Mengenai Saya

Foto saya
Shio : Macan. Tenaga Specialist Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar. Trainer Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar Negara Asing. Pengajar part time masalah Surveillance Detection, observation techniques, Area and building Analysis, Traveling Analysis, Hostile surveillance Detection analysis di beberapa Kedutaan besar negara Asing, Hotel, Perusahaan Security. Bersedia bekerja sama dalam pelatihan surveillance Detection Team.. Business Intelligence and Security Intelligence Indonesia Private Investigator and Indonesia Private Detective service.. Membuat beberapa buku pegangan tentang Surveilance Detection dan Buku Kamus Mini Sureveillance Detection Inggris-Indonesia. Indonesia - Inggris. Member of Indonesian Citizen Reporter Association.

Rabu, 16 Maret 2011

Ulil Abshar-Abdalla - (kumpulan beberapa Artikel)

Ulil Abshar-Abdalla on July 9th, 2010
ADA anggapan di sebagian kalangan Islam bahwa melakukan penafsiran kembali atas sejumlah doktrin, ajaran, atau norma dalam Islam dianggap sebagai penghinaan atas agama itu. Menafsir adalah tindakan penghinaan. Begitu juga, menafsirkan satu-dua ayat atau hadis dengan cara yang tidak sesuai dengan pandangan ortodoks, yakni pandangan yang dianut oleh sebagian besar umat, juga dipandang sebagai semacam sacrilege, atau penghinaan atas agama dan kitab suci.
Apakah anggapan semacam ini benar? Jawaban saya sederhana: sama sekali tidak benar. Menafsirkan ajaran Islam dengan sudut pandang yang berbeda dengan pendapat umum bukanlah penghinaan atas Islam, agama atau kitab suci. Sejak awal, teks Quran selalu ditafsirkan dengan berbagai sudut pandang oleh ulama dan sarjana Islam. Metode penafsiran Quran juga berkembang terus sesuai dengan tahap-tahap perkembangan peradaban Islam. Pada periode awal perkembangan Islam, belum kita jumpai sejumlah disiplin keilmuan yang kompleks dan bercabang-cabang seperti kita lihat pada perkembangan Islam belakangan, terutama saat peradaban Islam mencapai puncak kreativitas dan kemajuannya pada abad ke-9 hingga ke-12 Masehi. Karena itu, tafsiran atas Quran pada periode awal itu juga sangat sederhana.
Tetapi lihat apa yang terjadi belakangan, ketika ilmu-ilmu dalam Islam berkembang luas dan menjadi canggih. Pada tahap itulah, kita lihat sejumlah model tafsiran atas Quran yang makin canggih dengan pendekatan yang makin beragam. Tafsir yang begitu voluminous (berjilidi-jilid) yang ditulis oleh Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209), berjudul Mafatih al-Ghaib (Kunci-Kunci Menuju Dunia Yang Tersembunyi) yang terdiri dari 32 jilid (edisi Dar al-Fikr, Lebanon, 1981), jelas tidak akan pernah lahir pada zaman awal Islam, zaman ketika cabang-cabang ilmu Islam belum berkembang pesat. Tafsir semacam ini lahir setelah cabang-cabang pengetahuan dalam Islam berkembang begitu jauh.
Dalam tafsir ini, al-Razi berusaha menafsirkan Quran dengan memakai seluruh pendekatan yang dihasilkan oleh ilmu-ilmu yang ada pada zamannya. Dalam tafsirnya itu, kita bertemu dengan ayat-ayat Quran yang ditafsirkan oleh al-Razi dengan pendekatan gramatikal (nahw/sharf), teori sastra (balagha), hadis, fiqh (hukum Islam), filsafat, teologi, sejarah, mistik/tasawwuf, astronomi, logika (manthiq), dsb. Tak heran, jika tafsir al-Razi tersebut begitu tebal jumlah halamannya, karena dia mencoba memobilisasi seluruh khazanah intelektual yang ada pada zamannya untuk menafsirkan Quran.
Dengan kata lain, tafsir atas Quran, juga hadis, berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu yang ada dalam masyarakat Islam. Oleh karena itu, tafsiran atas Quran, termasuk tafsiran yang berbeda dengan pandangan ortodoks yang sudah mapan, tidak bisa dipandang sebagai penghinaan atas ajaran Islam.
Jika tafsir terus berkembang, apakah dengan demikian Quran bisa ditafsirkan dengan seenaknya tanpa batas? Ini adalah pertanyaan yang sering saya dengar dari banyak kalangan. Sudah tentu, Quran, sebagaimana kitab suci dalam agama manapun, tidak bisa ditafsirkan dengan “seenaknya”. Setiap tafsir tentu mempunyai batas-batasnya sendiri. Tidak ada tafsir yang bergerak bebas seenaknya, tanpa diikat oleh suatu batas tertentu. Yang menjadi masalah adalah, siapa yang menentukan batas itu, apakah batas tersebut statis atau bergerak/berubah terus, apakah batas-batas itu berkembang sesuai dengan perkembangan piranti intelektual yang ada pada umat manusia atau tidak, dst.
Sebelum dibatasi oleh yang lain-lain, setiap penafsiran, termasuk penafsiran Quran, jelas dibatasi oleh tradisinya sendiri. Quran sudah hadir dalam masyarakat Islam lebih dari 14 abad, waktu yang jelas sangat panjang sekali. Dalam rentang waktu sepanjang itu, berkembang segala corak penafsiran atas Quran yang dipengaruhi, sebagaimana saya katakan tadi, oleh sejumlah cabang-cabang pengetahuan yang ada pada zamannya. Sejarah Quran yang begitu panjang itu jelas melahirkan suatu “tradisi penafsiran” tersendiri. Sebelum diikat dan dibatasi oleh yang lain-lain, saat menafsirkan Quran, seorang penafsir jelas dibatasi oleh tradisi itu.
Jika anda ingin menjadi seorang “penafsir profesional” dan hendak menafsirkan Quran, maka sudah seharusnya anda membaca segepok tafsir yang pernah dikerjakan oleh para penafsir yang telah mendahului anda, bukan sebagai pakem yang harus diikuti secara harafiah, mentah-mentah, tetapi sebagai semacam rujukan awal, sebagai term of reference. Sama dengan seorang ilmuwan yang bekerja pada bidang manapun: dia akan diikat oleh tradisi keilmuan dalam disiplin di mana dia bekerja. Seorang fisikawan yang bekerja dalam fisika murni, misalnya, jelas tak bisa mengabaikan pekerjaan yang sudah dilakukan oleh para ilmuwan sebelumnya. Dia tak bisa mengabaikan nama-nama besar seperti Isaac Newton atau Werner Heisenberg, misalnya. Setiap ilmuwan selalu bersandar pada pundak para raksasa pengetahuan yang datang sebelumnya. Ini adalah kaidah dasa r yang berlaku dalam semua bidang pengetahuan.
Hal serupa juga terjadi pada kegiatan penafsiran Quran. Setiap kegiatan penafsiran Quran jelas dibatasi oleh tradisi penafsiran yang terbentuk selama ratusan tahun. Seorang penafsir Quran tidak bisa mengabaikan pekerjaan besar yang sudah dilakukan oleh para “raksasa tafsir” sebelumnya seperti al-Tabari, al-Qurtubi, al-Razi, dll. Mereka adalah “the giants in the history of Quranic interpretation”, raksasa-raksasa dalam sejarah penafsiran Quran. Mereka semuanya ambil bagian dalam membentuk apa yang tadi saya sebut sebagai “tradisi penafsiran”. Tradisi inilah yang pertama-tama membatasi setiap kegiatan menafsir.
