Mengenai Saya

Foto saya
Shio : Macan. Tenaga Specialist Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar. Trainer Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar Negara Asing. Pengajar part time masalah Surveillance Detection, observation techniques, Area and building Analysis, Traveling Analysis, Hostile surveillance Detection analysis di beberapa Kedutaan besar negara Asing, Hotel, Perusahaan Security. Bersedia bekerja sama dalam pelatihan surveillance Detection Team.. Business Intelligence and Security Intelligence Indonesia Private Investigator and Indonesia Private Detective service.. Membuat beberapa buku pegangan tentang Surveilance Detection dan Buku Kamus Mini Sureveillance Detection Inggris-Indonesia. Indonesia - Inggris. Member of Indonesian Citizen Reporter Association.

Selasa, 29 Maret 2011

OPINI : RUU Intelijen dan Rezim Keamanan

 

RUU Intelijen dan Rezim Keamanan

Oleh Donny Gahral Adian
Alasan hadirnya negara adalah keamanan warganya. Filsuf Hobbes menegaskan betapa negara hadir untuk mengubah situasi khaos menjadi tertib dan aman.
Fungsi penjaga keamanan tersebut kemudian diinstitusionalisasikan ke lembaga-lembaga. Di sini aktivitas lembaga dalam menjaga keamanan sering berbenturan dengan prinsip kebebasan. Guantanamo Bay tidak berseberangan dengan Kuba, tetapi dengan hak asasi manusia.
Penangkapan tersangka tanpa proses peradilan bertentangan dengan supremasi hukum. Penyadapan mematikan hak atas privasi. Aktivitas publik lembaga yang mengurusi keamanan nasional sering melintas batas sesuatu yang sangat pribadi. Silang sengketa RUU Intelijen berporos pada logika substitusi antara keamanan dan kebebasan.
Keamanan nasional
Hadir tidaknya negara ditentukan oleh berfungsi atau mandulnya kerja kelembagaan dalam melindungi keamanan warga. Di sini pemerhati HAM sering meletakkan keamanan nasional (national security) di seberang keamanan manusia (human security). Saya tidak heran dengan sinyalemen tersebut.
Kata ”keamanan nasional”, di seluruh dunia, sering kali diputarbalikkan menjadi keamanan rezim. Itu berarti rezim memiliki keleluasaan menggunakan lembaga untuk kepentingan politik jangka pendeknya, termasuk cara-cara yang bertentangan dengan HAM. Keamanan rezim pun ditempatkan di atas keamanan manusia.
Saya sepakat dengan artikel Mudzakir (Kompas, 28/3/11) tentang perlunya kita secara saksama merumuskan ancaman terhadap keamanan nasional. Menurut beliau, definisi ancaman nasional terlalu luas dan rawan terhadap penyelewengan. Namun, saya pikir ancaman nasional adalah definisi sekunder yang belakangan didefinisikan setelah kita rampung dengan definisi keamanan nasional. Sebab, apabila kita tidak tahu apa itu keamanan nasional, kita bisa jadi meleset dalam mendefinisikan ancaman terhadapnya.
Kekeliruan dalam mendefinisikan ”keamanan nasional” memiliki dua bahaya. Pertama, kita terjebak dalam persoalan sekuritisasi. Artinya, kita menganggap semua isu sebagai isu keamanan. Ini sesungguhnya yang ingin diselesaikan oleh RUU Intelijen.
RUU ini ingin memilah betul mana isu yang masuk kategori keamanan nasional dan mana yang bukan. Di sini, persoalan tentang rezim yang memakai lembaga intelijen untuk memata-matai kelompok oposisi menjadi terang duduk perkaranya. Pertanyaan, ”apakah presiden boleh memakai lembaga intelijen untuk menyadap telepon genggam bawahannya”, akan terjawab dengan sendirinya.
Bahaya kedua adalah rendahnya akuntabilitas publik lembaga intelijen. Absennya definisi keamanan nasional membuat kita tidak dapat menguji akuntabilitas lembaga intelijen. Seolah semua operasi dibenarkan karena mengatasnamakan keamanan nasional.
