Mengenai Saya

Foto saya
Shio : Macan. Tenaga Specialist Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar. Trainer Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar Negara Asing. Pengajar part time masalah Surveillance Detection, observation techniques, Area and building Analysis, Traveling Analysis, Hostile surveillance Detection analysis di beberapa Kedutaan besar negara Asing, Hotel, Perusahaan Security. Bersedia bekerja sama dalam pelatihan surveillance Detection Team.. Business Intelligence and Security Intelligence Indonesia Private Investigator and Indonesia Private Detective service.. Membuat beberapa buku pegangan tentang Surveilance Detection dan Buku Kamus Mini Sureveillance Detection Inggris-Indonesia. Indonesia - Inggris. Member of Indonesian Citizen Reporter Association.

Rabu, 27 April 2011

Opini Politik : Pemimpin yang Menipu Rakyat


Pemimpin yang Menipu Rakyat
Oleh Adhie M. Massardi
Rabu, 30 Maret 2011 , 07:19:00 WIB


ILUSTRASI/IST
  
PEMIMPIN dalam perspektif Islam adalah Imam. Kedudukannya sangat tinggi dan terhormat. Maka bila sopir atau tukang kebun telah disepakati menjadi imam, siapa pun makmumnya, wajib mengikuti.
Model kepemimpinan Islam memang sering diilustrasikan dalam shalat berjamaah. Seseorang yang dianggap paling fasih dan paham Al Qur’an (kompetensi) selalu dipersilakan menjadi imam. Sebaliknya, bila sang imam di tengah jalan batal, misalnya karena (maaf) kentut, maka ia harus segera mundur untuk digantikan orang lain.
Dalam pemerintahan, pemimpin (umara) sering juga dimanifestasikan sebagai wakil Allah. Makanya pemimpin (Sultan) kerajaan Mataram Islam di Jogjakarta juga memakai tambahan gelar Sayidin Panotogomo (pemimpin agama) dan Kalifatullah (wakil Allah) di muka bumi.
Pemimpin dalam konsep Islam menjadi mutlak, dan karena itu wajib dihormati dan ditaati, karena tugas pemimpin tiada lain kecuali menyejahterakan umatnya. Adagium yang terkenal tentang kepemimpinan adalah: Tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah al-ammah (Tindakan dan kebijakan seorang pemimpin haruslah terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya!)
Menyejahterakan umat. Inilah kata kuncinya kenapa kepemimpinan dalam konsepsi Islam memperoleh kedudukan sangat mutlak. Sebab umat (rakyat) adalah subyek yang melahirkan predikat (pemimpin), dan bukan sebaliknya.
Rasulullah SAW adalah contoh nyata pemimpin yang setiap saat memikirkan umatnya. Nasib umatnya senantiasa menjadi pikiran beliau..Bahkan kata-kata terakhir yang terucap ketika maut menjemput adalah: “Ummati, ummati, ummati…!” (Umatku, umatku, umatku…!)
Ada kegelisahan luar biasa pada Rasulullah SAW akan masa depan umatnya. Bagaimana keimanan, ketakwaan dan kesejahteraan mereka kelak.
Kecintaan Nabi SAW kepada umatnya tercermin pula pada do’a Beliau, sebagaimana dituturkan Aisyah ra dalam sebuah hadits. “Wahai Allah, siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan umatku, lalu dia mempersulit urusan mereka (rakyat), maka persulit pulalah dia. Dan siapa saja yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan umatku, lalu dia berusaha menolong mereka, maka tolong pulalah dia!”
Sikap keras Rasulullah kepada pemimpin yang abai juga tercermin dari hadits yang disampaikan Al Hasan ra. Kepada Ubaidullah bin Ziyad (walikota Bashrah) yang datang membezuknya, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda: “Seorang hamba yang dipercayakan Allah memimpin rakyatnya, tetapi dia menipu rakyatnya, maka jika dia mati, Allah mengharamkan surga baginya!”
Lalu bagaimana dengan Presiden Yudhoyono, yang secara moral, oleh para pemuka agama dianggap sudah “batal” karena terlalu sering berbohongan dan tidak perduli kepada nasib rakyatnya yang kian terpuruk dalam penderitaan? Apakah juga wajib mundur sebagaimana imam shalat yang sudah “kentut”?
Dalam soal ini (pemerintahan), ada yang berpendapat: pergantian kepemimpinan nasional harus 5 tahun sekali sesuai ketentuan Konstitusi (UUD 1945). Ketentuan ini memang harus kita hormati dan pelihara.
Tapi jika Presiden sendiri tidak mampu memelihara keharusan ini, dengan membiarkan anomali dan demoralisasi di segala bidang kehidupan, dan membiarkan rakyat mengatasi sendiri berbagai persoalan hidupnya, maka secara moral keharusan ini tidak berlaku.
Sebaliknya, secara moral, kita semua wajib menyelamatkan negara-bangsa dari kehancuran. Dengan demikian, keharusan Konstitusional tentang pergantian presiden 5 tahun sekali tidak berlaku. Karena seluruh komponen bangsa harus tunduk kepada keharusan moral (menyelamatkan negara-bangsa) tersebut. [***]
Sumber : RMOL/Rabu, 30 Maret 2011 , 07:19:00 WIB
 http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=22594