Tetapi, yang tak boleh kita lupakan adalah bahwa tradisi bukanlah sesuatu yang sifatnya statis atau berhenti. Tradisi adalah entitas yang sifatnya dinamis. Tradisi juga bukan benda yang hadir ujug-ujug. Tradisi adalah sesuatu yang lahir karena ada manusia yang membentuknya. Dengan kata lain, tradisi adalah sesuatu yang dikonstruksi atau dibentuk oleh manusia. Begitu juga tradisi penafsiran Quran: ia bukanlah entitas yang lahir ujug-ujug sekali jadi, tanpa suatu sejarah. Tradisi penafsiran Quran, misalnya, dibentuk dan diciptakan oleh manusia-manusia yang selama ini bekerja dalam lapangan penafsiran. Mereka sering disebut sebagai mufassir, atau dalam bahasa Inggris disebut exegete. Masing-masing mufassir seperti menyumbangkan satu batu bata yang akhirnya membentuk rumah besar yang disebut dengan tradisi penafsiran itu.
Karena tradisi dibentuk dan diciptakan, maka ia bisa juga diubah dan karena itu juga berkembang. Dalam tradisi penafsiran Quran, misalnya, dikenal semacam syarat-syarat kompetensi tertentu untuk menafsirkan Quran, antara lain harus menguasai bahasa Arab. Syarat ini bukan syarat “suci” yang tidak bisa dibantah. Sebagian besar kalangan tentu setuju dengan syarat ini; tetapi sebagian kalangan yang lain tidak menyetujuinya. Karena Quran sudah hadir dalam bentuk terjemahan, maka akses terhadapQuran bukan menjadi monopoli mereka yang mengerti bahasa Arab saja. Mereka yang tidak setuju dengan syarat ini berpandangan bahwa Quran bukanlah kitab suci milik bangsa Arab belaka; sebaliknya ia adalah, mengutip sebuah ayat dalam Quran, “hudan li al-nas”, petunjuk bagi manusia, siapa saja, tanpa melihat asal-usul kebangsaan dan suku mereka. Pesan Quran, menurut mereka, bisa dipahami dengan bahasa apa saja, dan karena itu “wewenang menafsir” bukanlah monopoli mereka yang hanya menguasai bahasa itu. Pandangan yang menganggap bahwa wewenang menafsir hanya ada pada mereka yang menguasai bahasa Arab sama saja dengan melakukan “ethnification of the Quran”, yakni menjadikan teks Quran sebagai teks yang melekat dengan etnik tertentu. Ini hanya kasus kecil saja untuk memperlihatkan bahwa dalam tradisi penafsiran Quran itu juga kita jumpai perbedaan tentang syarat-syarat kompetensi untuk menafsir.
Masalah lain yang bisa diangkat ke permukaan, misalnya, adalah: Apakah penafsiran atas Quran hanya menjadi monopoli mereka yang secara formal menyandang gelar ulama atau kiai, yaitu mereka yang telah menjalani “academic training” atau pendidikan ilmiah di bidang ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-diniyyah)? Saya cenderung berpendapat bahwa penafsiran bukanlah monopoli para ulama saja, dengan asumsi bahwa ulama di sini adalah mereka yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu agama. Istilah “ulama” mungkin juga harus diperluas pengertiannya.
Ulama mestinya bukanlah hanya mereka yang ahli di bidang ilmu-ilmu keagamaan saja, tetapi mereka yang memenuhi dua unsur utama: yaitu keahlian (expertise) di bidang-bidang yang relevan dengan keahlian orang bersangkutan, plus etos yang dalam Quran disebut sebagai “khasy-yah” yang sering diterjemahkan sebagai “takut Tuhan”. Saya ingin memaknai istilah khasy-yah ini dalam pengertian yang jauh lebih mendasar: yaitu ilmuwan yang mencari kebenaran berdasarkan norma-norma yang ditentukan oleh disiplin di mana dia bekerja, bukan menundukkan disiplin itu kepada norma dari luar. “Takut Tuhan” saya maknai di sini sebagai kesadaran untuk terus mencari sumber kebenaran, sebab Tuhan, sebagaimana dalam al-asma’ al-husna (nama-nama Tuhan yang indah sebagaimana dikenal dalam tradisi Islam), disebut sebagai al-Haqq, Yang Benar, Sumber Kebenaran. Siapapun yang memenuhi dua kualifikasi ini bisa disebut seabgai seorang ulama. Gelara itu bukanlah milik mereka yang ahli di bidang ilmu-ilmu agama belaka. Ulama adalah kategori jenerik yang artinya adalah “orang yang menguasasi bidang pengetahuan”.
Ringkasnya: tradisi penafsiran memang membatasi seorang penafsir, tetapi tradisi itu sendiri bukanlah benda yang sifatnya statis; sebaliknya, dia berubah, sesuai dengan perubahan piranti pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Dengan perkembangan piranti pengetahuan yang begitu canggih seperti saat ini, sudah semestinya kegiatan penafsiran atas Quran bisa lebih maju lagi dari kondisi yang ada sekarang.
Teks Quran memang tidak bisa disamakan dengan teks-teks “sekuler” lain, seperti teks bacaan pada umumnya. Dia adalah teks yang dipercaya sebagai teks suci oleh umat Islam, dan karena itu penafsiran atas teks semacam ini selalu merupakan tindakan yang sensitif. Hal ini bukan gejala khas dalam Islam, tetapi dalam hampir semua teks suci yang lain. Ada sejumlah rambu-rambu “angker” yang sengaja dibuat oleh “penjaga teks” itu agar kegiatan penafsiran tidak secara sembarangan dikerjakan oleh siapa saja, agar penafsiran tidak membawa pandangan-pandangan yang bertentangan dengan “pandangan ortodoks” yang sudah baku. Anggapan yang saya sebut di awal tulisan ini, yaitu bahwa penafsiran atas kitab suci bisa mengarah kepada sacrilege atau penodaan atas kesucian teks, adalah bagian dari cara penjaga ortodoksi (=pandangan yang dianggap paling benar dalam sebuah agama atau sistem kepeercayaan) untuk melindungi teks suci itu. Ini adalah gejala the politics of interpretation, politik penafsiran, yang biasa terjadi dalam semua tradisi teks suci, termasuk dalam kasus Quran juga. Banyak penafsir yang dianggap melakukan tindakan infidelity atau kekafiran hanya karena melakukan studi atas Quran dan membawa kesimpulan yang tidak sepenuhnya cocok dengan para ulama, penjaga paham ortodoks. Bukankah gejala serupa juga pernah kita lihat pada zaman Orde Baru dulu, di mana penafsiran atas Pancasila hanya bisa dilakukan oleh negara atau oleh para “penafsir negara” yang sudah mendapatkan “restu politik” dari the power that be. Mereka yang secara partikulir melakukan penafsiran atas Pancasila, dan dengan cara yang “liar”, berlawanan dengan ideologi negara, maka yang bersangkutan bisa ditangkap dan dipenjarakan. Keadaan serupa, kurang lebih, kita lihat juga dalam konteks penafsiran teks suci, termasuk Quran.
Kedudukan Quran sebagai teks suci jelas tidak saya sangkal. Yang saya persoalkan adalah “politik penafsiran” yang sengaja diciptakan oleh penjaga paham ortodoks untuk melindungi “kesucian” paham tertentu agar tidak diganggu oleh penafsiran-penfsiran baru yang dianggap “menyimpang”. Sebagaimana kita mengalami demokratisasi politik saat ini, kita juga membutuhkan suatu kondisi penafsiran yang lebih demokratis lagi dalam tubuh umat Islam. Demokratisasi penafsiran bisa ditandai oleh banyak hal. Antara lain: pendekatan tafsir yang kian terbuka pada perkembangan baru dalam teori-teori penafsiran belakangan yang biasa dikenal dengan filsafat hermeneutika. Ketika saya mengatakan “terbuka” terhadap pendekatan baru dari luar, bukan berarti pendekatan baru itu harus dipraktekkan secara mentah-mentah tanpa melalui proses “aklimatisasi” atau penyesuaian dengan tradisi hermeneutik yang ada dalam Quran. Aklimatisasi dan akulturasi dengan tradisi Quran sendiri jelas sangat penting dan merupakan keharusan.
