Negara Agama Indonesia Pasti Terpecah
Senin, 25 April 2011 , 07:13:00 WIB


KH HASYIM MUZADI
  
RMOL. Pemerintah dinilai tidak memiliki konsep yang jelas dalam pemberantasan terorisme di negeri ini.

“Saya berkali-kali bilang bahwa pemerintah tidak punya konsep terpadu, utuh, dan integrated mem­berantas terorisme. Jadi, wajar bila teroris terus muncul, dan  pelakunya semakin banyak,” papar Sekjen International Con­ference of Islamic Scholars (ICIS), KH Hasyim Muzadi, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta.

Menurut bekas Ketua Umum PBNU itu, di Indonesia harus di­kembangkan sebuah konsep pluralisme sosiologis agar ti­dak terjadi konflik yang bisa meme­cah-belah NKRI. Jadi, de­finisi mengenai pluralisme harus di­perjelas, yaitu plura­lisme sosio­logis bukan plura­lis­me teologis.

“Pluralisme belum didefinisi­kan secara baik. Di sini terjadi kekacauan tentang pluralisme. MUI marah-marah karena menu­duh pluralisme teologis. Semen­tara yang HAM menganggap teo­logis maupun sosiologis itu hak manusia,” bebernya.

Pluralisme sosiologis, lanjut­nya, diartikan masing-masing orang yang beragama tidak usah dicampuri imannya. Ibadahnya biarkan berjalan sendiri. Namun, hubungan antar manusia harus tetap berjalan dalam usaha mem­bangun negara.

Berikut kutipan se lengkapnya:
 
Menurut Anda, apa yang men­­­jadi pangkal masalah teror yang terjadi selama ini?
Saya melihat pangkal masalah ini adalah hubungan antara agama dan negara, sistem hu­bungan agama dan negara. Indo­nesia sudah menentukan bukan negara agama, bukan negara se­kuler. Tapi Indonesia adalah negara bangsa. Seluruh agama akan dilindungi tetapi tidak bisa menjadikan Indonesia sebagai negara agama, karena Indonesia multi agama. Apabila dipaksakan menjadi negara agama, pasti akan terpecah-pecah.

 Tapi beberapa pihak ingin me­masukkan agama dalam ne­gara, bagaimana pendapat Anda?
Kalau agama ingin masuk ke negara, itu bersifat substantif. Nilai-nilainya dan teksnya itu tidak masuk ke negara karena nanti akan dilawan oleh agama yang lain. Misalnya undang-undang anti korupsi, ya sudah undang-undang anti korupsi saja, tidak usah undang-undang Islam anti korupsi. Ini yang maksud saya substantif.

Tidak ada jalan tengahnya?
Orang beragama itu harus utuh, substantif dan tekstual, untuk itu harus dicarikan salu­rannya. Maka saluran itu ada di civil society, di NU, Muhamma­diyah, Al-irsyad, MUI, KWI dan PGI. Anda boleh bertakwa di saluran tersebut me­nurut resmi agama Anda, tapi non gover­men­tal. Karena apabila ini dige­ser ke goverment, Indo­nesia akan pecah. Saya melihat teman-teman yang masuk dari timur tengah ke Indonesia waktu refor­masi, tidak mau menerima ini.

Apa benar ini gara-gara pe­nga­ruh orang dari Timur Te­ngah?
Mereka ingin teks agama ma­suk negara, hingga menjadi negara Islam. Ini memungkinkan kalau Indonesia mono-agama, seperti Saudi Arabia. Tapi kalau multi agama. Mana mungkin negaranya dimonokan dalam satu agama.

Maindset ini awal  masalah­nya. Apakah NKRI selamat atau tidak, tergantung mau atau tidak menerima konstelasi seperti ini. Teman-teman dari Timur Tengah yang pemikirannya ingin mem­buat Indonesia sebagai negara Islam adalah pangkal dari konflik.

Pemerintah harus melaku­kan apa dalam hal ini?
Untuk itu perlu penataan ten­tang teror ini ha­rus komprehensif, melibatkan seluruh eksponen yang berkaitan dengan teror. Ulama harus dike­rahkan untuk memberikan pen­jelasan pada masyarakat tentang moderasi, tentang ekstrimitas, dan teror. Selama ini belum dilakukan. Untuk meng­ge­rakkan itu negara punya alat, bisa lewat Kemen­terian Agama, bisa lewat peme­rintah pusat atau koordinasi dengan pe­me­rin­tah daerah.

Bagaimana Anda melihat bom Mas­jid di Polresta Cire­bon?
Ini menun­juk­kan bahwa teror ber­ha­dapan dengan apa­rat. Tetapi bila gerakan anti teror itu simul­tan dan kom­pre­hensif, tidak akan terjadi seperti itu. Se­karang tinggal political will pe­merintah.

Selama ini pe­nanganan tero­ris­me bagaimana?
Sekarang masih condong pada masalah security, belum pada akar masalahnya, yaitu ideologi. Hal ini bisa dilakukan dengan enlightment ideology, baru dila­pisi dengan intelijen, politik, dan hukum. Seharusnya semua ka­langan bisa memberikan enlight­ment sebagai nilai kehidupan, bukan malah mengkafirkan orang lain.

Bagaimana dengan intelijen Indonesia sekarang?
Intelijen kita mandul karena faktor kualitas dan faktor un­dang-undang yang menghadang inte­lijen. Polisi tidak boleh me­nang­kap tanpa bukti, itu peratu­ran undang-undangnya. Artinya harus ada bom yang meledak, baru bisa diusut. Ini peluang besar untuk teror. Untuk itu, harus ada preventif action. Ketika ada gejala masuk dalam stadium awal itu harus sudah dihukum. Seperti merencanakan membuat keka­cauan, itu seharusnya sudah bisa diadili, sekalipun tidak ditembak dan sesuai dengan hukum yang berlaku.  [RM]
Sumber : RMOL. Senin, 25 April 2011
http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=25185

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar, masukan yang sifatnya membangun blog ini.

Cari Blog Ini