Mengenai Saya

Foto saya
Shio : Macan. Tenaga Specialist Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar. Trainer Surveillance Detection Team di Kedutaan Besar Negara Asing. Pengajar part time masalah Surveillance Detection, observation techniques, Area and building Analysis, Traveling Analysis, Hostile surveillance Detection analysis di beberapa Kedutaan besar negara Asing, Hotel, Perusahaan Security. Bersedia bekerja sama dalam pelatihan surveillance Detection Team.. Business Intelligence and Security Intelligence Indonesia Private Investigator and Indonesia Private Detective service.. Membuat beberapa buku pegangan tentang Surveilance Detection dan Buku Kamus Mini Sureveillance Detection Inggris-Indonesia. Indonesia - Inggris. Member of Indonesian Citizen Reporter Association.

Senin, 28 Maret 2011

Gurauan Kudeta, Sungguh Terlalu...


WACANA berdirinya Dewan Revolusi Islam (DRI) yang muncul seiring tulisan wartawan Al Jazeera, Step Vaessen, membuktikan bahwa demi menjaga kredibilitas negara, pemerintah sudah sepatut diberi peringatan untuk mengelola negara lebih serius.
Pakai sajalah dulu kedua asumsi tentang DRI itu. Pertama, katakanlah bahwa apa yang dituliskan secara terbuka, lengkap dengan maklumat dan ajakan kepada publik yang dilakukan Muhammad Al Khaththath, seorang tokoh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) itu hanya gurauan.
Tetapi gurauan tentang sebuah lembaga yang mendekati struktur sebuah pemerintahan, lalu menyebarkannya ditambah dengan ajakan untuk bergabung secara massal kepada banyak orang, tetap saja sebuah perongrongan.
Pasalnya, dalam struktur itu ada disebut Kepala Negara (bukan Presiden) yang diisi Habib Rizieq Shihab. Ada wakilnya, yakni Wakil Amir Majelis Mujahiddin, Abu Jibril. Di atasnya ada Dewan Fuqaha, yang dituliskan antara lain KH Abu Bakar Ba’asyir, KH Makruf Amin (Ketua MUI), dan KH Hasyim Muzadi (mantan Ketua PBNU).
Dalam DRI juga terdapat nama sejumlah menteri, antara lain Munarman SH (Menhankam), KH Cholil Ridwan (Menteri Agama), Ridwan Saidi (Menteri Kebudayaan), Ahmad Sumargono (Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal), serta dua tokoh partai politik Islam Ali Mochtar Ngabalin (Menteri Luar Negeri) dan MS Kaban (Menteri Dalam Negeri).
Di sana tertulis pula nama Menkopolkam, Tyasno Sudarto. Kita masih belum mendapatkan konfirmasi di media, siapa-siapa saja dari nama itu yang benar-benar dituliskan suka rela, bukan asal comot nama.
Memang pernah beberapa waktu lalu para anggota DPR pun  melakukan hal serupa. Sesaat sebelum pemilihann presiden, beredar nama-nama ‘kabinet bayangan’ yang antara lain diisi Yuddy Chrisnandi (mantan anggota DPR); Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Pramono Anung; Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan, serta Yenny Wahid.
Tetapi waktu itu tak ada pernyataan sebagaimana yang ditulis DRI. Pernyataan DRI itu terlampau ‘mengerikan’ untuk sebuah gurauan: “Jika pasca pansus, maksudnya pansus Century, ini keadaan vacuum, DRI siap ambil alih kekuasaan untuk menjalankan roda pemerintahan Indonesia dengan syariat Islam….”
Sementara ajakan untuk bergabung secara massal dituliskan “Siapa mau ikhlas gabung untuk menjadi para garda revolusi Islam silakan daftar.” Jujur saja, gurauan ini, mengingat sebuah negara perlu ditata dengan seksama untuk menuju cita-cita bersama, cara seperti itu sudah cukup mengganggu tatanan yang ada.
Kedua, apalagi kalau semua itu tak dimaksudkan sebagai main-main, melainkan ajakan serius untuk menumbangkan pemerintahan. Cara seperti itu, tampaknya tak layak dilakukan dalam negara yang menganut demokrasi seperti Indonesia.
Boleh-boleh saja tak suka, benci bahkan, kepada Presiden SBY dan jajarannya. Tetapi bagaimana pun, suka tak suka dia adalah pilihan rakyat dengan sekian puluh juta pemilih. SBY dan pasangannya memenangkan pemilihan dengan suara mayoritas, lebih dari 60 persen.
Mungkin saja saat ini suara itu telah turun menjadi hanya sekian puluh juta. Sementara waktu kemudian membuktikan adanya nama-nama yang kelihatan lebih menjanjikan untuk memimpin negara.
Tapi dalam demokrasi, bahkan rakyat yang menyesal telah memilih seseorang yang kemudian ia pandang tak layak pun harus mau bersabar untuk memikirkan dan memilih tokoh lain di pemilihan mendatang. Kesabaran itu menunjukkan kedewasaan.
Tentu saja, tak ada maksud untuk mengimbau aparat hukum untuk mengambil langkah yang berlebihan atas kasus DRI itu. Sikap terlalu alias overkill sebagaimana dilakukan Orde Baru yang sampai menginteli rakyat hingga kamar tidur mereka, tak layak lagi. Tetapi membiarkan pun tak elok untuk negeri ini.
Negeri ini butuh ketenangan untuk membangun, menambal yang bocor, mengadakan apa-apa yang selama ini alpa. Tak seharusnya hal-hal mengganggu ketenangan publik seperti kasus DRI itu terulang dan dibiarkan.
Mungkin yang layak dilakukan aparat adalah memperingatkan, tanpa harus membawanya ke jalur yustisi. Menyadarkan bahwa cara itu, selain meresahkan, juga sama sekali tak mendidik publik.
Berhentilah bergurau, kemiskinan di masyarakat begitu nyata untuk disikapi main-main. Mari mulai bekerja, untuk negara, untuk kebaikan semua. [mdr]
Sumber: Inilah.com./Senin, 28 Maret 2011
http://id.berita.yahoo.com/gurauan-kudeta-sungguh-terlalu-20110327-172900-128.html;_ylt=AvHThXmQoFjXZQvHk0OG1IZ8V8d_;_ylu=X3oDMTNlbGlyNDRpBHBrZwMwZmU2NTQzYy00YWM1LTNhN2YtYWM5Yy05M2RmZmYzMTkxZDEEcG9zAzIEc2VjA01lZGlhSnVtYm90cm9uQ29rZQR2ZXIDMjQ1Njk4NzAtNThkOC0xMWUwLWI3N2MtODc4NjlmMGVmNzMw;_ylg=X3oDMTFjM2d1bDFjBGludGwDaWQEbGFuZwNpZC1pZARwc3RhaWQDBHB0A3NlY3Rpb25zBHRlc3QD;_ylv=3

1 komentar:

Silahkan memberikan komentar, masukan yang sifatnya membangun blog ini.

Cari Blog Ini