Ciri lain dalam demokratisasi penafsiran: terkikisnya kecenderungan untuk menganggap bahwa tafsir yang berbeda secara mendasar dengan tafsir ortodoks sebagai tafsir sesat. Tradisi menyesatkan tafsir yang berbeda harus digantikan dengan tradisi lain yang lebih demokratis, yaitu dialog antar penafsiran yang berbeda. Sebutan yang pas untuk tafsir yang bertentangan dengan tafsir dominan bukan “tafsir sesat” tetapi “tafsir yang berbeda”. Konsep atau etos yang perlu dikembangkan bukan ethos of deviation, sebaliknya ethos of difference. Yang perlu dikembangkan adalah cara pandang yang melihat tafsir yang tidak sama sebagai tafsir berbeda, bukan tafsir menyimpang.
Hanya dengan cara seperti inilah kita bisa mengembangkan tradisi pemikiran dan kehidupan keagamaan yang sehat di masa mendatang.[]
Ulil Abshar-Abdalla on July 9th, 2010
ISLAM adalah agama yang bisa kita kategorikan sebagai “agama berkitab suci” (scriptured religion). Semula kitab suci ini bersifat oral atau teks lisan yang tidak dituangkan dalam bentuk tulisan, tetapi pada perkembangan belakangan kitab suci itu “diresmikan” dalam bentuk dokumen tertulis. Apa yang disebut dengan “kitab suci” umumnya adalah teks tertulis, dan karena itulah dalam bahasa Inggris disebut sebagai “scripture” atau tulisan.
Dalam Islam, kitab suci utama, sebagaimana kita tahu semua, adalah Quran, istilah Arab yang secara harafiah artinya adalah “bacaan. Di samping Quran, ada kitab suci lain yang keududukannya bisa disebut sebagai tafsir atau penjelasan atas Quran, dan disebut hadis atau sunnah. Hadis adalah istilah Arab yang secara harafiah artinya adalah “omongan” atau “ujaran”. Sementara “sunnah” artinya tindakan yang dibiasakan sehingga menjadi suatu tradisi. Baik hadis atau sunnah adalah ujaran, tindakan atau penetapan (taqrir, confirmation) yang berasal dari Nabi Muhammad.
Kalau mau, kita bisa menyebut Quran sebagai Kitab Suci Perdana (primary Scripture), sementara Hadis atau Sunnah adalah Kitab Suci Kedua. Sebagai teks, jelas hadis lebih banyak jumlahnya ketimbang Quran. Dari segi isi dan tema, hadis memiliki cakupan pembahasan yang jauh lebih luas ketimbang Quran. Oleh karena itu, penggambaran bahwa hadis atau sunnah semata-mata sebagai “penjelas teks Quran” sebetulnya tidak tepat. Hadis dan sunnah tidak sekedar menjelaskan Quran. Dalam banyak hal, hadis juga membuka tema baru yang sama sekali tidak ada dalam Quran.
Contoh yang sederhana, dalam Quran tidak kita temukan pembahasan tentang jenis-jenis kegiatan manusia dalam perdagangan atau sejenisnya. Yang kita baca dalam Quran hanyalah penegasan umum yang tertuang dalam sebuah ayat yang terkenal, “wa ahallal-Lahu al-bai’a wa harrama al-riba”, Tuhan membolehkan perdagangan, dan mengharamkan riba. Dalam Quran tidak disebutkan sejumlah transaksi-transaksi lain yang kita kenal melalui hadis dan kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam disiplin pengetahuan yang disebut fiqh atau hukum Islam. Transaksi itu misalnya: syirkah (kongsi dagang), mudarabah (permodalan), musaqah/muzara’ah (penggarapan tanah), salm (biasa diterjemahkan sekarang sebagai “future trading”), hawalah (penjualan surat hutang), dsb.
Itu hanya contoh-contoh transaksi yang disebutkan dalam hadis tetapi tidak kita temukan dalam Quran. Contoh-contoh itu saya pakai untuk menunjukkan bahwa hadis atau sunnah tidak semata-mata menjelaskan Quran, tetapi juga  membawa tema baru yang tidak disebutkan di sana.  Cakupan hadis lebih luas ketimbang Quran.
BAIK Quran dan sunnah bisa dikategorikan sebagai “foundational text”, teks dasar yang menjadi fondasi Islam. Karena kehidupan umat Islam terus berkembang, dan isu-isu baru yang dihadapi oleh mereka juga terus bermunculan, sementara itu tidak semua hal dan isu ada jawabannya dalam Quran dan sunnah, maka dibutuhkan “teks baru”. Teks itu, untuk mudahnya, kita sebut saja sebagai “interpretational text”, teks-teks tafsiran yang tentu didasarkan pada kedua teks fondasi di atas. Ribuan teks diproduksi atau ditulis oleh ulama, sarjana, dan intelektual Muslim sejak abad pertama Hijriyah hingga sekarang. Selama umat Islam ada, kegiatan untuk memproduksi teks-teks tafsiran ini tak akan berhenti.
Tafsir Quran, misalnya, ditulis oleh sarjana Islam sejak dahulu hingga sekarang, dalam berbagai bahasa, dan dengan berbagai ragam pendekatakan. Imam Ghazali, salah satu sarjana besar Islam dari abad ke-12 Masehi, menganalogikan Quran dengan samudera luas yang tak pernah kering. Analogi ini, sebetulnya, bisa kita pakai pula untuk kitab-kitab suci agama lain. Semua kitab suci dalam agama-agama manapun adalah seperti samudera luas yang tak bertepi. Dalam setiap agama, kitab suci selalu menjadi sumber inspirasi dan tafsiran yang tak kering-keringnya. Dalam agama Yahudi atau Kristen, teks-teks tafsiran atas kitab suci kedua agama itu terus diproduksi hingga sekarang. Dalam setiap agama, kitab suci selalu menjadi “foundational text”, teks dasar yang kemudian melahirkan sejumlah “interpretational text” yang jumlahnya terus berkembang, nyaris tanpa henti.  Selama agama bersangkutan masih menjadi “a living religion” atau agama yang hidup, bukan “dead religion” (agama yang sudah mati), maka kegiatan memproduksi teks-teks tafsiran itu tak akan pernah berhenti.
Jika kegiatan penafsiran dalam suatu agama yang kemudian dituangkan dalam “interpretational text” itu terus berjalan, maka itu pertanda bahwa agama bersangkutan masih merupakan agama yang hidup dan aktif. Begitu kegiatan penafsiran berhenti, atau malah dihalang-halangi karena dikhawatirkan akan melahirkan pandangan-pandangan baru yang “menyimpang”, maka itu pertanda adanya perkembangan yang tak sehat dalam agama bersangkutan.
SALAH satu gagasan yang populer di kalangan umat Islam adalah konsep tentang Quran sebagai kitab suci yang lengkap dan sempurna . Konsep “kesempurnaan/kelengkapan” ini menjadi kian penting pada saat umat Islam merasakan adanya semacam “ancaman peradaban” yang datang dari luar saat ini. Kalau kita telaah tradisi penafsiran Quran pada periode klasik (yaitu antara abad ke-8 hingga ke-12 Masehi, periode di mana kegiatan intelektual dalam dunia Islam mencapai puncak kreativitasnya), sebetulnya konsep “kelengkapan/kesempurnaan” itu tidak terlalu mendapatkan perhatian yang khusus. Saat itu, sebagai sebuah peradaban, Islam sedang naik daun dan kemudian mencapai titik apek tertinggi. Karena sebagai peradaban Islam berada pada posisi yang dominan, maka konsep kelengkapan dan kesempurnaan tidak terlau ditonjol-tonjolkan oleh sarjana Islam ketika itu. Sebagai peradaban, Islam memang sudah unggul, jadi, kenapa pula mesti dikatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, dan Quran adalah kitab yang lengkap?
