Mengenai Saya

Foto saya
Shio : Macan. Tenaga Specialist Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar. Trainer Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar Negara Asing. Pengajar part time masalah Surveillance Detection, observation techniques, Area and building Analysis, Traveling Analysis, Hostile surveillance Detection analysis di beberapa Kedutaan besar negara Asing, Hotel, Perusahaan Security. Bersedia bekerja sama dalam pelatihan surveillance Detection Team.. Business Intelligence and Security Intelligence Indonesia Private Investigator and Indonesia Private Detective service.. Membuat beberapa buku pegangan tentang Surveilance Detection dan Buku Kamus Mini Sureveillance Detection Inggris-Indonesia. Indonesia - Inggris. Member of Indonesian Citizen Reporter Association.

Jumat, 21 Januari 2011

Dialog Kebohongan Presiden (1)

Kamis, 20/01/2011 12:13 WIB
Dialog Kebohongan Presiden (1)
Membalik Daftar Kebohongan Jadi Daftar Kebenaran 
Didik Supriyanto - detikNews


                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          

Jakarta - Selama periode pertama kekuasaan SBY, keluhan yang sering disampaikan oleh beberapa agamawan adalah betapa sulit menemuinya. Padahal mereka ingin bertemu Presiden sekadar untuk menyampaikan masalah-masalah yang dihadapi umatnya. Mereka ingin menyampaikan masukan demi kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan minta bantuan.

Kalau para agamawan itu mengeluh gara-gara sulit bertemu Presiden, bukan berarti mereka minta diperhatikan apalagi dikasihani. Mereka sekadar menunjukkan perasaan saja: ada perbedaan perlakukan dari SBY jika dibandingkan dengan Habibie, Gus Dur dan Megawati; ketiganya responsif atas permintaan agamawan untuk bertemu dan bertukar pikiran, mengapa SBY tidak? Itu saja.

Bagi agamawan tidak bertemu Presiden, bukanlah masalah. Sebab status mereka tidak ditentukan oleh Presiden atau pemerintah. Jika mereka ingin bertemu, sebetulnya mereka ingin mendapatkan kepastian dari pemerintah bahwa negara meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan keadilan bagi warga negara, negara menjamin hak-hak dasar warga negara: beribadah, berserikat, serta berekspresi.

Hal itu dilakukan karena setiap hari para agamawan mendengar langsung keluhan dari umatnya, menyaksikan sendiri masalah-masalah yang dihadapi umatnya. Dan umat mereka tidak lain adalah warga negara, sehingga logis saja kalau para agamawan itu menyampaikannya ke Presiden, baik selaku kepala negara maupun kepala pemerintahan.

Tetapi jika Presiden tidak sudi mendengarkan, ya tidak apa. Mereka tidak mempunyai daya paksa, mereka tidak mempunyai posisi tawar politik maupun ekonomi. Mereka pun juga tidak mungkin menggerakkan umat untuk berdemonstrasi di Istana.

Oleh karena itu, ketika SBY memasuki masa kekuasaan yang kedua, tidak lagi muncul keluhan para agamawan hanya karena surat permohonanya untuk bertemu tidak dijawab. Bahkan mereka juga tidak lagi pernah mengajukan permohonan untuk bertemu.

Para agamawan seakan menyadari, bahwa Presiden sangat sibuk sehingga waktu 24 jam pun tidak cukup untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan penting. Presiden harus berhati-hati dalam mengambil keputusan, sehingga membutuhkan waktu banyak untuk berpikir dan menimbang-nimbang sendiri semua keputusan.

Presiden perlu membuat keputusan yang rasional sehingga tidak boleh diganggu oleh keluhan umat dan pesan-pesan moral yang disampaikan agamawan. Toh, soal masalah rakyat presiden sudah paham, apalagi soal pesan-pesan moral.

Para agamawan sudah terbiasa dengan "gaya politik" SBY dalam menghadapi agamawan. Dari cara SBY menghadapi masalah-masalah kebangsaan, mereka juga tahu, sebenarnya tiada guna juga bertemu. Apa artinya bertemu, berdiskusi kalau tidak ada solusi dan implementasi?

Oleh karena itu, sebuah keterjutan yang luar biasa bagi para agamawan, ketika sejumlah menteri bereaksi keras sekaligus negatif atas apa yang dinyatakan oleh para agamawan. Mereka seakan kebakaran jenggot terhadap apa yang disebut agamawan sebagai 18 kebohongan penguasa.

Padahal ke 18 kebohongan itu sudah sudah bukan rahasia lagi bagi sebagian rakyat Indonesia yang terbiasa mendapatkan informasi dari televisi, radio, majalah, koran, dan internet. Tetapi kenapa ketika ke-18 kebohongan itu diungkapkan agamawan, Presiden dan anak buahnya bereaksi keras.

Apakah reaksi keras itu bisa menghapus catatan para agamawan tentang 18 kebohongan penguasa? Apakah undangan dialog yang menjadi monolog di Istana bisa membalikkan daftar kebohongan menjadi daftar kebenaran?

(diks/iy)
Sumber : detiknews. Selasa 20 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar, masukan yang sifatnya membangun blog ini.

Cari Blog Ini