Senin, 18 Oktober 2010 , 08:05:00 WIB
Menurut dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), mereka secara sengaja melakukan atau turut serta mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara korupsi.
Jaksa bersikukuh, mereka membuat perjanjian kerjasama tertulis antara Gayus dan Andi pada 26 Mei 2008 untuk kepentingan pengadaan tanah dalam pembangunan ruko senilai Rp 28 miliar.
Belakangan, proyek kerja sama para terdakwa diduga ditujukan untuk menyiasati agar Gayus tidak dijerat perkara tindak pidana korupsi atas kepemilikan rekening di BCA dan Bank Panin. Di luar itu, skenario juga disusun untuk membuka blokir atas rekening Gayus.
Bergulirnya upaya rekayasa ini, menurut jaksa, disusun para terdakwa setelah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melayangkan surat nomor S 31/1.03.1/PPATK/03/09. R tanggal 16 Maret 2009 tentang laporan analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal korupsi.
Dari situ, jajaran Direktorat II Ekonomi Khusus (Dit II Eksus) Bareskrim melakukan penyidikan dugaan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal korupsi yang dilakukan Gayus. Penelusuran terhadap rekening yang disimpan di BCA dan Bank Panin itu dilaksanakan setelah Direktur II Eksus Bareskrim menerbitkan surat perintah No. Pol. SP-Lidik/105/IV/Dit II Eksus tanggal 24 April 2009.
Bersamaan dengan surat perintah penyelidikan tersebut, penyidik Polri juga menerbitkan dua surat perintah pemblokiran harta kekayaan yang berkode No pol : R/282/IV/2009/Dit II Eksus tanggal 24 April 2009 atas nama Gayus Tambunan yang ditempatkan di BCA cabang Pacifik Palace dan No pol R/283/IV/2009/Dit II Eksus tanggal 27 April 2009 atas nama Gayus Tambunan di Bank Panin Indonesia cabang Bursa Efek Jakarta (BEJ).
Atas surat perintah tersebut, selaku kuasa hukum Gayus, Haposan mengambil inisiatif untuk membela kliennya. Maka pada pukul 17.30 WIB di akhir Agustus 2009, Lambertus yang dihubungi Haposan lewat telepon selulernya mengikuti pertemuan di Hotel Sultan. Pertemuan ini dihadiri Haposan, Peber EW Silalahi, Andi dan Gayus untuk membahas dugaan tindak pidana pencucian uang dan korupsi atas nama Gayus.
Masih menurut jaksa, dalam pertemuan di Hotel Sultan, Haposan sempat menghubungi penyidik Kompol Arafat melalui selulernya. Haposan yang membesarkan volume telepon selulernya meminta petunjuk pada Arafat seputar bisnis apa yang bisa dipakai guna meng-cover uang Gayus yang diblokir.
Arafat memberi masukan, bisnis apa saja sebenarnya bisa diskenariokan. “Yang penting jangan bisnis batu bara. Karena bisnis batu bara sering dipakai untuk kasus-kasus lain,” sitir JPU.
Maka disepakati bisnis yang dianjurkan untuk diagendakan dalam menyusun rekayasa kasus ini adalah bisnis sektor properti. Dengan cepat, untuk menyiasati ancaman pidana yang tengah diselidiki Bareskrim, dibentuklah kontrak antara Gayus dan Andi mengenai proyek pembangunan ruko di wilayah Ancol Timur, Jakut. Dalam proyek ini Lambertus membuat kwitansi Rp 28 miliar yang seolah-olah telah diserahterimakan uang dari rekening Gayus kepada Andi. “Padahal, uang di rekening itu diperoleh dari wajib pajak bukan dari Andi,” kata jaksa Adhi Prabowo.
Lebih lanjut, untuk memuluskan skenario ini, Lambertus menyiapkan materi kerjasama serta mendampingi Andi menghadapi penyidik.