Abad ke-20 menyaksikan perkembangan yang lain sama sekali. Umat Islam mundur dalam semua lapangan kehidupan. Sebagai peradaban, dunia Islam kalah jauh di banding dengan peradaban Barat. Dengan kata lain, sebagai peradaban, Islam disalip oleh peradaban lain. Bahkan, belakangan, ada perasaan bahwa umat Islam berada dalam ancaman dari luar. Sebuah buku yang ditulis oleh seorang cendekiawan Muslim Mesir, Dr. Muhammad Husain Mu’nis, menyandang judul seperti ini, Hushununa Muhaddah Min Dakhiliha (Benteng Kita Terancam Dari Dalam). Pada periode sebelum revolusi Iran pecah pada 1979 dulu, salah satu istilah yang populer adalah “gharb zadegi” atau “west-toxification” atau keracunan kebudayaan Barat. Di kalangan umat Islam revivalis (contoh yang bagus adalah PKS atau golongan tarbiyah), ada istilah populer, yaitu “al-ghazw al-fikri” atau serbuan pemikiran.
Istilah-istilah itu menandakan satu hal: bahwa dunia Islam merasa diancam oleh suatu “musuh besar” yang datang dari luar. Musuh dari luar itu kemudian “meracuni” pemikiran anak-anak Islam sehingga dalam tubuh umat Islam muncul juga apa yang sering disebut sebagai “musuh-musuh dalam selimut”. Ancaman dari dalam inilah yang dengan baik digambarkan oleh judul buku yang ditulis oleh Dr. Mu’nis di atas. Keadaan ini menciptakan mentalitas-serangan atau “siege mentality” yang ciri-cirinya, antara lain, adalah menguatnya dorongan untuk menegaskan identitas diri. Penegasan identitas terjadi karena adanya dorongan untuk menciptakan semacam “benteng” sebagai perlindungan diri dari serangan luar. Di sinilah, konsep tentang “kesempurnaan dan kelengkapan” Islam dan Quran muncul ke permukaan sebagai sarana simbolik untuk melindungi identitas umat.
Tak ada yang mengherankan dalam proses tersebut. Itu adalah proses yang wajar dalam semua masyarakat umat manusia. Di mana-mana, saat suatu masyarakat terancam, tentu mereka akan membuat “self-defense mechanism,” mekanisme pertahanan-diri. Pertahanan itu bisa bersifat inderawi, misalnya pertahanan militer, tetapi juga bisa simbolik, dalam bentuk pertahanan budaya. Konsep tentang kelengkapan dan kesempurnaan Quran adalah salah satu bentuk “pertahanan budaya” yang dimobilisasi oleh umat Islam untuk menangkal serangan budaya dari luar.
MESKIPUN wajar, ada beberapa akibat negatif dari dari gagasan tentang kelengkapan dan kesempuraan itu. Salah satunya adalah sikap-sikap eksklusivistik atau tertutup terhadap golongan-golongan di luar agama sendiri, bahkan golongan dalam agama yang sama tetapi memiliki pandangan yang berbeda. Kenapa konsep tentang kelengkapan ini kemudian membuahkan sikap ketertutupan? Ini adalah pertanyaan yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Esai pendek ini jelas tidak memadai untuk menejelaskan gejala kejiwaan semacam itu. Mungkin butuh artikel tersendiri yang panjang dan mendalam untuk menjelaskan kecenderungan tersebut.
Namun, secara umum dan mungkin agak spekulatif, dapat dikatakan bahwa anggapan tentang kelengkapan dan kesempurnaan suatu budaya bisa membawa akibat lain, yaitu rasa superior budaya. Perasaan superior atau unggul bisa menyebabkan seseorang atau golongan tertentu memiliki rasa “cukup diri” (self sufficiency) secara kebudayaan, sehingga tak perlu belajar dari golongan lain. Jika saya atau kami sudah cukup, kenapa mesti mengambil dari yang lain? Dari sanalah, sikap tertutup itu muncul ke permukaan.
Tidak dalam semua kasus tentunya rasa superior membuat seseorang atau golongan tertutup dan eksklusif. Dalam kasus lain, seseorang atau golongan dengan penuh keyakinan membuka diri pada dunia luar justru karena dia merasa unggul dan di atas angin. Ini terjadi pada periode Islam klasik, saat peradaban Islam mencapai titik apek atau puncak. Pada periode itulah, umat Islam dengan tanpa khawatir dan was-was membuka diri pada peradaban lain, menyerapnya, dan mengolahnya kembali menjadi budaya milik sendiri, tanpa merasakan adanya ancaman yang datang dari luar.
Pada zaman di mana umat Islam merasakan ancaman dari luar di segala sektor kehidupan, terutama sektor kebudayaan, perasaan superior itu bukan mendorong keterbukaan, sebaliknya ketertutupan. Ini tercermin dalam hal-hal kecil seperti larangan untuk mengucapkan ucapan selamat hari raya kepada golongan dari agama lain, atau bahkan ketakutan bahkan untuk sekedar mengucapkan “al-salamu ‘alaikum” kepada mereka.
Literatur polemis yang mencoba membuktikan keunggulan Islam dan kesalahan ajaran-ajaran agama lain juga banyak bermunculan akhir-akhir ini. Yang kadang terjadi dalam perjumpaan antara umat Islam dengan umat lain adalah bukan perjumpaan dialogis, tetapi perjumpaan polemis. Yang saya maksud dengan perjumpaan polemis adalah perjumpaan yang hanya ditandai oleh usaha untuk “self-justification” atau menjustifikasi diri sebagai lebih benar dari sistem kepercayaan lain. Dalam konteks inilah kita berhadapan dengan “fenomena Deedat”, yakni fenomena debat Islam-Kristen yang dilakukan oleh seorang polemis kondang dari Afrika Selatan, Ahmad Deedat. Sikap serupa juga muncul dari kalangan di luar Islam, seperti kita saksikan dari sejumlah literatur polemis yang ditulis oleh kalangan Kristen evangelis di Amerika, misalnya.
Pandangan lain yang menurut saya kurang sehat yang muncul dari gagasan tentang kelengkapan/kesempuraan Quran ini adalah gagasan tentang “kemanunggalan tafsir” (uniformity of interpretation). Pandangan ini menganggap bahwa Quran adalah teks yang tembus pandang, transparan, jelas sekali, sehingga maknanya tidak mengandung ambivalensi. Quran dianggap sebagai kitab dengan tafsir tunggal, tidak mengandung kemungkinan banyak tafsir. Jika suatu ayat dikutip dalam sebuah diskusi, maka ayat itu diandaikan akan menghentikan perbedaan dan menyelesaikan masalah sebab tafsirnya satu dan tidak mengandung kemungkinan tafsir lain.
Pandangan semacam ini berbahaya, sebab ujungnya adalah memaksanakan satu tafsir yang diikuti oleh pihak tertentu kepada pihak-pihak lain. Secara historis, gagasan ini juga tidak benar dan tidak terbukti sama sekali, sebab dalam sejarah tafsir kitab suci Islam, tidak pernah kita temui ketunggalan tafsir. Sarjana Islam sejak dahulu mendekati Quran dengan berbagai pendekatan, dan setiap pendekatan membawa tafsir yang berbeda. Pendekatan filsafat terhadap Quran akan membawa tafsir yang berbeda dengan pendekatan mistik, hukum, teologi, atau kesejarahana. Dalam sejarah tafsir Quran, kita mengenal berbagai corak tafsir beragam.
Karena Quran dipandang sebagai teks dengan tafsir yang tunggal, maka kecenderungan lain juga muncul, yaitu menyesatkan tafsir yang dianggap berbeda dari tafsir ortodoks yang telah dianggap baku, pakem, dan mencerminkan satu-satunya kebenaran. Fenomena “menyesatkan” yang akhir-akhir ini sering kita lihat di kalangan umat Islam, menurut saya, akibat lanjutan dari cara gagasan tentang kelengkapan/kesempurnaan Quran itu.