Opini Politik Terkait :
Share |

Buruk Citra Bom Ditebar
Oleh Adhie M. Massardi
Rabu, 23 Maret 2011 , 12:20:00 WIB

ILUSTRASI/IST
  
BURUK muka cermin dibelah. Tak pandai menari, dikatakan lantai terjungkit. Lempar batu, sembunyi tangan. Ini tiga dari sejumlah peribahasa untuk menyindir atau mengeritik para pemimpin yang tak mau bertanggungjawab atas apa yang diperbuatnya.
Di masa lalu, ketika etika dan kebudayaan masih jadi tradisi di kalangan kaum terpelajar, dan rasa malu masih menjadi bagian dari gaya hidup para pemimpin, kritik lewat pantun, peribahasa, atau gambar karikatur, bisa sangat efektif. Sehingga yang dikritik dan yang mengeritik masih bisa ketawa bersama.
Tapi di zaman SBY sekarang ini, ketika semua tata nilai dijungkirbalikkan, sehingga jabatan-jabatan publik hanya bisa dijangkau dengan cara-cara KKN dan tipu muslihat, cara mengeritik dan mengingatkan pembesar negara yang korup pun ikut keluar dari konteks etika dan budaya.
Maka demonstrasi mahasiswa, pemuda dan aktivis pergerakan kalau ingin didengar, harus membawa foto si pembesar korup yang sudah dipasangi taring, lalu dibakar di depan kantornya. Atau orasi langsung di depan Istana dengan memakai pengeras suara ribuan watt baru bisa masuk ke kuping sang pembesar negara.
Bahkan para pemuka agama, agar juga bisa didengar nasihatnya, turut mengubah taktik dan strategi. Dengan menggunakan nukilan kisah para Nabi lengkap dengan ayat-ayat Kitab Suci saja tampaknya hanya jadi angin lalu. Makanya, para pemuka agama di negeri ini, awal Januari lalu, berkumpul dan menyerukan: 18 Kebohongan Rezim Yudhoyono…
Akan tetapi, para pemimpin yang korup, yang punya seribu satu cara untuk menguasai tahta, juga punya seribu satu cara untuk meloloskan diri dari berbagai sorotan dan kritikan masyarakat. Embargo berita, boikot iklan, dipakai untuk meredam media massa yang memberitakan kondisi masyarakat secara apa adanya, yang memang makin memrihatinkan, dan ini mencerminkan kinerja pemerintahan yang amburadul.
Sedangkan untuk mengalihkan keburukan-keburukan rezim yang terlanjur menjadi topik pembicaraan masyarakat di kafe-kafe, di ruang-ruang tunggu, di warung-warung kopi, dan di mulut-mulut gang serta pos-pos ronda di kampung-kampung, dibikinlah peristiwa yang mengguncang sendi-sendi kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara. Misalnya, mencabik-cabik Bhineka Tunggal Ika, menebar rasa takut dengan teror. Tak soal bila untuk itu harus ada korban nyawa manusia atau kerusakan fisik yang besar.
Sekarang, ketika merebak “bom buku” yang sekonyong-konyong menjadi tren sehingga muncul di mana-mana, dibicarakan di mana-mana, menebar teror di mana-mana, semua orang secara otomatis langsung melirik WikiLeaks, situs gerakan internasional yang ingin membebasan dunia dari aneka kebohongan rezim yang menyengsarakan rakyatnya.
Maka dari dunia maya, turunlah pesan elektronik via HP, BB, FB, Twitter, dari Republik Pencitraan yang berbunyi: “Buruk muka cermin dibelah! Buruk citra bom ditebar!”
Tapi di zaman SBY ini, Indonesia memang sudah tercerabut dari akarnya. Telah kehilangan naluri kebudayaannya.
Lihatlah Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin di sudut kumuh Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang menyimpan ribuan buku bernilai sastra, kian rapuh dan nyaris tak disentuh. Dana pengelolaan dari pemerintah terus disunat sampai nyaris habis.
Ada memang sejumlah seniman yang tergerak hatinya. Lalu mengais uang recehan untuk menyelamatkan PDS itu. Tapi ini bukan langkah budaya. Ini langkah pembiarkan uang rakyat dikorup para pembesar negara. Lebih sehat kalau rakyat menggedor pintu kantor atau rumah para pembesar negara itu. Lalu meminta uang jatah PDS dikembalikan!
Atau, jangan-jangan buku-buku yang diterlantarkan pemerintah di PDS HB Jassin itu telah mengambil jalan sendiri. Meneror kita semua dalam bentuk: Bom Buku…!
Sumber : RMOL, 23 Maret 2011./ http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=21912

1 komentar:

  1. Mungkin memang sudah kebanyakan orang yang muak dengan kepemimpinan SBY kali....

    BalasHapus

Silahkan memberikan komentar, masukan yang sifatnya membangun blog ini.

Cari Blog Ini