Pertemuan selanjutnya pun digelar. Pada 31 Agustus pukul 24.00 WIB, Lambertus, Gayus dan Haposan kembali bertemu di Hotel Crystal untuk membahas konsep perjanjian kerjasama. Dari situ, Lambertus dan Gayus menindaklanjuti pertemuan di rumah Lambertus, Kebayoran Lama, Jaksel guna membuat surat kerjasama. Esok harinya pada 1 September sekitar pukul 09.00 WIB, Lambertus, Haposan, Andi, James dan Peber Silalahi kembali bertemu di Hotel Ambhara.
Lambertus ketika itu menyerahkan surat perjanjian kerjasama pada Gayus untuk ditandatangani. Surat perjanjian kerjasama itu diberi tanggal mundur, 26 Mei 2008. Hal ini diduga JPU untuk menyesuaikan dengan tanggal penyerahan dana di rekening Gayus yang diblokir penyidik.
Selanjutnya, mereka berangkat ke Bareskrim menemui penyidik Arafat dan Sri Sumartini. Saat itu, Lambertus ikut menemani Gayus yang diperiksa sebagai tersangka atas tuduhan turut serta dalam pembuatan rekayasa perjanjian kerjasama tersebut. Dalam perjanjian kerjasama itu disepakati skenario Andi meminta uang pada Gayus, yang kemudian disarankan oleh Gayus untuk meminta pada Haposan. Andi pun mengontak Haposan.
Pertemuan Lanjutan Digelar Di Kantor Haposan
Selang dua hari setelah skenario rekayasa disampaikan kepada penyidik, Lambertus menemui Haposan di kantornya, Lantai 19, Gedung Patra Jasa, Jalan Gatot Subroto, Jakarta.
Menurut dakwaan jaksa, Lambertus ketika itu diberi Rp 100 juta sebagai imbalan atas penerbitan surat kerjasama tanggal 26 Mei 2008. Dua hari setelah menerima uang dari Haposan, Lambertus kembali datang ke kantor Haposan untuk menerima tambahan uang jasa Rp 150 juta.
Selanjutnya pada awal September 2009, Lambertus kembali bertemu Haposan dan Andi di kantornya. Saat itu juga, Andi membaca dan menandatangi skenario perjanjian kerjasama proyek poperti. Pada pertemuan tersebut, Andi dibriefing Lambertus agar lancar dalam memberi keterangan pada penyidik.
Pengarahan itu berlanjut hingga 27 September 2009. Kala itu Gayus, Lambertus, Andi dan Haposan sempat kembali berkompromi di Hotel Kartika Chandra. Pertemuan tersebut diduga untuk mematangkan skenario rekayasa atas kasus ini.
Pada Oktober 2009, dalam pemeriksaan, Lambertus mengaku memohon pembukaan blokir rekening atas nama Gayus di BCA dan Bank Panin. Adapun nomor rekening Gayus di BCA antara lain rekening deposito nomor 5375200781, 5375200730, 5375200748, 5375200756, 5375200764, 5375200772, 5375200799 dan rekening tahapan BCA nomor 4580336014, 4740198250,5375308999. Sedangkan rekening Bank Panin nomor 1207000722.
Surat permohonan pembukaan blokir rekening disampaikan pada 14 September 2009 dan ditujukan pada Direktur II Eksus Bareskrim. Hasilnya lumayan moncer, permohonan itu ditindaklanjuti dengan surat pembukaan blokir rekening atas nama Gayus dengan nomor surat R/804/XI/2009/ Bareskrim 26 Nov 2009 ditujukan pada Dirut BCA dan surat nomor R/805/XI/2009/Bareskrim tanggal 26 Nov 200 yang ditujukan pada Dirut Bank Panin.
Kuasa hukum Lambertus yang diwakili Petrus Ballapatyona menyatakan, dakwaan jaksa terhadap kliennya terlalu prematur. Alasannya, keterlibatan kliennya dalam perkara ini hanya sebatas menjalankan profesinya sebagai advokat.
Artinya, jelas Petrus, saat tuduhan rekayasa tersebut terjadi, kliennya berstatus sebagai pengacara Andi. “Dia hanya menjalankan perintah dari kliennya,” tegasnya.