JIKA demikian, apakah gagasan tentang kelengkapan/kesempurnaan itu salah? Jelas tidak. Hanya saja, konsep tentang kelengkapan/kesempurnaan itu harus ditafsir ulang agar tidak menimbulkan sikap-sikap keagamaan yang kurang tepat. Apakah yang dimaksud dengan kelengkapan dan kesempurnaan di sana? Apakah Quran dianggap sebagai kitab suci yang sempurna dalam pengertian memuat segala hal, dan memberikan jawaban atas segala-rupa masalah? Ataukah kelengkapan di sana artinya adalah kelengkapan dalam aspek akidah, etika pokok, dan norma umum?
Dalam pandangan saya, jika konsep kelengkapan Quran dipahami dalam pengertian yang pertama, yaitu Quran memuat segala hal dan menjawab segal hal, jelas tidak benar . Dengan membaca Quran secara sekilas saja, kita akan tahu bahwa banyak hal yang tidak dimuat dalam Quran. Contoh yang sederhana adalah perdebatan soal status rokok: boleh atau tidak, haram, halal, atau makruh (tidak dianjurkan)? Fatwa terakhir yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, menyatakan bahwa merokok adalah haram. Tetapi, di lingkungan Muhammadiyah sendiri, fatwa itu tidak disetujui oleh semua kalangan, apalagi di luar Muhammadiyah.
Kalau kita merujuk kepada Quran, jelas tidak ada jawaban mengenai status rokok. Yang ada hanyalah norma umum yang tertuang dalam sebuah ayat yang populer, “wa la tulqu bi aidikum ila al-tahlukah,” jangan menjerumuskan diri kalian ke dalam tindakan yang membawa kerusakan. Ayat ini hanya memuat norma umum saja, dan tidak bisa langsung dan serta-merta dipahami sebagai deklarasi tentang haramnya merokok. Contoh ini hanya untuk memperlihatkan bahwa Quran tidak memuat semua hal, dan tidak menjawab semua masalah. Oleh karena itu, jika yang dimaksud dengan gagasan kelengkapan Quran adalah bahwa kitab suci itu memuat segala hal, sempurna dalam pengertian yang harafiah, maka jelas anggapan itu tidak benar. Contoh status rokok di atas adalah ilustrasi yang baik.
Kesempurnaan Quran harus dipahami dengan cara lain, yakni kesempurnaan pada aspek akidah dan norma umum. Norma-norma umum inilah yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh para sarjana Islam menjadi norma khusus. Salah satu contoh bagus sebagai ilustrasi adalah ayat yang sering dikutip, yaitu “wa amruhum shura bainahum,” dan urusan mereka dibicarakan secara musyawarah di antara mereka sendiri. Ayat ini hanya mengandung norma umum tentang pujian terhadap tindakan musyawarah. Ayat ini tidak secara khusus mendukung atau menolak, misalnya, konsep demokrasi, terutama demokrasi parlementer. Quran sendiri tidak memuat jawaban yang sifatnya khusus tentang demokrasi. Karena itu, ada banyak perbedaan di kalangan Islam sendiri, apakah demokrasi sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Ada kalangan, jumlahnya sangat sedikit, yang berpandangan bahwa demokrasi tidak Islami. Salah satu yang berpandangan seperti ini adalah pemikir asal Pakistan, Abul Ala al-Maududi. Kalangan aktivis Hizbut Tahrir juga mempunyai pandangan yang serupa.
Tetapi, sebagian besar umat Islam berpandangan bahwa Islam dan demokrasi tidak saling bertentangan, bahkan demokrasi dianggap sebagai perwujudan dari etika musyawarah (syura) yang dengan tegas disebut dalam Quran di atas.
Pemahaman tentang kelengkapan yang kedua ini lebih bersifat terbuka dan juga membuka diri pada perbedaan. Kelengkapan Quran bukan pada aspek norma khusus, tetapi norma umum. Sementara itu, terjemahan norma umum yang terdapat dalam Quran pada situasi kongkrit harus dilakukan sendiri oleh sarjana Muslim. Proses penerjemahan itu disebut dengan ijtihad atau penalaran berdasarkan akal, konteks, dan kerangka etika umum Quran/sunnah, berikut tradisi penalaran/penafsiran yang sudah berkembang sejauh ini dalam Islam. Dalam proses penerjemahan itu, jelas akan terjadi perbedaan di kalangan umat Islam sendiri. Norma umum dalam Quran hanyalah panduan umum saja; terjemahannya dalam situasi yang kongkret tidak serta merta mudah, dan juga tidak serta merta menimbulkan kesatuan pandangan. Dalam contoh rokok dan demokrasi di atas kita melihat bagaimana norma umum dalam Quran dipahami secara berbeda-beda oleh berbagai-bagai kalangan dalam Islam saat mereka harus menjawab suatu kasus atau situasi kongkrit.
Selebihnya, yang harus dibangun adalah etika perbedaan (adab al-ikhtilaf). Karena perbedaan dalam menerjemahkan etika umum Quran tidak terhindarkan, maka tidak selayaknya masing-masing pihak yang berbeda saling “adu” kleim kebenaran, dan menyesatkan pihak lain yang berbeda. Sikap saling-menyesatkan, bahkan lebih jauh lagi meng-kafir-kan, jelas tidak sehat dalam rangka membangun iklim pemikiran-kebudayaan yang dialogis dalam tubuh umat Islam. Etika syura atau musyawarah yang dianjurkan dalam Quran mengajarkan agar perbedaan disikapi secara positif. Terjemahan sikap yang positif terhadap perbedaan adalah “diskursus” atau saling bercakap dan bertukar pikiran dan ujaran. Itulah yang disebut dengan praktek syura atau musyawarah sebagaimana dikehendaki oleh Quran. Sudah tentu, dalam diskursus itu, bisa terjadi proses saling kritik, koreksi, oto-kritik, dan sebagainya.
Inilah tafsiran tentang kelengkapan dan kesempurnaan Quran yang menurut saya lebih sehat, sebab tidak mengandaikan rasa superioritas yang pada akhirnya mengarah kepada sikap tertutup.****
Ulil Abshar-Abdalla on December 6th, 2008
[Catatan: "Note" ini saya tulis untuk seorang kawan di Facebook yang menulis surat pribadi ke saya tentang kegundahannya karena membaca sejumlah bahan-bahan dalam situs Faithfreedom. Semoga catatan ini bermanfaat untuk teman-teman yang lain].
SECARA pribadi, saya kerapkali menerima email-email yang isinya menyerang Islam dan bahan-bahannya, antara lain, diambil dari situs yang terkenal, “Faithfreedom”. Situs ini dikelola oleh seorang ex-Muslim bernama Ali Sina.
Menurut saya, Ali Sina, dalam beberapa hal, sama persis dengan Hj. Irena Handono, seorang yang konon mantan biarawati dan kemudian masuk Islam. Keduanya sama-sama meninggalkan agama yang mereka peluk, Islam dalam kasus Ali Sina dan Katolik dalam kasus Irena. Keduanya sama-sama menjelek-jelakkan “bekas agama” yang pernah mereka peluk. Perbedaannya, Ali Sina keluar dari Islam untuk kemudian menjadi agnostik, alias tak memeluk agama lain. Sementara, Irena meninggalkan Katolik untuk memeluk agama lain, yaitu Islam.
Sikap kedua orang ini sama sekali kurang saya sepakati. Saya tentu menghormati sikap seseorang yang pada tahap tertentu dalam hidupnya merasa tidak puas pada agama “warisan” yang ia peroleh dari keluarganya untuk kemudian meninggalkannya sama sekali; entah meninggalkan agama itu untuk memeluk agama baru yang lain, atau meninggalkan agama sama sekali. Itu adalah bagian dari kebebasan agama yang harus kita hormati pada masing-masing orang. Tetapi menjelek-jelekkan agama yang pernah anda peluk, tentu tak etis, sama tak etisnya dengan anda pindah kerja dari sebuah kantor ke kantor lain, seraya menjelek-jelekkan kantor sebelumnya.