Kita gagap dalam memilah mana operasi yang dilangsungkan demi keamanan nasional dan mana yang semata demi keamanan pribadi atau golongan. Akuntabilitas etis lembaga intelijen terpulang kepada keberhasilan kita merumuskan keamanan nasional secara jelas dan terpilah.
Keamanan dan kebebasan
Persoalan HAM dalam RUU Intelijen terfokus pada poin mengenai kewenangan penangkapan dan penahanan oleh lembaga intelijen. Kewenangan tersebut ditengarai tidak sekadar berpotensi melanggar HAM, tetapi membuka peluang operasi intelijen hitam (black ops). Mudzakir berpendapat bahwa kewenangan itu tidak perlu dicabut, tetapi dibatasi. Kewenangan tersebut dibatasi pada individu yang patut diduga telah melakukan tindakan pelanggaran hukum spesifik (Kompas, 28/3/11).
Saya menemukan persoalan pada gagasan pembatasan kewenangan di atas. Pertama, bagaimana kita yakin bahwa dugaan bahwa seseorang melanggar hukum sungguh bersandar pada informasi yang akurat. Dengan kata lain, pembatasan itu sesungguhnya tidak membatasi apa-apa. Kedua, bagaimana apabila justru lembaga intelijen justru hanya bisa menduga untuk menangkap dan meminta informasi.
Di sini akurasi justru bukan persoalan utama, melainkan kecepatan. Kerja lembaga intelijen senantiasa berlomba dengan waktu. Yang terpenting adalah mendapatkan informasi sebelum serangan terhadap keamanan nasional terjadi. Untuk itu, kewenangan penangkapan dan penahanan hanya dibatasi oleh keperluannya, mendapatkan informasi strategis untuk melindungi keamanan nasional. Tidak lebih dan tidak kurang.
Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) mengatakan bahwa sumir atau absennya informasi tentang sebab akibat tidak membatasi seorang untuk mengambil tindakan. Lembaga intelijen harus berkejaran dengan waktu untuk memperoleh informasi strategis. Untuk itu, akurasi sebagai tolok ukur informasi perlu diletakkan di bawah kecepatan. Untuk itu, kewenangan penahanan menjadi penting untuk memperoleh informasi secepat mungkin. Akurasi adalah ujian kedua setelah informasi diperoleh dan diolah.
Keamanan dan kebebasan, pada akhirnya, tidak perlu dipertentangkan. Kebebasan memiliki dimensi keamanan. Demikian pula sebaliknya. Salah satu jenis kebebasan, misalnya, adalah kebebasan dari rasa takut. RUU Intelijen diperlukan untuk menjadi koridor kegiatan intelijen dalam rangka menjamin kebebasan warga dari rasa takut.
Penting digarisbawahi bahwa roh RUU Intelijen adalah amanat Pembukaan UUD 45 yang berbunyi: ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Itu adalah koridor utama kegiatan intelijen.
Koridor tersebut adalah koridor abadi karena bersumbu pada dua hal. Pertama, alasan hadirnya negara untuk melindungi keamanan warganya dalam bentuk tradisional ataupun nontradisional. Kedua, amanat UUD 45 sebagai kehendak politik yang abadi, bukan kepentingan politik rezim yang silih berganti.
RUU Intelijen harus segera dirampungkan sebab ancaman terhadap keamanan nasional senantiasa bergegas. Kelambanan dalam penyelesaian akibat debat kusir yang tidak perlu dapat dipandang sebagai lemahnya komitmen terhadap amanat konstitusi. RUU Intelijen adalah persimpangan jalan.
Saatnya parlemen memilih ”road less travelled by” yakni merumuskan sekali untuk selamanya ”keamanan nasional” dan menutup pintu bagi penyalahgunaan kekuasaan. Semoga konstitusi masih menjadi buku teks mereka.
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik Posmodern Universitas Indonesia
Sumber : kompas, Rabu, 30 maret 2011
sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/30/0311024/ruu.intelijen.dan.rezim.keamanan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar, masukan yang sifatnya membangun blog ini.

Cari Blog Ini