Lambertus yang sempat bersaksi dalam persidangan dengan terdakwa Kompol Arafat, mengaku tidak tahu bahwa surat perjanjian itu sebagai rekayasa. “Saya tidak tahu, surat perjanjian itu tujuannya untuk apa. Saya diminta klien saya untuk membuat surat tersebut. Maka saya buatkan,” akunya.
Hakim Harus Berani
Andi Rio, Anggota Komisi III DPR
Skenario merancang rekayasa atas perkara Gayus Tambunan ini harus dibuka secara gamblang. Untuk itu, keberanian aparat penegak hukum dalam menelusuri dan mengembangkan kasus konspirasi pajak kakap ini harus terus didorong.
“Jangan digantung. Hanya dituntaskan yang kecil-kecil saja sementara yang kakapnya dibiarkan lolos,” ucap Andi Rio, anggota Komisi hukum DPR.
Dia menambahkan, selama ini wajah penegakan hukum di Tanah Air sudah tidak menentu, bahkan cenderung salah kaprah. Karena kelemahan penegakan hukum inilah, maka para mafia hukum bisa seenaknya memanipulasi fakta-fakta.
Menurutnya, tidak hanya pada kasus Gayus ini saja terjadi rekayasa. Pada perkara-perkara lain, unsur rekayasa kasus juga bisa diidentifikasi, namun anehnya sulit diberantas.
Biasanya, lanjut dia, rekayasa kasus melibatkan tersangka, pengacara maupun penegak hukum dengan menggunakan kepanjangan tangan orang lain atau populer disebut dengan istilah markus perkara. “Mereka piawai memainkan kasus untuk tujuan tertentu atau menangguk keuntungan pribadi,” tuturnya.
Untuk itu, lagi-lagi ia mendesak agar keberanian aparat penegak hukum, terutama kalangan hakim lebih ditonjolkan. Keberanian itu, menurutnya, sangat penting untuk membenahi institusi pengadilan yang selama ini carut-marut.
“Hakim harus berani mengambil terobosan. Jadi harus dibuka semuanya agar tidak jadi bahan pertanyaan. Kalau terbukti hakimnya tidak berani dan tegas, maka copot hakimnya. Ganti dengan hakim yang berani dan berintegritas tinggi dalam menangani perkara,” tutupnya.
Harus Tuntas Sampai Akarnya
Alfons Leomau, Pengamat Hukum
Kesempatan emas membongkar kasus mafia pajak harus dijadikan momentum untuk membongkar konspirasi yang lebih besar lagi.
Jika momentum ini tak dimanfaatkan secara maksimal, bukan tidak mungkin kasus yang dibongkar Komjen Susno Duadji akan sia-sia. “Jangan sampai kita membuang-buang waktu dan energi percuma. Kasus ini harus tuntas sampai ke akar-akarnya,” ujar pengamat hukum Kombes (Purn) Alfons Leomau.
Kepada Rakyat Merdeka, pria asal NTT ini menyayangkan penuntasan kasus mafia pajak yang sejauh ini masih terkesan berputar-putar. Permasalahannya, menurut dia, keberanian aparat dari tingkat kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan dalam menangani kasus ini masih sangat minim.
Ia berpandangan, konspirasi dalam kasus yang melibatkan sederet oknum penegak hukum ini, bakal mencoreng citra korps masing-masing. “Penyelesaian kasus ini sangat terkait dengan citra penegakan hukum yang saat ini sangat terpuruk,” tandasnya.
Selain menindak para pihak maupun aparat yang saat ini sudah dibawa ke pengadilan, lanjut Alfons, penegak hukum juga harus menindaklanjuti temuan-temuan baru yang terkait dengan substansi permasalahan ini. Artinya, kalau memang masih ada indikasi keterlibatan oknum lainnya, harus ditindaklanjuti secara transparan dan berkesinambungan. “Jadi tidak ada kesan tebang pilih di sini,” imbuhnya. [RM]
Sumber : rakyatmerdeka.co.id
Baca juga:
bagus pak lanjutkan perjuangannya
BalasHapus