Saya termasuk orang yang tak suka pada semangat di balik situs faithfreedom. Situs ini, menurut saya, secara tersembunyi ingin “menyerang Islam” dengan tujuan untuk mempromosikan agama Kristen, walaupun hal ini dilakukan secara tidak terang-terangan. Cara seperti ini sama dengan yang dilakukan oleh kelompok Islam apologetik atau fundamentalis yang juga gemar menyerang dan mencari segala kejelekan agama lain, terutama Kristen, seraya ingin mempromosikan Islam sebagai agama terbaik.
Kalau anda mencari kejelekan agama, maka anda dengan mudah bisa menjumpainya. Semua agama mengandung kelemahannya masing-masing. Saya tak pernah setuju dengan siapapun yang mengatakan bahwa agama yang ia peluk adalah terbaik secara mutlak. Menurut saya, pandangan seperti itu tidak tepat. Kalau kita mau jujur, ada banyak kelemahan dalam semua agama: Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Budha, Konghucu, Taoisme, Zen, Sikh, Jain, Zoroastrianisme, dll. Tetapi setiap agama juga memiliki kelebihannya masing-masing. Saya menyukai metafor dalam dunia tasawwuf atau mistik: kebenaran adalah seperti cermin yang retak; masing-masing agama memungut secuil dari pecahan cermin itu.
Kalau pengelola situs faithfreedom ingin menunjukkan kelemahan Islam, antara lain melalui orang-orang eks-Muslim, dan sekaligus secara sembunyi-sembunyi ingin menunjukkan bahwa Kristen adalah terbaik, maka mereka jelas salah sekali. Kita bisa menemukan kelemahan yang sama dalam Kristen. Kritik yang keras pada sejumlah kelemahan Kristen sudah terlalu banyak ditulis oleh sejumlah kalangan, mulai dari para filosof, saintis, sampai orang-orang biasa, bahkan kalangan “dalam” Kristen sendiri.
Sekali lagi, kalau anda mau mencari kelemahan suatu agama, anda akan dengan mudah bisa melakukannya. Sebagian orang Kristen mungkin saja gembira sekali membaca bahan-bahan dalam situs faithfreedom itu, sebab bisa dipakai sebagai alat menyerang agama Islam. Begitu juga orang Islam akan gembira membaca serangan-serangan terhadap agama Kristen yang ditulis oleh para sarjana Barat misalnya. Banyak kalangan penulis Muslim yang gemar sekali mengutip sejumlah kritik terhadap agama Kristen yang dilakukan oleh sarjana Barat yang sebagian juga seorang Kristeb. Mereka seolah-olah hendak berkata, “Lihat saja, orang Kristen saja mengakui kelemahan agama itu.
Kalau kita mau memahami agama secara baik, maka cara seperti itu tidak terlalu banyak gunanya. Yang timbul dari sana hanya saling cerca dan ejek. Yang ingin saya kembangkan pada kalangan Islam adalah kesadaran positif bahwa masing-masing pihak harus sadar akan kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Sikap semacam ini juga relevan dikembangkan dalam semua agama.
BAGAIMANA kita menanggapi kritik-kritik terhadap Islam seperti dilakukan oleh orang-orang semacam Ali Sina yang tulisan-tulisannya banyak dimuat dalam situs faithfreedom itu?
Walaupun saya tidak sepakat dengan semangat di balik situs faithfreedom, saya kadang-kadang membaca secara sekilas beberapa artikel yang ditulis oleh Ali Sina dan kawan-kawan. Kritik-kritik mereka terhadap Islam, dalam banyak hal, bermanfaat, terutama untuk mengimbangi sejumlah kleim kalangan Islam yang kadang-kadang agak “kebablasan”.
Kenapa saya tidak sepakat dengan semangat situs itu? Sebab situs itu mengajak umat Islam untuk keluar dari Islam dengan alasan bahwa Islam adalah agama yang sangat jahat dan buruk sekali. Sekali lagi saya katakan bahwa kalau kita mencari keburukan setiap agama, tentu saja ada saja celah-celahnya. Kita semua tahu, semua agama yang ada sekarang ini, lahir dari zaman pra-modern. Tidak mengherankan jika agama-agama yang ada itu mengandung banyak “kelemahan” dilihat dari sudut pandang kesadaran modern.
Tetapi jika kaca-mata seperti itu yang kita pakai, maka kita harus mengatakan bahwa sebaiknya semua orang harus meninggalkan semua agama, sebab pada semua agama itu akan kita jumpai banyak cacat dan kelemahan dilihat dari sudut pandang sensitifitas modern. Tentu saja, seseorang boleh saja mengambil kesimpulan seperti itu dan mengajak agar semua orang menjauhi agama. Di Barat saat ini sedang marak kecenderungan yang disebut “new atheism” yang memandang semua agama adalah jahat dan jelek. Para penggagas gerakan ini mengkritik semua agama tanpa pandang bulu, terutama Yahudi, Kristen dan Islam. Semua kejelekan agama dibongkar habis.
Contoh yang sangat baik adalah fakta tentang Nabi Muhammad yang mengawini Aisyah pada umur 9 tahun. Meskipun ada kalangan Islam apologetik yang mengingkari fakta itu, tetapi sumber-sumber Islam sendiri jelas mengakui kebenaran fakta tersebut. Apakah dengan demikian Nabi bisa kita sebut melakukan kejahatan pedofilia?
Dalam standar modern, jelas tindakan Nabi seperti itu bisa tampak janggal dan tak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang nabi melakukan tindakan seperti itu?
Saya sebagai seorang Muslim akan mencoba menafsirkan fakta itu sebagai berikut. Saya berpandangan sejak awal bahwa tidak semua tindakan Nabi tepat untuk ditiru “mentah-mentah” dalam konteks sekarang, sebab kesadaran manusia terus berkembang, dan karena itu kesadaran mereka mengenai “yang baik” dan “yang buruk” juga ikut berubah. Pada zaman Nabi, praktek menikahi gadis di bawah umur boleh jadi tidak dianggap sebagai sesuatu yang buruk dan tak pantas. Tetapi, zaman berubah, dan kita sekarang memandang tindakan seperti itu sudah tak pantas lagi ditiru secara harafiah.
Tetapi juga tidak seluruhnya tepat menghakimi Nabi berdasarkan standar modern. Sebab, jika hal itu kita lakukan, maka semua agama bisa kita anggap mengandung cacat. Itu adalah sejenis anakronisme.
Situs faithfreedom menurut saya seperti seorang yang menulis biografi seseorang, tetapi dengan semata-mata menyorot aspek keburukan orang itu, tanpa menyinggung sedikitpun kebaikan orang tersebut. Membaca bahan-bahan dalam faithfreedom memberi kesan bahwa Islam seolah-olah agama yang seluruhnya buruk dan tak menyumbangkan kebaikan apapun pada peradaban manusia.
Anda bisa melakukan hal yang sama seperti ditempuh oleh situs faithfreedom itu kepada semua agama. Anda bisa saja menulis sebuah buku khusus untuk mengorek-ngorek kesalahan Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, dst. Anda bisa menulis buku seperti itu dan mengesankan bahwa agama-agama itu sama sekali tak mengandung kebaikan apapun, bahwa agama-agama itu seluruhnya jelek.
Sekali lagi, cara seperti ini sama sekali tidak tepat dan hanya akan menimbulkan sikap fobia, rasialisme, dan kebencian antar golongan.
Dengan mengatakan itu semua, bukan berarti saya ingin agar kita semua diam tak usah mengkritik agama apapun. Sikap terakhir ini juga tak tepat. Inilah sikap yang dalam konteks Amerika sekarang sering disebut sebagai “political correctness” atau “religious correctness“. Menurut saya, setiap agama bisa dikritik dan seharusnya memang dikritik secara terus-menerus. Tetapi kritik di sini bukan dengan tujuan untuk mencari kejelekan semata-mata pada agama itu. Kritik di sini kita butuhkan untuk menyadarkan bahwa dalam agama yang kita peluk terdapat aspek-aspek yang lemah dan kita harus awas terhadap aspek itu agar tidak “lupa daratan”.
Saya selama ini melakukan kritik terhadap sejumlah doktrin dan penafsiran dalam agama Islam, tetapi saya tidak kehilangan iman dan kepercayaan pada agama saya.
Kekeliruan umat bergama selama ini adalah membayangkan bahwa agama haruslah sempurna seluruhnya dan tak mengandung cacat. Manakala ada pihak lain menunjukkan kelemahan agama itu, maka orang bersangkutan marah bukan main dan berusaha menolak sekeras-kerasnya adanya kelemahan itu. Ini sikap apologetik yang menurut saya tidak sehat.
Saya tidak pernah mempunyai bayangan seperti itu. Saya tidak membayangkan bahwa Islam harus seluruhnya sempurna dan tanpa cacat. Sebagai agama yang lahir pada zaman pra-modern, tentu Islam memiliki beberapa ajaran yang tak seluruhnya tepat dengan zaman sekarang. Oleh karena itu Islam harus ditafsirkan terus-menerus. Kritik terhadap sejumlah ajaran dalam Islam harus ditanggapi secara positif agar kita terus mencari rumusan yang tepat dengan konteks yang terus berubah.
Selama ini, saya sering mendapat email dan tanggapan yang dikirim secara pribadi ke saya. Banyak yang bertanya: kalau Sdr. Ulil mengkritik sejumlah doktrin dan ajaran dalam Islam, kenapa anda tidak pindah agama saja? Buat apa mengikuti sebuah agama yang anda anggap mengandung kelemahan? Kenapa tidak mencari agama yang lain saja?
Tanggapan saya?
Kalaupun saya pindah ke agama lain, situasi serupa akan saya hadapi juga. Setiap agama mengandung kelemahan, selain, tentu, kelebihan masing-masing. Kalau saya meninggalkan Islam dan memeliuk agama lain, saya akan memeluk agama yang akan memiliki kelemahan serupa.
Sikap yang terbaik, menurut saya, adalah bahwa setiap orang loyal pada agamanya masing-masing, mencoba memaksimalkan kebaikan-kebaikan yang ada pada masing-masing agama itu untuk membangun dunia yang lebih baik, seraya awas dan sadar pada kelemahan-kelemahan yang ada.
Saya tahu bahwa setiap umat beragama akan menganggap agamanya sebagai yang terbaik. Tak ada yang salah dalam sikap semacam itu, asal dalam proporsi yang wajar. Sikap seperti itu menunjukkan bahwa yang bersangkutan mempunyai kecintaan yang mendalam pada agama yang dipeluknya itu.
Setiap orang tua tentu bisa dimaklumi jika beranggapan bahwa anaknya adalah anak terbaik, anak yang menakjubkan. Asal sikap semacam ini terjaga dalam “dosis” yang wajar, menurut saya sehat saja. Sudah seharusnya kita masing-masing sunguh-sungguh pada agama yang kita peluk, loyal pada agama itu, memperdalam komitmen kita padanya. Tetapi, kita juga tak boleh berlebihan. Kita harus jangan lupa bahwa agama yang kita cintai itu boleh jadi tidak sesempurna yang kita bayangkan. Oleh karena itu, kita harus membuka diri pada kritik.
Inilah sikap keislaman yang saya anut selama ini. Semoga surat saya ini bermanfaat.[]
Ulil Abshar-Abdalla on November 30th, 2008
SEORANG perempuan beragama Kristen saat ini sedang menggugat pemerintah Malaysia dengan alasan telah melanggar haknya atas kebebasan beragama (baca International Herald Tribune, 29/11/2008). Mei lalu, saat balik dari kunjungan ke Jakarta, Jill Ireland, nama perempuan itu, membawa sejumlah keping DVD yang berisi bahan pengajaran Kristen dari Jakarta. Keping-keping itu disita oleh pihak imigrasi, dengan alasan yang agak janggal: sebab dalam sampulnya terdapat kata “Allah”.
Sejak tahun lalu, pemerintah Malaysia melarang penerbitan Kristen untuk memakai kata “Allah”, sebab kata itu adalah khusus milik umat Islam. Umat lain di luar Islam dilarang untuk menggunakan kata “Allah” sebagai sebutan untuk Tuhan mereka. Pemakaian kata itu oleh pihak non-Muslim dikhawatirkan bisa membingungkan dan “menipu” umat Islam (Catatan: Sedih sekali ya, umat Islam kok mudah sekali tertipu dengan hal-hal sepele seperti itu?)
Pertanyaan yang layak diajukan adalah: apakah kata “Allah” hanyalah milik umat Islam saja? Apakah umat lain tidak boleh menyebut Tuhan yang mereka sembah dengan kata “Allah”? Apakah pandangan semacam ini ada presedennya dalam sejarah Islam? Kenapa pendapat seperti itu muncul?
Sebagai seorang Muslim, terus terang saya tak bisa menyembunyikan rasa geli, tetapi juga sekaligus jengkel, terhadap pandangan semacam ini. Sikap pemerintah Malaysia ini jelas bukan muncul dari kekosongan. Tentu ada sejumlah ulama dan kelompok Islam di sana yang menuntut pemerintah mereka untuk memberlakukan larangan tersebut.
Di Indonesia sendiri, hal serupa juga pernah terjadi. Beberapa tahun lalu, ada seorang pendeta Kristen di Jakarta yang ingin menghapus kata “Allah” dalam terjemahan Alkitab versi bahasa Indonesia. Menurut pendeta itu, istilah “Allah” bukanlah istilah yang berasal dari tradisi Yudeo-Kristen. Nama Tuhan yang tepat dalam tradisi itu adalah Yahweh bukan Allah.
Jika usulan untuk melarang penggunaan kata Allah berasal dari dalam kalangan Kristen, tentu saya, sebagai orang luar, tak berhak untuk turut campur. Tetapi jika pendapat ini datang dari dalam kalangan Islam sendiri, maka saya, sebagai seorang Muslim dan “orang dalam”, tentu berhak mengemukakan pandangan mengenainya.
Pandangan bahwa istilah Allah hanyalah milik umat Islam saja, menurut saya, sama sekali tak pernah ada presedennya dalam sejarah Islam. Sejak masa pra-Islam, masyarakat Arab sendiri sudah memakai nama Allah sebagai sebutan untuk salah satu Tuhan yang mereka sembah. Dalam Quran sendiri, bahkan berkali-kali kita temui sejumlah ayat di mana disebutkan bahwa orang-orang Arab, bahkan sebelum kedatangan Islam, telah mengakui Allah sebagai Tuhan mereka (baca QS 29:61, 31:25, 39:37, 43:87). Dengan kata lain, kata Allah sudah ada jauh sebelum Islam sebagai agama yang dibawa Nabi Muhammad lahir di tanah Arab.
Begitu juga, umat Kristen dan Yahudi yang tinggal di kawasan jazirah Arab dan sekitarnya memakai kata Allah sebagai sebutan untuk Tuhan. Para penulis Kristen dan Yahudi juga memakai kata yang sama sejak dulu hingga sekarang. Seorang filosof Yahudi yang hidup sezaman dengan Ibn Rushd di Spanyol, yaitu Musa ibn Maimun (atau dikenal di dunia Latin sebagai Maimonides [1135-1204]) menulis risalah terkenal, Dalalat al-Ha’irin (Petunjuk Bagi Orang-Orang Yang Bingung). Kalau kita baca buku itu, kita akan jumpai bahwa kata Allah selalu ia pakai untuk menyebut Tuhan.
Semua Bibel versi Arab memakai kata Allah sebagai nama untuk Tuhan. Ayat pertama yang terkenal dalam Kitab Kejadian diterjemahkan dalam bahasa Arab sebagai berikut: Fi al-bad’i khalaqa Allahu al-samawati wa al-ard (baca Al-Kitab al-Muqaddas edisi The Bible Society in Lebanon). Dalam terjemahan versi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), ayat itu berbunyi: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”.
Tak seorangpun sarjana Islam yang memakai bahasa Arab sebagai bahasa ibu mereka, entah pada masa klasik atau modern, yang mem-beslah atau keberatan terhadap praktek yang sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun itu. Tak seorang pun ulama Muslim yang hidup sezaman dengan Maimonides yang memprotes penggunaan kata Allah dalam buku dia di atas.
Polemik antara Islam dan Kristen sudah berlangsung sejak masa awal Islam, dan, sejauh pengetahuan saya, tak pernah kita jumpai seorang “mutakallim” atau teolog Muslim yang terlibat perdebatan dengan teolog Kristen atau Yahudi karena memperebutkan kepemilikan atas kata Allah. (Survei terbaik tentang sejarah polemik Islam-Kristen sejak masa awal Islam hingga abad ke-4 H/10 M adalah buku karangan Abdul Majid Al-Sharafi, “Al-Fikr al-Islami fi al-Radd ‘Ala al-Nashara“, 2007).
Dalam perspektif historis, pandangan sejumlah ulama Malaysia yang kemudian diresmikan oleh pemerintah negeri jiran itu, jelas sangat aneh dan janggal sebab sama sekali tak ada presedennya. Dipandang dari luar Islam, pendapat ulama Malaysia itu juga bisa menjadi bahan olok-olok bagi Islam. Sebab, pandangan semacam itu tiada lain kecuali memperlihatkan cara berpikir yang sempit di kalangan sebagian ulama. Jika para ulama di Malaysia itu mau merunut sejarah ke belakang, kata Allah itu pun juga bukan “asli” milik umat Islam. Kata itu sudah dipakai jauh sebelum Islam datang. Dengan kata lain, umat Islam saat itu juga meminjam kata tersebut dari orang lain.
Yahudi, Kristen, dan Islam adalah tiga agama yang lahir dari rahim yang sama, yaitu dari tradisi Ibrahim. Islam banyak sekali mewarisi tradisi dan ajaran dari kedua agama itu. Karena asal-usul yang sama, dengan sendirinya sudah lumrah jika terjadi proses pinjam-meminjam antara ketiga agama itu. Selama berabad-abad, ketiga agama itu juga hidup berdampingan di jazirah Arab dan sekitarnya. Tak heran jika terjadi proses saling mempengaruhi antara ketiga tradisi agama Ibrahimiah tersebut. Tradisi Kristiani, misalnya, mempunyai pengaruh yang besar dalam proses pembentukan Islam, terutama dalam tradisi pietisme atau mistik (baca, misalnya, buku karangan Tarif Khalidi, “The Muslim Jesus: Saying and Stories in Islamic Literature“, 2001).
Quran sendiri banyak meminjam dari tradisi lain, termasuk dalam konteks istilah-istilah yang berkaitan dengan peribadatan. Hampir semua istilah-istilah ritual yang ada dalam Islam, seperti salat (sembahyang), saum (puasa), hajj, tawaf (mengelilingi ka’bah), ruku’ (membungkuk pada saat salat) dsb., sudah dipakai jauh sebelum Islam oleh masyarakat Arab.
Dengan kata lain, proses pinjam-meminjam ini sudah berlangsung sejak awal kelahiran Islam. Pandangan ulama Malaysia itu seolah-olah mengandaikan bahwa semua hal yang ada dalam Islam, terutama istilah-istilah yang berkenaan dengan doktrin Islam, adalah “asli” milik umat Islam, bukan pinjaman dari umat lain. Sebagaimana sudah saya tunjukkan, pandangan semacam itu salah sama sekali.
JIKA demikian, bagaimana kita menjelaskan pendapat yang janggal dari Malaysia itu? Saya kira, salah satu penjelasan yang sederhana adalah melihat masalah ini dari sudut dinamika internal dalam tubuh umat Islam sendiri sejak beberapa dekade terakhir. Sebagaimana kita lihat di berbagai belahan dunia Islam manapun, ada gejala luas yang ditandai oleh mengerasnya identitas dalam tubuh umat. Di mana-mana, kita melihat suatu dorongan yang kuat untuk menetapkan batas yang jelas antara Islam dan non-Islam. Kekaburan batas antara kedua hal itu dipandang sebagai ancaman terhadap identitas umat Islam.
Penegasan bahwa kata “Allah” hanyalah milik umat Islam saja adalah bagian dari manifestasi kecenderungan semacam itu. Pada momen-momen di mana suatu masyarakat sedang merasa diancam dari luar, biasanya dorongan untuk mencari identitas yang otentik makin kuat. Inilah tampaknya yang terjadi juga pada umat Islam sekarang di beberapa tempat. Kalau kita telaah psikologi umat Islam saat ini, tampak sekali adanya perasaan terancam dari pihak luar. Teori konspirasi yang melihat dunia sebagai arena yang dimanipulasi oleh “klik” tertentu yang hendak menghancurkan Islam mudah sekali dipercaya oleh umat. Teori semacam ini mudah mendapatkan pasar persis karena bisa memberikan justifikasi pada perasaan terancam itu.
Keinginan untuk memiliki identitas yang otentik dan “beda” jelas alamiah belaka dalam semua masyarakat. Akan tetapi, terjemahan keinginan itu dalam dunia sehar-hari bisa mengambil berbagai bentuk. Ada bentuk yang sehat dan wajar, tetapi juga ada bentuk yang sama sekali tak masuk akal bahkan lucu dan menggelikan. Pandangan ulama Malaysia yang kemudian didukung oleh pemerintah negeri itu untuk melarang umat Kristen memakai istilah “Allah” adalah salah satu contoh yang tak masuk akal itu. Sebagaimana saya sebutkan di muka, secara historis, pandangan semacam ini sama sekali tak ada presedennya. Selain itu, proses saling meminjam antara Islam, Kristen dan Yahudi sudah berlangsung dari dulu.
Bayangkan saja, jika suatu saat ada kelompok Yahudi yang berpikiran sama seperti ulama Malaysia itu, lalu menuntut agar umat Islam tidak ikut-ikutan merujuk kepada nabi-nabi Israel sebelum Muhammad — apakah tidak runyam jadinya. Orang Yahudi bisa saja mengatakan bahwa sebagian besar nabi yang disebut dalam Quran adalah milik bangsa Yahudi, dan karena itu umat Islam tak boleh ikut-ikutan menyebut mereka dalam buku-buku Islam. Sudah tentu, kita tak menghendaki situasi yang “lucu” dan ekstrem seperti itu benar-benar terjadi.
Selama ini umat Islam mengeluh karena umat lain memiliki pandangan yang negatif tentang Islam, dan karena itu mereka berusaha sekuat mungkin agar citra negatif tentang agama mereka itu dihilangkan. Masalahnya adalah bahwa sebagian umat Islam sendiri melakukan sejumlah tindakan yang justru membuat citra Islam itu menjadi buruk. Menurut saya, pendapat ulama dan sikap pemerintah Malaysia itu adalah salah satu contoh tindakan semacam itu. Jika umat Islam menginginkan agar umat lain memiliki pandangan yang positif tentang agama mereka, maka langkah terbaik adalah memulai dari “dalam” tubuh umat Islam sendiri. Yaitu dengan menghindari tindakan yang tak masuk akal.
Tak ada gunanya umat Islam melakukan usaha untuk mengoreksi citra Islam, sementara mereka sendiri memproduksi terus-menerus hal-hal yang janggal dan tak masuk akal.[]
Caveat: Mohon maaf kepada teman-teman dan pembaca Malaysia, jika tulisan saya ini terlalu kritis pada pemerintah Malaysia dalam isu yang spesifik ini. Saya sama sekali tidak berpandangan bahwa sikap pemerintah Malaysia itu mewakili sikap seluruh umat Islam di sana. Saya tahu, banyak kalangan Islam di sana yang tak setuju dengan sikap ulama dan pemerintah Malaysia itu.

Sumber : http://ulil.net/2011/03/15/sejumlah-percobaan-dengan-komposisi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar, masukan yang sifatnya membangun blog ini.

Cari Blog Ini